Sejarah Kereta Api Sumbar dan Mimpi "Shinkansen"

id Kereta Api

Sejarah Kereta Api Sumbar dan Mimpi "Shinkansen"

Kereta api. (Antara)

Kereta api memiliki sejarah panjang di Sumatera Barat, dimulai pada zaman penjajahan Belanda dengan pembangunan jalur Pulau Air ke Padang Panjang yang diresmikan pada 6 Juli 1887. Jalur kereta api itu diteruskan ke Bukittinggi sepanjang 90 kilometer dan dioperasikan mulai November 1891.

Jalur kereta itu dibangun guna mengangkut biji kopi hasil tanam paksa dari pedalaman Sumbar seperti Bukittinggi, Payakumbuh dan Pasaman ke Padang untuk kemudian diekspor ke Eropa.

Penemuan batu bara di Sawahlunto oleh W.H De Grave pada tahun 1871 makin memantapkan keinginan Belanda untuk mengembangkan jalur kereta api di Sumbar. Maka rel kereta api dari Padang Panjang menuju Muaro Kalaban sepanjang 56 kilometer pun dibangun dan selesai Oktober 1892. Jalur itu dilanjutkan menuju Sawahlunto pada 1896.

Selanjutnya dalam kurun waktu 22 tahun selesailah pembangunan jalan kereta api di Sumbar sepanjang 230 kilometer.

Maka dimulailah zaman kejayaan kereta api di Sumbar pada akhir abad 19 tersebut hingga pertengahan abad 20. Kereta api tidak hanya sebagai sarana pengangkut barang, tetapi juga transportasi massal.

Kejayaan itu mulai mundur pada 1970-an sampai akhirnya sebagian jalur kereta dihentikan operasionalnya pada 1973 karena kalah bersaing dengan moda transportasi darat lainnya. Berkurangnya produksi batu bara pada tambang PT Bukit Asam Ombilin kemudian menyebabkan kereta api jurusan tersebut juga dihentikan operasinya pada 2003.

Praktis, jalur yang tertinggal hanya Padang-Pariaman yang difokuskan untuk wisata sehingga berangsur-angsur ingatan masyarakat Minang terhadap kereta api mulai pudar. Bagi sebagian orang hal itu tinggal sebatas mimpi. Sejarah penghias cerita di lapau-lapau (kedai) ditemani segelas kopi, ketan dan goreng pisang.

Lahan bekas rel kereta api menjadi semak belukar dan terbengkalai karena tidak digunakan selama bertahun-tahun. Lalu mulailah masyarakat mencoba memanfaatkan lahan di atas rel kereta api tersebut agar lebih berdayaguna. Sebagian ditimbuni tanah dan dijadikan kebun, sebagian jadi lokasi tambang liar galian C, sebagian didirikan rumah bahkan pada beberapa titik telah menjadi jalan protokol dan ruko mewah yang pembuatannya direstui pemerintah daerah.

PT Kereta Api Indonesia (KAI) kemudian memanfaatkan peluang itu untuk mendapatkan pemasukan dengan cara membuat sistem sewa lahan. Masyarakat yang menggunakan lahan bekas rel kereta api diharuskan membayar uang sewa pada PT KAI. Namun tetap menyisakan ruang untuk bisa menggunakan lahan itu sewaktu-waktu dengan membuat salah satu klausul kontraknya, penyewa lahan bersedia mengembalikan bila sewaktu-waktu dibutuhkan PT KAI.

Setelah hampir 40 tahun keadaan tersebut berjalan. Pemukiman mulai tumbuh seperti cendawan dimusim hujan di sepanjang jalur kereta api itu karena sewa lahan yang diterapkan memang tidak terlalu memberatkan masyarakat.

Pembangunan daerah di kabupaten dan kota pada beberapa kasus bahkan tidak lagi mempertimbangkan adanya jalur kereta api, karena transportasi termurah itu hanya tinggal sejarah. Di Payakumbuh misalnya jalan-jalan utama dibangun di atas lahan rel. Di jalur Padangpanjang-Bukittinggi stasiun berubah fungsi jadi kedai atau toko. Bahkan ada instansi pemerintahan yang menyewa di atas tanah rel itu.

