Fenomena Bongkar Pasang Koalisi

id KPU Kota Bukittinggi,Pemilu 2024,Berita bukittinggi,Berita sumbar Oleh Drs. Yasrul,M.M

Fenomena Bongkar Pasang Koalisi

Drs. YASRUL, MM Komisioner KPU Kota Bukittinggi, Sumatera Barat Periode ( 2013 – 2018 , 2018-2023) (ANTARA/Doc.Pribadi)

Bukittinggi (ANTARA) - Pergerakan dinamika politik saat ini sangat menyenangkan untuk diikuti sekaligus membingungkan bagi para bakal calon legislatif yang akan ikut bertarung dalam kontestasi pemilu 2024.

Bagi masyarakat luas terjadinya bongkar pasang koalisi yang dibangun oleh partai politik menjelang pendaftaran bakal calon presiden dan wakil presiden untuk pemilu 2024 ini menjadi pembelajaran dan bertambahnya wawasan berfikir tentang siapa dan partai mana yang akan dipilih.

Kualitas calon pemimpin dan kemampuan partai politik untuk mengakomodir keinginan rakyat untuk lima tahun ke depan semakin jelas untuk dicermati dan dipelajari menjelang hari pemungutan suara.

Sebaliknya terjadinya bongkar pasang koalisi oleh partai politik di tingkat pusat sangat membingungkan bagi partai politik dan para bakal caleg di tingkat daerah.

Partai politik di tingkat daerah dan bakal calon legislatif di tingkat daerah maupun tingkat pusat yang sudah mendaftar sebagai petarung merebut kursi legislatif dalam pemilu 2024 mau tidak mau, suka atau tidak suka tentu harus tegak lurus dengan perintah partai politik di tingkat pusat.

Bagi pimpinan partai politik di tingkat daerah dan bakal calon legislatif yang tidak patuh kepada instruksi partai politik di tingkat pusat tentu akan mendapatkan sanksi dari partai politik yang mereka tumpangi, bahkan lebih dari itu tidak akan diizinkan untuk maju sebagai calon legislaif dalam pemilu.

Akibat dari terjadinya bongkar pasang koalisi partai politik di tingkat pusat, sedikit banyaknya akan memberikan rasa kecewa dan kegusaran bagi partai politik dan bakal calon di tingkat daerah.

Rasa kecewa dan kegusaran tersebut dilampiaskan dalam berbagai bentuk. Ada yang mengungkapkan kekecewaan melalui media sosial dan bahkan kekecewaan itu dilampiaskan dengan pembongkaran berbagai baliho dan spanduk partai politik dan bakal calon yang sudah terpasang di berbagai pelosok.

Kita tahu bahwa dalam sistem pemerintahan Indonesia setiap pemilu, baik pemilu legislatif, pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah selalu ada kelompok-kelompok partai politik atau gabungan partai politik yang mengusung kandidat calon secara bersama-sama yang dikenal dengan koalisi.

Gabungan partai-partai politik tersebut membentuk sebuah koalisi atau kerjasama untuk membangun kekuatan dalam memenangkan kandidat calon yang diusung.

Koalisi adalah sebuah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur dalam membentuk kerjasama yang masing-masingnya memiliki kepentingan sendiri-sendiri.

Aliansi seperti ini biasanya bersifat sementara atau dibentuk pada saat momen pemilihan Presiden dan Wakil Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah.

Dalam koalisi yang bersifat sementara itu biasanya terbentuk hanya berdasarkan agenda politik tertentu atau kecocokan pandangan antar partai politik yang ingin berkoalisi.

Bertolak belakang dengan keinginan rakyat agar koalisi itu betul-betul kerja sama politik yang permanen untuk membangun pemerintahan yang kokoh, bukan koalisi pura-pura kerjasama.

Koalisi atau kerja sama politik yang ideal tentunya adalah koalisi yang berbasis pada ideologi dan platform serta visi-partai yang sama.

