Gerakan "Sebutir Telur" untuk masa depan anak-anak di Kabupaten Asmat

id anak-anak asmat, suku asmat,anak asmat kurang gizi,sebutir telur,keuskupan agats,kabupaten asmat,masa depan asmat,distri

Gerakan "Sebutir Telur" untuk masa depan anak-anak di Kabupaten Asmat

Anak-anak di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Selatan mengambil telur ayam yang disiapkan Keuskupan Agats dan KMKI setempat. (Antara/HO-KMKI).

Kabupaten Asmat (ANTARA) - "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan," itulah selarik sumpah yang diucapkan Yenny Yokung Yong, seorang dokter gigi yang kini bertugas di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan.

Berlatar belakang sebagai dokter gigi, Yenny banyak aktif di bidang sosial dan kemanusiaan di Tanah Papua terutama di Kabupaten Asmat. Selain seorang dokter, ia merupakan Ketua Komunitas Medik Katolik Indonesia (KMKI) Kabupaten Asmat.

Yenny merasa terpanggil untuk mengabdikan hidupnya untuk membantu anak-anak di Kabupaten Asmat, khususnya di Distrik (Kecamatan) Agats yang kekurangan gizi.

Sejak 10 bulan terakhir, dokter asal Makassar tersebut bersama organisasi yang dipimpinnya berkolaborasi dengan Keuskupan Agats membantu memperbaiki gizi anak-anak yang kurang beruntung.

Sebelum gerakan "Sebutir Telur" tersebut digagas secara terjadwal seperti saat ini, Keuskupan Agats sebetulnya telah mulai menjalankannya di beberapa perkampungan. Keuskupan menjual satu butir telur dengan harga yang terbilang jauh lebih murah jika dibandingkan harga di warung kepada mama-mama yang mempunyai anak.

Langkah ini secara tidak langsung ingin mengajarkan bahwa memberikan makanan yang sehat dan bergizi merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi orang tua. Seiring berjalannya waktu, pada Mei 2023 KMKI bekerja sama dengan keuskupan setempat mulai merancang program Sebutir Telur dengan cara merangkul dan mencari anak-anak usia dua hingga tujuh tahun yang bermasalah dengan pemenuhan gizi.

Anak-anak di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Selatan memakan telur ayam yang disiapkan Keuskupan Agats dan KMKI setempat. (Antara/HO-KMKI).

Dorongan kemanusiaan ini pada dasarnya berangkat dari rasa keprihatinan yang mendalam. Menyaksikan banyak anak-anak di Kabupaten Asmat yang bermasalah dengan gizi serta kesulitan mendapatkan air bersih, Yenny bertekad setiap anak harus keluar dari kondisi yang mengkhawatirkan itu.

Jika merujuk Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2020 Kabupaten Asmat yang masih tergabung dalam Provinsi Papua, provinsi itu menempati urutan ketiga setelah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Barat dalam hal prevalensi stunting. Kemudian prevalensi balita wasting, Provinsi Papua berada di posisi ketujuh.

Stunting merupakan gangguan tumbuh kembang pada anak akibat kekurangan gizi yang parah (kronis) dan infeksi yang persisten sehingga anak menjadi pendek atau sangat pendek.

Sedangkan wasting adalah kondisi anak yang berat badannya menurun seiring waktu hingga total berat badannya jauh di bawah standar kurva pertumbuhan atau berat badan berdasarkan tinggi badannya rendah (kurus) dan menunjukkan penurunan berat badan (akut) dan parah. Pemicu wasting biasanya karena anak terkena diare sehingga berat badannya turun drastis tapi tinggi badannya tidak bermasalah.

Harapan bangsa

Menurut Yenny, setiap anak di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, harus menjadi harapan bangsa dan mengubah keadaan yang lebih baik di kemudian hari. Untuk mewujudkan cita-cita besar itu, mereka harus mendapatkan makanan yang bergizi layaknya anak-anak di belahan lain.

Di awal merintis gerakan atau program Sebutir Telur, dia bersama rekan-rekannya menelusuri perkampungan di Distrik Agats untuk mencari anak yang kurang gizi.

Perjuangan mulia tersebut bukan tanpa tantangan. Yenny berusaha untuk meyakinkan para orang tua bahwa anak-anak mereka harus mendapatkan gizi tambahan lewat sebutir telur ayam, serta beberapa makanan tambahan lain yang diberikan negara lewat Kementerian Sosial, sumbangan pribadi hingga donasi dari berbagai instansi.

Para orang tua di Distrik Agats menyambut positif gerakan ini. Namun, mereka tidak mau begitu saja melepaskan anak-anaknya pergi ke Keuskupan Agats tanpa pengawasan. Mama dan Papa (sebutan orang tua di Papua) tetap menemani anak-anaknya setiap sore pergi ke Keuskupan Agats untuk memastikan bahwa anak mereka memang mendapatkan sebutir telur seperti yang dijanjikan.

Selang beberapa waktu mengikuti Program Sebutir Telur, beberapa orang tua mulai kelelahan karena harus bolak-balik mengantarkan anaknya pergi ke keuskupan. Tidak ingin hal itu menjadi hambatan yang bisa memutus upaya memperbaiki gizi, Keuskupan dan KMKI memutuskan untuk menjemput langsung anak-anak di lokasi yang telah ditentukan.

Anak-anak tersebut diangkut menggunakan becak motor milik keuskupan agar mereka tetap mengikuti program yang telah dirintis. Penjemputan dilakukan setiap sorenya sekitar pukul 16.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), dan kembali diantarkan ke tempat semula.