Ribuan orang menggantungkan hidup dan tinggal di lahan rel itu selama puluhan tahun. Mereka seakan lupa bahwa sewaktu-waktu, kereta api bisa diaktivkan lagi, menjadi moda trasportasi alternatif untuk mengurangi kepadatan jalan raya yang semakin tidak sanggup menampung pertambahan jumlah kendaraan pribadi.

Rencana menghidupkan kereta api itu muncul tiba-tiba pada 2010. Bahkan PT KAI menyebut Detail Engineering Design (DED) trase jalur kereta telah dibuat berdasarkan peta jalur kereta zaman Belanda. Jalur kereta api itu nanti akan disambungkan ke Pekanbaru, melanjutkan rencana insinyur-insinyur Belanda yang tidak pernah kesampaian sebelumnya.

Wacana itu menjadi hangat. Pro dan kontra dari masyarakat muncul tergantung kepentingan yang melatarbelakanginya. Warga yang menolak karena telah terlanjur bergantung pada lahan itu, sementara yang setuju membayangkan akan bisa memanfaatkan sarana transportasi murah meriah dan anti macet.

Sayang momentum yang telah terbentuk itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Tindaklanjut dari wacana itu tidak nampak oleh masyarakat sehingga muncul stigma bahwa rencana mengaktivkan kereta api Sumbar itu hanya sebatas "carito ambuih-ambuih" atau hanya cerita tanpa realisasi.

Benarlah ternyata, setelah wacana itu diapungkan. Lima tahun setelah itu PT KAI seakan stagnan, jalan di tempat, hingga akhirnya masyarakat menjadi pesimistis. Kalaupun ada wacana serupa setelah itu sebagian masyarakat menjadi tidak percaya.

Begitulah yang terjadi saat Gubernur Sumbar Irwan Prayitno kembali mengapungkan wacana itu pada April 2016. Ia menegaskan, kali ini pengaktivan jalur kereta api itu tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Ia menyebutkan pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan menyediakan anggaran sekitar Rp2,7 triliun untuk menunjang rencana tersebut, karena itu ia meminta bupati dan wali kota yang dilewati jalur kereta api segera mensosialisasikan pada masyarakat terutama yang menggunakan lahan PT KAI.

Namun karena rencana pada 2010 yang tidak berjalan, tetap banyak yang pesimistis hal itu bisa dilakukan. Padahal, pemerintah serius melaksanakan hal itu.

"Just dreaming... it's never come true" tulis akun facebook Delyandri Rasyid saat berita tentang pengaktivan kereta api oleh www.antarasumbar.com tersebut disebarkan melalui akun media sosial.

Tidak hanya masyarakat, bupati dan wali kota pun tidak semua yang mempercayai rencana itu hingga seolah tidak serius dalam membantu pengembalian lahan PT KAI agar rel baru bisa kembali dibangun.

Gubernur Irwan Prayitno dalam beberapa kesempatan seolah membenarkan hal itu. Meski demikian ia tidak mempersoalkan bahkan jika bupati dan wali kota tidak mendukung, ia secara pribadi bersedia turun langsung ke lapangan untuk berhadapan dengan masyarakat.

"Kereta api adalah transportasi murah meriah, efektif dan efisien yang bisa menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan perekonomian masyarakat Sumbar. Manfaatnya akan dirasakan oleh 4,5 juta masyarakat Sumbar, karena itu meski akan ada ribuan masyarakat yang terdampak oleh pengaktivan jalur kereta api itu, tetap akan dilaksanakan," katanya.

Jalur Padangpanjang-Bukittinggi menjadi target pertama. Akhir 2017 lahan itu diharapkan telah dikosongkan dan dikembalikan pada PT KAI agar bisa dilanjutkan proses perencanaan pembangunan rel baru.

Irwan alah bercita-cita kereta api di daerah itu nantinya akan super cepat dan canggih seperti Shinkansen di Jepang yang memiliki kecepatan tertinggi 300 km/jam, sehingga hubungan antar daerah akan makin mudah, angkutan barang juga efektif serta pariwisata berkembang.