Masing-masing partai politik yang berbasis ideologi dan visi yang sama bersepakat membentuk koalisi atau kerja sama politik berbasis pada masalah kenegaraan yang akan mereka hadapi dalam lima tahun ke depan.

Misalnya, sebuah negara mengalami krisis ekonomi, koalisi atau kerja sama politik yang dibentuk berbasis pada kesepakatan soal kebijakan bersama parpol yang akan diambil untuk mengatasi masalah ekonomi.

Begitu juga dalam persoalan hukum, pendidikan, sosial atau persoalan negara lainnya. Koalisi atau kerja sama politik yang tidak berbasis pada ideologi dan visi partai yang sama akan sangat rentan terbentuk oleh alasan-alasan yang sifatnya pragmatis. Ini menjadi kata kunci bagi masyarakat melakukan kontrol.

Secara konstitusional konsep koalisi tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dinyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Pada ayat tersebut tercantum rangkaian kata gabungan partai politik. Maksud dari rangkaian kata tersebut yaitu koalisi partai politik. Ketentuan ini adalah dalam konteks pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik.

Ketentuan mengenai gabungan partai politik dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 ini semakin relevan jika melihat realitas politik yang ada di Indonesia. Hasil pemilihan umum anggota legislatif menunjukkan bahwa tidak ada partai politik yang dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa berkoalisi.

Hal ini terkait dengan syarat jumlah dukungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 222, bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Tidak semua koalisi partai politik memberikan hasil positif bagi rakyat Indonesia, adakalanya para anggota partai politik ingin berkoalisi demi kepentingan partainya atau kepentingan diri sendiri, terutama pada saat pemilihan umum.

Tindakan mau menang sendiri oleh satu kelompok partai terkadang tidak memperhatikan kepentingan rakyat maupun kepentingan negara. Padahal untuk menjadi orang-orang pemerintahan, mereka harus mengutamakan kepentingan negara diatas kepentingan individu, kelompok, maupun golongan.

Sudah menjadi rutinitas di masa-masa menjelang pemilu partai politik mulai bermanuver mencari koalisi.

Pembentukan koalisi partai politik seharusnya didahului pertimbangan mengenai kekuatan. Setiap partai politik mempertimbangkan kekuatan dalam koalisi. Pertimbangan akan sangat berpengaruh terhadap proses elektoral yang akan dijalani.

Partai politik yang kepentingannya tak terakomodasi dalam proses elektoral koalisi bisa berubah menjadi lawan politik. Meski hanya satu atau dua partai politik yang kepentingannya tak terakomodasi, namun dampak yang ditimbulkan sangat besar.

Satu atau dua partai yang berubah haluan menjadi lawan bisa bergabung dengan koalisi politik yang menjadi lawan.

Meskipun koalisi terbentuk karena berbagai alasan, koalisi terbentuk terutama sebagai respons terhadap peluang atau tantangan.

Prioritas dan peluang pendanaan juga mempengaruhi pada terbentuknya koalisi.

Koalisi antara partai politik seharusnya membangun kerjasama untuk sebuah pemerintahan yang kuat demi mewujudkan dan merealisasikan cita-cita dan tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Harapan semua rakyat agar semua elit politik mampu menangkap maksud dibukanya ruang koalisi.

Elektabilitas dan Popularitas seorang calon Presiden dan Wakil Presiden yang mampu menciptakan fenomena magnet politik pada saat Pemilu merupakan faktor dominan untuk terciptanya sebuah koalisi.

Artinya, prasyarat penting terjadinya fermentasi politik dalam koalisi akan terpenuhi oleh hal ini. Partai-partai politik akan berkoalisi untuk mencalonkan seseorang yang punya elektabilitas dan popularitas di mata rakyat, Koalisi seperti ini biasanya akan memenangkan pertarungan dalam Pemilihan Umum.