Maybank bersama bangkitnya tenun Sawahlunto

id Tenun

Maybank bersama bangkitnya tenun Sawahlunto

Seorang perajin tenun Murni Jusma (35) sedang menenun di rumahnya. (Ist)

Sejarah seni tenun tradisional sudah sejak lama berkembang di bumi pertiwi ini. Khusus di Kota Sawahlunto sudah dikenal dan tersohor dengan sebutan tenun kain songket Silungkang.

Bahkan, sudah berkembang sejak zaman sebelum kemerdekaan. Menjadi tumpuan dasar ekonomi masyarakat saat itu.

Bahkan sempat mengalami masa kejayaan, banyak berdatangan pekerja dari luar kota itu menjadi penenun. Kenyataan tersebut seiring permintaan pasar meningkat skala lokal, regional dan nasional serta negara tetangga.

Akan tetapi terpaan pasang surut perkembangan industri rumah tangga ini tetap ada dan tidak terhindarkan.

Perubahan era, gejolak ekonomi dan banyak faktor lain, sehingga mendorong kaum perempuan untuk menentukan pilihan kerja. Generasi penenun kian berkurang, bahkan ancaman krisis generasi perajin seni tenun tradisional itu.

Kendati beberapa tahun belakangan mendapat pemberdayaan ekonomi terhadap kelompok perempuan oleh Maybank foundation berkerjasama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (Asppuk).

Seakan membuka mata banyak pihak untuk mengulangi kembali kejayaan pertenunan masa lalu itu. Khususnya bagi kaum perempuan di Sawahlunto. Sebab, geliat generasi muda perempuan mulai menunjukan minat menjadi penenun.

Produk yang dihasilkan makin dikenal pasar sampai ke tingkat internasional. Apalagi, perajin mendapatkan terpaan pengetahuan mengenai tenun sesuai harapan pasar.

Hal itu, sejalan pula dengan program pelatihan oleh instansi terkait di kota arang --julukan Kota Sawahlunto-- tersebut.

Kini di sentra tenun seperti di Lunto, Kubung, dan Silungkang, terus bertambah perempuan muda jadi penenun.

Seorang tenaga pendamping program pemberdayaan kelompok penenun, Jufrinaldi mengatakan program pemberdayan kelompok perempuan secara berkelanjutan, jelas memberi dampak bertambahnya jumlah generasi penenun.

Pembinaan dan pendampingan di sejumlah desa di "kota bekas tambang" itu, bukan saja meningkatkan kapasitas dan kuantitas saja tetapi juga kualitas seni tenun makin bagus.

Kini kelompok dampingan, kata dia, dominan penenun usia masuk kategori muda. Hanya sebagian kecil yang usia di atas 40 tahun, dan tak berapa orang di atas 50 tahun umurnya.

Ia menyebutkan, ada empat kelompok yang didampinginya jumlah anggota sekitar 50 orang, umumnya usia produktif, seperti di Kelompok Bagonse di Desa Kubung Tangah, jumlah anggota kelompok17 orang, umumnya umur di bawah 25 tahun.

Bahkan, kata dia, di Kelompok Lumindai sebanyak 67 orang anggotanya, umurnya rata-rata di bawah 30 tahun. Begitu juga di kelompok Maju Bersama.

Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Ramadhaniati menyebutkan, hingga kini sudah ada 11 kelompok dengan jumlah anggota sekitar 200 orang perempuan perajin tenun di Sawahlunto.

"Perajin yang belum tergabung dalam kelempok dampingaj jelas ada saja. Umumnya penenun di bawah umur 40 tahun," ujarnya.

Sebagian perajin sudah pernah ikut pameran tingkat nasional, bahkah di negara tetangga. Begitu juga produk tenun ada tembus pasar internasional.

Ke depan, harap dia, semakin banyak peminat perempuan muda jadi perajin tenun tradisional kota itu.

Seorang perajin tenun Murni Jusmi (35) menuturkan dirinya belajar tenun sejak April 2014 karena saat itu ada pelatihan digelar Disnas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Sawahlunto.

Belajar dengan kelompok berjumlah 10 orang, yang peralatan tenunnya dibantu oleh Disperindagkop Sawahlunto.

Setelah sepuluh hari mengikuti pelatihan peralatan tenunnya dibolehkan bawa ke pulang dan akhirnya usaha memenun dilakoni di rumah. Awal menenun dirinya dengan benang sintetis, kata Bendahara Kelompok Maju Bersama itu.

Pada 2015, mereka alumni pelatihan membentuk kelompok yang diberi nama Maju Bersama dibina LP2M Padang.

Kemudian pada 2016, dirinya mulai bertenun dengan warna alami yang diawali dengan proses pencelupan/pewarnaan benang.

Kegiatan ini didampingi dan dibiayai oleh program Maybank selama setahun. Dengan adanya tenun warna alami, maka pada November 2016, ia dipilih untuk mengikuti peluncuran program dan pameran seni tenun di Lombok.

"Sejak itulah saya makin semangat bertenun warna alam hingga sekarang. Apalagi, sekarang sudah makin banyak perajin yang muda-muda," ujar perempuan kelahiran 9 Maret 1983 itu.

Mereka terus belajar bersama dalam pelatihan proses pencelupan warna alam dari sumber bahan yang ada di lingkungan.

"Kami bersyukur dapat pembinaan untuk pewarnaan alam dan pilihan motif dari Maybank. Kini hasil usaha tenun sudah bisa menopang kebutuhan keluarga," ujar istri Zulkifli itu.

Mendorong perubahan

Upaya pemberdayaan terhadap pelaku ekonomi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) secara berkelanjutan memang memperlihatkan dampak positif kepada masyarakat.