"Ini adalah cita-cita. Agar terwujud, sejak sekarang prosesnya harus sudah dimulai," katanya.

Ia meyakini jalur itu nanti akan menggerakkan sektor perekonomian daerah dan mendorong perkembangan pariwisata Sumbar yang terdapat pada 19 kabupaten dan kota.

Sementara itu Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatera Bagian Barat, Bernadette mengatakan untuk mengaktifkan kembali jalur kereta api di Sumbar Dirjen Perkeretaapian Kementrian Perhubungan telah melakukan sejumlah kegiatan, seperti peningkatan jalur Padang-Padang Pariaman, mengaktifkan kereta jalur Lubuk Alung-Kayutanam dan membuka jalur Simpang Haru-Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

Selain itu, target utama program perkeretaapian di Sumbar mengkoneksikan jalur kereta Sumbar-Riau via Logas. Dalam mendukungnya pemerintah sudah melakukan peningkatan kapasitas rel, dengan mengganti bantalan rel dari bantalan kayu menjadi bantal beton.

"Secara umum target kita reaktivasi semua jalur kereta di Sumbar kemudian membangun rel yang menghubungkan Sumbar dengan Trans Sumatera," katanya.

Untuk pendukung reaktivasi jalur, akan didukung dengan pembangunan enam jembatan sepanjang jalur Padang-Kayutanam dan peningkatan jalur Padang-Padang Pariaman. Kemudian pembangunan tiga flyover. Jalur Padang-BIM pembangunan peron dan terminal di BIM, termasuk jembatan layang.

Sementara untuk jalur Trans Sumatera pada 2017 reaktivasi juga dilakukan untuk jalur Padang Panjang-Bukittinggi dan Limapuluh Kota.

"Untuk kegiatan ini pada 2017 dimulai dengan sosialisasi pola aksi untuk menertibkan kembali rel yang sudah beralih fungsi. Kemudian eksekusi penertiban bangunan, 2018 dilanjutkan dengan penyusunan dokumen dampak lingkungan dan detail engineering design (DED)," kata dia.

Menurutnya konstruksi akan bisa segera mulai dilaksanakan pada 2019.

Kepala Dinas Perhubungan Sumbar Amran mengatakan koneksi jalur kereta api di Sumbar dengan jalur rel Pekanbaru sangat mungkin dilakukan karena trase peninggalan Belanda sudah ada.

"Peta rencana pembangunan jalur kereta api zaman Belanda masih ada dan bisa dilanjutkan. Tetapi memang butuh pengkajian dan penelitian lebih lanjut apakah jalur itu sesuai dengan jenis kereta api yang ada sekarang," katanya.

Ia menjelaskan, jalur rel dari Pariaman rencananya akan diteruskan ke Rao, bercabang ke Padang Sidempuan terus ke Sibolga di Pantai Barat. Sementara cabang lain akan menyambung dengan rel yang sudah ada di Tanjung Balai Asahan di Pantai Timur dengan melewati Kota Pinang.

Sementara jalur Muaro (Sijunjung) bisa dilanjutkan ke Pekanbaru serta akan menyambung rel dari arah Lahat di Selatan melewati Sorolangun dan Rantauikir. Tidak dilupakan juga cabang rel yang ke arah Sungai Penuh (Kerinci) dan Bengkulu. Inilah backbone dari jaringan rel pulau Sumatera yang didesain oleh para insinyur dari perusahaan kereta api Belanda, Nederlandsch-Indische Staatsspoorwegen.

"Sekarang jalur menuju Pekanbaru melalui Logas itu sedang dalam proses," katanya.

Ia meyakini, pada 2019 seluruh proses perencanaan telah matang dan pembangunan fisik mulai bisa dilakukan. Bahkan untuk beberapa titik prosesnya mungkin bisa lebih cepat.

Pada 2020 masyarakat Sumbar akan tahu, apakah menghidupkan kereta api itu hanya sebatas mimpi atau sebuah kenyataan: Awal dari cita-cita mewujudkan Shinkansen di Ranah Minang. (*)