Ideologi tiga tokoh feminisme : RA Kartini, Fatima Mernissi, dan Nawal El Sa'adawi

id Feminim, gender, tokoh perempuan Oleh Shanty Dewi Fauzy

Ideologi tiga tokoh feminisme : RA Kartini, Fatima Mernissi, dan Nawal El Sa'adawi

Shanty Dewi Fauzy (ANTARA/Doc.Pribadi)

Padang (ANTARA) - Pengertian dan Sejarah Feminisme secara etimologis berasal kata femme yang berarti: perempuan (tunggal) yang memperjuangkan hak kaum perempuan (jamak) sebagai suatu kelas sosial. Sehingga feminisme adalah suatu paham perempuan dalam memperjuangkan hak nya sebagai kelas sosial.

Secara umum feminisme dimaknai sebagai gerakan menuntut persamaan hak antara pria dan wanita, namun karena feminisme bukanlah suatu teori atau konsep, maka feminisme tidak memiliki makna tunggal.

Pemaknaan feminisme ditentukan oleh budaya dan sejarah suatu masyarakat sehingga makna feminisme sangat mungkin untuk berubah-ubah. Meskipun tidak ada definisi pasti tentang feminisme, tetapi disimpulkan bahwa inti dari feminisme adalah kesadaran akan diskriminasi dan usaha mengubah diskriminasi tersebut menjadi masyarakat yang adil dan seimbang antara laki-laki dan perempuan.

Gerakan mengenai kesetaraan pria dan wanita sudah terjadi selama berabad-abad. Menurut sejarah, Feminisme dimulai dari pemikiran Plato tentang kesetaraan Gender.

Selanjutnya perkembangan feminisme gelombang pertama terjadi pada abad ke 19 sampai awal abad ke 20. Pergerakan feminisme awal terjadi di negara Barat.

Tokoh feminis perempuan dari Inggris Lady Mary Wortley Montagu tahun 1792 menyuarakan hak pendidikan untuk wanita, dimana pada saat itu yang berhak mendapat pendidikan hanya laki-laki.

Menurutnya, dengan pendidikan akan membuat perempuan mandiri secara finansial karena perkembangan intelektualitasnya. Setelah revolusi Amerika 1776 dan revolusi Perancis 1792, berkembanglah paham yang menyatakan bahwa dalam realitas sosial, posisi perempuan kurang beruntung dibanding laki-laki.

Ketika itu, perempuan baik dari semua kalangan tidak memiliki hak dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk berpolitik, mempunyai hak milik, dan hak memperoleh pekerjaan. Sehingga, kedudukan perempuan tidak sama di mata hukum dikarenakan perempuan yang buta huruf dan tidak memiliki keahlian.

Perjuangan Mary dilanjutkan oleh John Stuart Mill tahun 1869, yang menyuarakan persamaan mendapatkan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan serta hak yang setara dalam pernikahan.

Perkembangan feminisme gelombang pertama ini juga berkembang kepada hak politik untuk perempuan. Hal ini juga memicu gerakan yang sama di berbagai negara, seperti Amerika, Persia, Jepang, dan Jerman.

Pada zaman industrialisasi, para perempuan dari kelas menengah mulai menyadari kurangnya peran mereka dalam masyarakat. Mereka mulai keluar ruamh dan melihat berbagai ketimpangan di masyarakat dan korbannya adalah perempuan.

Kemudaian muncullah gerakan yang menghasilkan kesempatan untuk bekerja bagi perempuan kelas menengah dan kelas atas. Namun tentu saja yang memihak kepada patriarki mengkritik gerakan ini, dimana menurut pendukung patriarki perempuan berkarir dalam mencapai tujuannya tetap mengandalkan kaum laki-laki.

Di Amerika Serikat pada tahun 1920 lahirlah Amandemen Kesembilan Belas Konstitusi Amerika Serikat yang memberikan hak politik kepada perempuan. Dalam Undang-undang itu perempuan kulit putih di Amerika Serikat diberikan hak pilih dalam politik.

Keluarnya undang-undang ini menandai berakhirnya gerakan feminisme gelombang pertama.

Tahun 1960 bersamaan dengan banyaknya negara yang terbebas dari penjajahan Eropa, menandai munculnya feminisme gelombang kedua.

Hal ini ditandai dengan diberinya hak suara untuk perempuan di parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh feminis Prancis Helena Cixous dan Julia Kristeva.

Gelombang feminisme di Amerika Serikat pada tahun 1963 ditandai dibentuknya organisasi National Organization for Woman oleh Betty Friedan. Pada tahun 1966, Betty berhasil mendorong keluarnya peraturan bahwa perempuan mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh upah yang sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama.

