Ahli: Perlu pemantauan kejiwaan peserta PPDS Unpad secara berkelanjutan

id kekerasan seksual RSHS,unpad,universitas padjajaran,RSHS bandung,ppds

Ahli: Perlu pemantauan kejiwaan peserta PPDS Unpad secara berkelanjutan

Arsip foto - Polda Jabar saat menghadirkan tersangka berinisial PAP atas kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada keluarga pasien di Bandung, Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). (ANTARA/Rubby Jovan)

Jakarta (ANTARA) - Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga dr. Puspita Wijayanti menyebutkan perlu adanya sistem pemantauan berkelanjutan atas kesehatan jiwa peserta PPDS, karena skrining psikologis dan kejiwaan di awal seleksi saja tidak cukup.

Hal itu dia sampaikan terkait kasus kekerasan seksual di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung yang dilakukan PAP, tersangka yang merupakan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjajaran Program Studi Anestesiologi. Tersangka melakukan aksinya terhadap seorang anggota keluarga dari pasien.

"Pemeriksaan psikologis saat seleksi hanya memberikan foto diam (static snapshot) dari kondisi mental kandidat pada titik waktu tertentu. Ia berguna sebagai filter awal, tetapi tidak memiliki fungsi prediktif terhadap kondisi psikis di kemudian hari," ujar Puspita dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Menurutnya, dalam sistem pendidikan kedokteran yang dikenal dengan tekanan tinggi, jam kerja panjang, beban emosional dari pasien, relasi hierarkis yang kadang keras, serta kultur kompetisi, kondisi mental peserta didik bisa berubah secara drastis.

“Kesehatan jiwa dalam pendidikan klinik bukan perkara lolos tes awal, tetapi bagaimana sistem secara aktif memantau, mendeteksi, dan merespons dinamika psikologis yang berkembang selama proses pembelajaran,” katanya.

Namun kenyataannya, banyak rumah sakit pendidikan dan institusi akademik belum memiliki mekanisme pemantauan psikologis yang bersifat berkelanjutan, sistematis, dan adaptif. Tidak ada evaluasi psikologis periodik, tidak ada intervensi dini berbasis observasi lapangan, dan lebih parahnya lagi, tidak ada tempat aman untuk mengakui kerentanan psikis tanpa takut stigma.

Oleh karena itu, ujarnya, perlu ada sejumlah langkah, seperti evaluasi psikologis berkala sebagai bagian dari kurikulum tersembunyi pendidikan dokter spesialis, dilakukan setiap 6 bulan atau tiap transisi rotasi besar.

"Rumah sakit pendidikan perlu membentuk Unit Kesehatan Mental Internal yang independen dari struktur akademik, dengan akses langsung ke peserta didik dan kerahasiaan terjamin. Harus ada mekanisme self reporting dan peer alert system, di mana peserta bisa mengakui beban mental atau melaporkan rekan yang mengalami tekanan berat tanpa risiko diskriminasi," kata dia.

Menurutnya, program residen harus dibekali dengan pelatihan mekanisme koping, mengatur emosi, dan pengambilan keputusan etis di kala stres, sebagai bagian dari kompetensi nonklinis.

"Karena ketika tekanan tidak dikawal, burnout bisa menjelma menjadi disosiasi. Ketika kesehatan jiwa diabaikan, luka internal bisa berubah menjadi kekerasan eksternal. Dan ketika sistem menutup mata, maka seluruh ekosistem pendidikan kedokteran ikut bersalah, bukan hanya pada kegagalan individu, tetapi pada gagalnya peradaban medis yang seharusnya menjaga," katanya.

Sebelumnya, di media massa dikabarkan bahwa PAP memiliki somnophilia, yakni ketertarikan seksual atau fetish terhadap orang pingsan. Akan tetapi, penyidik masih akan mendalami pengakuan tersebut melalui pemeriksaan psikologi forensik.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jabar Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan di Bandung, Rabu, mengatakan bahwa kasus tersebut terjadi pada 18 Maret 2025. PAP (31), katanya, melakukan aksinya saat korban dalam kondisi tidak sadarkan diri setelah disuntik cairan bius melalui selang infus.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Ahli: Perlu pemantauan kejiwaan peserta PPDS secara berkelanjutan