Salah satu bukti nyata ketika penenun diberdayakan secara maksimal dan berkelanjutan seperti di Kota Sawahlunto telah membuat perubahan nyata.

Sejak adanya program pemberdayaan ekonomi yang diluncurkan Maybank foundation bersama Asppuk pada 2016, mulai bermunculan generasi penenun.

Head CSR Maybank Indonesia Yudi Juvensius mengatakan, bila dikatakan program pemberdayaan ekonomi tersebut telah membuka mata, tentu tepatnya untuk semua pihak (penenun, pendamping penenun, Pemda, dan pembeli).

Para penenun di Sawahlunto makin berdaya dan antusias melakoni usaha jadi penenun. Sejak adanya pembinaan dan pendampingan muncul inovasi pewarnaan alam dan pembuatan beragam motif.

Menyinggung bagaimana Maybank terpanggil untuk pemberdayaan penenun tradisional, Yudi mengatakan Maybank ingin mendorong perubahan di masyarakat.

Salah satunya dengan mempromosikan tenun pewarna alam agar penenun punya pilihan dan mudah mendapatkan bahan baku pewarnaan.

Penjemuran benang siap pencelupan pewarnaan alam oleh kelompok perempuan di Kota Sawahlunto. (Ist)


Kemudian anggota keluarga dan lingkungan mereka tinggal aman, juga bagi penggunanya. "Dengan demikian, kami ingin perubahan dari sisi ekonomi, lingkungan, kesehatan, pelestarian seni budaya dapat berjalan seiring," ujarnya.

Justru itu, selama program pemberdayaan berlangsung maka penguatan yang diberikan kepada penenun dalam bentuk training yakni, standar produk dihasilkan harus sama dengan standar internasional.

Selain itu penguatan dalam bentuk pembekalan kembangkan pewarnaan alam, juga pelestarian sumber pewarna alam, pengelolaan keuangan, marketing, membentuk koperasi, bantuan untuk memasarkan.

"Kini jumlah penenun yang diberdayakan melalui dana hibah Maybank sebanyak 400 orang yang tersebar pada empat kabupaten/kota, meliputi Sawahlunto, Tanah Datar, Lombok Tengah dan Lombok Barat, yang masing-masing wilayah binaan 100 perajin," jelasnya.

Pihaknya juga ikut senang, karena sudah semakin menunjukan peningkatan dari aspek kualitas maupun kuantitas, serta tenun pewarna alam mulai dikenal luas.

"Rencananya program pemberdayaan akan tetap berlanjut, tapi secara bertahap. Kami melatih secara bertahap selama tiga tahun," kata Yudi.

Makanya, tambah dia, Pemda dapat menjadi mitra dan juganpenenun, supaya bisa produk seni tenun tradisional menembus pasar dunia.

Inovasi pewarnaan

Awal era perkembangan tenun di kota arang itu, bahan alam juga sudah dilakukan oleh para penenun sejak dulunya dari sumber alami, seperti kulit kayu, daun-daunan, tanah, arang.

Contohnya untuk celup hitam dipergunakan arang kemiri, untuk celup abu-abu dipergunakan getah pisang untuk celup merah dipakai kulit ubi, ada juga dari campuran gambir dan soda, untuk warna krem memakai daun pulasan yang direbus.

Untuk warna ungu pakai bunga lembayung, warna kuning pakai gambir yang dicampur daun pulasan dan banyak lagi daun-daunan lain yang dipakai sebagai bahan pencelupan, bahan pencelupan ini masih dipakai sampai tahun 1920. (baca; nunirtaher.pertenunan silungkang).
Proses pencelupan benang tenun pewarnaan alam oleh kelompok perempuan di Kota Sawahlunto. (Ist)
Seiring perjalan waktu dan ingin untuk mendapatkan bahan baku praktis sehingga menggunakan sintetis. Kini tuntutan pasar atau konsumen kelas menengah lebih kepada tenun kain songket pewarnaan alam.

Para perajin tenun kembali memanfaatkan sumber daya lokal dan lingkungan yang ada.

Jefrinaldi seorang tenaga pendamping kelompok perempuan di Sawahlunto menyebutkan, kini pewarnaan alam digalakan untuk kelompok penenun.

Ia menjelaskan, proses perwarnaan alam setidaknya ada empat tahap yang harus dilalui. Tahap pertama mordaping adalah upaya menghilangkan zat lilin dari benang dengan cara direbus sama air tawas selama satu jam setelah air mendidih.

Tahap kedua ekstrak adalah mengeluarkan zat warna dari bahan alam yang dijadikan, seperti daun body atau limbah kulit jengkol. Prosesnya rebus satu kilogram bahan dengan lima liter air selama satu jam, dan setalah mendidik baru disaring, lalu direndam selama 24 jam.

Tahap ketiga pengambilan kunci benang dengan air tawar atau kapur dengan takaran yang disesuaikan.

Sedangkan tahap keempat pencelupan adalah proses setelah akstrak didiamkan 24 jam, maka masukan benang dan untuk mendapatkan satu warna aduk atau rendam empat kali.

Berikut tahap kelima itu, ialah penguncian warna pada benang dengan zat-zat tadi, sehingga tidak berubah warnanya.

"Proses pewarnaan alam memang memakan waktu, tapi harga juga di atas tenun kain songket sintetis," ujarnya.

Songket hasil perajin tenun asal Kota Sawahlunto dengan pewarnaan alam bersumber bahan tanaman indigo vera. (Ist)


Sawahlunto dikenal tak hanya karena daerah lokasi tambang terbesar sejak jaman Belanda, akan tetapi termasuk faktor produk perajin tenun kain songket yang sudah berkembang sejak sebelum kemerdekaan.

Akahkan kejayaan usaha seni tenun tradisional Kota Sawahlunto kembali terulang?.***