Hingga kini KMKI dan Keuskupan Agats tidak membatasi kuota anak yang ingin mengikuti Program Sebutir Telur. Tak jarang dalam sehari jumlahnya terkadang bisa mencapai 60 anak. Artinya, KMKI dan keuskupan harus merebus dan menghidangkan 60 butir telur ayam.

Setibanya di Keuskupan Agats, anak-anak yang turun dari becak motor langsung diajak menuju wastafel untuk mencuci tangan. Hal ini merupakan aktivitas rutin dan wajib yang mesti dilakukan setiap anak ketika tiba di keuskupan.

Selain mengajarkan tentang pentingnya menjaga kebersihan, keuskupan dan KMKI juga mendidik anak-anak di Asmat untuk membiasakan diri antre dan tertib. Meski terlihat sederhana, namun kebiasaan antre mencuci tangan di wastafel merupakan salah satu pendidikan karakter yang akan berguna bagi mereka di kemudian hari.

Setelah mencuci tangan, anak-anak dikumpulkan di sebuah aula untuk doa bersama sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta atas keberkahan yang diberikan sebelum menikmati telur ayam yang sudah direbus.

Jika stok telur ayam, susu, biskuit dan makanan tambahan lainnya berlebih maka keuskupan akan membagikan kepada anak-anak usia di atas tujuh tahun, termasuk bagi ibu hamil. Hanya saja, program ini diprioritaskan kepada anak usia satu hingga lima tahun mengingat keterbatasannya.

Tidak hanya memerhatikan aspek gizi, anak-anak juga diedukasi untuk mengenal lagu-lagu nasional. Hal ini merupakan upaya sedari dini untuk menanamkan kecintaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Yenny yang juga Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Perpetua Safanpo itu menjelaskan, Program Sebutir Telur bukan untuk pencegahan stunting atau tengkes. Pemberian telur ayam yang kaya akan protein serta makanan tambahan lainnya lebih kepada upaya memperbaiki gizi anak.

Sementara, penanganan stunting maka penanganannya sudah harus dilakukan sejak 1.000 hari pertama kehidupan atau saat janin masih di dalam kandungan.

Program Sebutir Telur meski digagas Keuskupan Agats dan KMKI, namun program ini juga untuk anak-anak beragama Islam atau pendatang. Upaya memperbaiki gizi tidak berkaitan sama sekali dengan perbedaan agama atau suku. Sebab, keuskupan bersama KMKI berpandangan untuk menjadikan anak-anak di Kabupaten Asmat yang sehat dan cerdas, tidak dilihat dari perbedaan namun rasa kebinekaan dan kemanusiaan yang diutamakan.

Ketahanan pangan

Selain menjalankan misi perbaikan gizi, Keuskupan Agast juga menjalankan program ketahanan pangan lewat peternakan ayam petelur. Telur-telur yang diberikan kepada anak-anak di Asmat merupakan hasil dari peternakan keuskupan setempat.

Setiap bulannya KMKI mengeluarkan biaya untuk membeli telur ke pihak keuskupan. Sebagai bentuk sumbangsih, pemberian telur selama seminggu (dalam sebulan) merupakan tanggung jawab dari keuskupan dan sisanya (tiga minggu) ditanggung KMKI.

Program ketahanan pangan berupa peternakan ayam petelur yang dijalankan Keuskupan Agats tersebut merupakan proyek percontohan bagi Tanah Papua yang didukung Kementerian Sosial. Beberapa waktu sebelumnya, Menteri Sosial Tri Rismaharini datang ke Kabupaten Asmat dan mengunjungi Keuskupan Agats untuk menyaksikan langsung pelaksanaan Program Sebutir Telur serta pemberian gizi tambahan bagi anak-anak setempat.

Melihat responsifnya KMKI bersama Keuskupan Agats, Menteri Sosial menyarankan agar keuskupan untuk mengembangbiakkan peternakan ayam petelur. Selain memperlancar dan membantu Program Sebutir Telur, hasilnya juga membantu pemerintah dalam menjalankan ketahanan pangan.Seorang pekerja memanen telur ayam yang dikelola Keuskupan Agats, Kabupaten Asmat guna ketahanan pangan pangan di daerah itu, Minggu (11/2/2024). ANTARA/Muhammad Zulfikar.

Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agats Vallens Aji Sayekti mengemukakan, saat ini keuskupan memiliki 1.050 ekor ayam petelur yang disiapkan sebagai program ketahanan pangan di daerah itu.

Usaha ayam petelur tersebut dirintis pada 2019 yang dibantu langsung oleh Kementerian Sosial. Di tahap awal, pemerintah membantu 1.000 ekor ayam yang ditempatkan di 10 distrik termasuk di Kabupaten Mappi.

Namun begitu, karena besarnya ongkos atau biaya perawatan yang harus dikeluarkan setiap bulannya, keuskupan memutuskan untuk memfokuskannya di Distrik Agats.

Dalam pengelolaannya keuskupan mempekerjakan langsung warga lokal untuk mengurus peternakan ayam petelur. Kini, setiap bulannya usaha tersebut mampu memberikan omzet hingga Rp40 juta per bulan dengan laba bersih sekitar Rp30 juta setiap bulannya.

Keberadaan peternakan ayam petelur milik Keuskupan Agats selain membantu masyarakat di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, juga pedagang atau masyarakat dari beberapa kabupaten tetangga. Pada saat cuaca buruk, harga kebutuhan pokok termasuk telur ayam di daerah ini naik drastis hingga Rp100 ribu per rak (30 butir), sedangkan harga jual telur milik keuskupan setempat tetap stabil Rp70 ribu per rak.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Gerakan "Sebutir Telur" untuk masa depan anak-anak di Kabupaten Asmat