Gerakan feminisme telah membawa dampak yang luar biasa untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan, namun perjuangan gerakan ini tidak berhenti hanya sampai di situ saja. Rencana dan wacana baru terus bermunculan seiring perkembangan dunia yang dinamis.

Ideologi RA Kartini

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat sering dipanggil dengan RA Kartini, lahir di Jepara tanggal 21 April 1879. Kartini merupakan keturunan ningrat Jawa dimana ayahnya adalah seorang Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibunya seorang guru agama, sehingga Kartini sering disebut sebagai priyayi berdarah pesantren.

Pada akhir abad ke-19 terjadi perubahan situasi politik di Belanda yang berpengaruh pada politik kolonialisme Belanda di Indonesia yang mengarah menjadi politik etis.

Namun perubahan situasi politik ini ternyata tidak berpengaruh kepada dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan tetap hanya terbuka untuk masyarakat kelas-kelas tertentu dan masih kuatnya pengaruh adat. Hal ini tentu membuat perempuan pribumi semakin terkebelakang.

Keadaan ini meresahkan hati Kartini, ia ingin membebaskan kaum perempuan dari keterbelakangan dan memajukan pendidikan para kaum perempuan. Upaya pertama yang dilakukan oleh Kartini adalah dengan mendirikan sekolah perempuan untuk bangsawan, karena menurutnya golongan masyarakat biasa akan mengikuti kemajuan golongan bangsawan.

Pemikiran dan cita-citanya dituangkan dalam surat-surat yang ia kirim kepada sahabat-sahabatnya sejak ia berusia 20 tahun. Isi surat-surat itu menceritakan tentang minimnya pendidikan bagi perempuan pribumi, dan mengecam kelalaian Belanda atas keterbelakangan tersebut.

Menurut Kartini, pendidikan mutlak diperlukan manakala ingin mengangkat derajat perempuan Indonesia yang secara tidak langsung akan mengangkat martabat bangsa pada akhirnya.

Pendidikan menjadi salah satu jalan dari upaya Kartini untuk mewujudkan kesetaraan perempuan di Indonesia, dalam pengantar buku Habis Gelap Terbitlah Terang tergambar perjuangan Kartini “jika perempuan itu berpelajaran, lebih cakaplah ia mendidik anaknya dan lebih cakaplah ia mengurus rumah tangganya, dan lebih majulah bangsanya.”

Perjuangan Kartini tidak hanya seputar pendidikan saja, namun meliputi masalah sosial lainnya seperti kebebasan perempuan, otonomi, dan persamaan hak di mata hukum.

Gerakan Kartini ini menjadi salah satu dasar gelombang feminisme di Indonesia. Dimana gelombang pertama feminisme juga menuntut kebebasan akses perempuan ke pendidikan untuk menciptakan generasi penerus perempuan yang inteletualitasnya setara dengan laki-laki.

Ideologi Fatma Mernissi

Fatima Mernissi adalah seorang tokoh feminis Muslimah asal Maroko yang lahir pada 27 September 1940, selain sebagai tokoh feminis Mernissi juga seorang sosiolog.

Mernissi dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menerapkan segregasi seksual, yaitu dibesarkan bersama saudara-saudaranya di dalam ruangan khusus untuk perempuan, yang disebut dengan harem.

Menurutnya kericuhan sering terjadi antar perempuan yang ada di dalam harem tersebut dan kemegahan gapura harem menjadi kebanggan bagi ayah dan pamannya. Tradisi ini telah dijalani keluarganya dan menjadi tradisi secara turun temurun.

Ketika Mernissi dikirim ke sekolah dasar Al-Qura’an sejak usia 3 tahun, kepadanya ditanamkan paham bahwa pendidikan hanyalah semata-mata untuk mengetahui apa saja yang menjadi batasan dalam hidupnya.

Ketika memasuki sekolah menengah mulailah Mernissi mengalami goncangan-goncangan bathin dengan keadaan di sekitarnya, yang membuka matanya tentang ketidak adilan terhadap perempuan, antara lain pemahaman keagamaan masyarakat mengenai perempuan, keterbelakangan perempuan, dan kecilnya peran perempuan dalam masyarakat.

Mernissi melanjutkan pendidikan ke Universitas Muhammad V di Rabat pada tahun 1959 dan kemudian melanjutkan Magister di Sorbone University Paris, lalu tahun 1970 Mernissi mengambil program Doktoral di Brandeis University Brandeis di Boston. Tahun 1974 Mernissi merasa terpanggil pulang ke Maroko untuk mengabdikan dirinya demi pemberdayaan hak-hak perempuan di Maroko.

Salah satu karya Mernissi yang fenomenal adalah buku Beyond the Veil: Male Female Dynamics in Modern Muslim Society terbita pada tahun 1975. Perhatian serius Mernissi adalah pada isu gender wanita dalam studi Timur Tengah yaitu menyuarakan hak suara wanita ditengah gegap gempitanya politik patriarki di negara-negara Arab.

Selain sebagai seorang akademisi, Mernissi juga diberi julukan sebagai aktivis akar rumput. Selanjutnya karya-karya Mernissi menginspirasi gerakan feminisme, studi tentang tentang perempuan Islam terutama dalam konteks Arab menjadikan karya-karya Mernissi sebagai referensi.

Tidak sedikit Mernissi menerima penghargaan berkelas Internasional sebagai pengakuan atas pergerakannya dalam transformasi masyarakat Islam khususnya perempuan untuk menjadi masyarakat modern, antara lain Erasmus Prize untuk kategori religion and modernity.

Ideologi Nawal El Saadawi

Nawal El Saadawi lahir di sebuah desa di luar Kairo pada tahun 1931, merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara. El Saadawi menulis novel pertamanya saat berusia 13 tahun.

Ayah El Saadawi adalah seorang pejabat pemerintah dan ibunya berasal dari keluarga kaya. Keluarganya berusaha menikahkannya pada usia 10 tahun namun ditolak El Saadawi dan ia mendapatkan pembelaan dari ibunya.

Meskipun orang tuanya menyekolahkannya dan mendorong pendidikannya, namun ia menyadari bahwa anak perempuan kurang dihargai dibanding anak laki-laki.

Dia pernah menceritakan bagaimana dia marah ketika neneknya berkata kepadanya, "satu anak laki-laki berharga setidaknya 15 perempuan ... Perempuan adalah hama".

El Saadawi lulus dengan gelar kedokteran dari Universitas Kairo pada tahun 1955 dan kemudian bekerja sebagai dokter dan kemudian mengambil spesialisasi di bidang psikiatri.

El Saadawi pernah menjadi direktur kesehatan masyarakat pada pemerintahan Mesir, tetapi kemudia dia dipecat pada tahun 1972 setelah menerbitkan buku non-fiksi, Women and Sex (Perempuan dan Seks), yang mencela sunat perempuan dan penindasan seksual terhadap wanita.

El Saadawi berpendapat bahwa ia harus lebih agresif dalam berjuang melawan ketidakadilan. Meskipun sering memicu kemarahan dari pemerintah, namun El Saadawi mendapat banyak pengakuan internasional bahkan buku-bukunya diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa.

"Saya tahu orang tidak selalu setuju dengan politiknya, tapi yang paling menginspirasi saya adalah tulisannya, apa yang telah dia capai dan dampaknya bagi perempuan," kata penulis dan penerbit Inggris Kadija Sesay, yang berperan sebagai agennya di London.

"Terutama jika Anda seorang perempuan Afrika, atau perempuan kulit berwarna, Anda akan terpengaruh oleh pekerjaannya."

Dia menerima banyak gelar kehormatan dari universitas di seluruh dunia. Pada tahun 2020, majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 Women of the Year dan mendedikasikan sampul depan untuknya.

Tetapi satu hal tetap berada di luar jangkauan. Namun satu-satunya impian atau harapannya adalah mendapatkan pengakuan dari Mesir, dia bilang dia telah menerima penghargaan di seluruh dunia, tapi tidak pernah mendapat apa pun dari negaranya sendiri.

Dari ketiga tokoh feminisme Muslim di atas yaitu: RA Kartini, Fatima Mernissi, Nawal El Saadawi dapat diambil benang merah atas ideologi feminisme yang diperjuangkannya, yaitu betapa pentingnya peranan pendidikan dalam suatu perjuangan.

Dari sejarah awal pergerakan perjuangan feminisme itu sendiri, asal muasalnya pada abad ke-19 didasari oleh ketimpangan hak antara perempuan dan laki-laki untuk akses kepada pendidikan.

Pendidikan bagi Kartini adalah jalan untuk meningkatkan martabat suatu bangsa, karena ibu yang terdidik akan menghasilkan generasi dengan inteletualitas.

Pendidikan bagi Mernissi adalah salah satu jalan untuk perbaikan pemahaman agama masyarakat mengenai kesetaraan hak perempuan.

Sedangkan dari kisah El Saadawi dapat dipelajari bahwa untuk memperjuangkan apa yang diyakini sebagai suatu kebenaran haruslah didasari oleh ilmu pengetahuan yang kuat. (Penulis adalah:Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universita Sahid Jakarta).