Pulsa telepon dan rokok belanja paling besar rumah tangga, iuran kesehatan bukan prioritas

id Menkeu Sri Mulyani,Iuran BPJS Kesehatan,Defisit BPJS Kesehatan

Pulsa telepon dan rokok belanja paling besar rumah tangga, iuran kesehatan bukan prioritas

Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (kedua kanan) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kedua kiri) menyampaikan paparan saat rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (27/5/2019). (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww).

Meskipun kita lihat dari sisi belanja rumah tangga paling besar untuk beli pulsa telepon, bahkan rokok, tapi untuk iuran kesehatan tidak masuk dalam top prioritas mereka. Ini masalah edukasi

Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani memiliki beberapa “resep” untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dapat berkelanjutan dan berkesinambungan.

Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat terkait dengan audit keuangan BPJS Kesehatan di Komisi IX DPR RI Jakarta, Senin (27/5) malam, mengatakan hal pertama harus dilakukan adalah menyesuaikan besaran iuran agar sesuai dengan layanan yang diberikan saat ini, atau iuran tetap sama namun mengurangi manfaat layanan yang diberikan.

Namun, Sri menyebutkan ada sisi kemanusiaan dan hal lainnya yang sensitif terkait dengan kebijakan tersebut.

Jika besaran iuran dinaikan, peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari kalangan masyarakat miskin akan baik-baik saja karena dibayarkan pemerintah.

Namun, yang masih menjadi kendala adalah bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah yang masuk dalam Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau pekerja mandiri yang hingga saat ini kolektivilitas iurannya masih rendah.

“Meskipun kita lihat dari sisi belanja rumah tangga paling besar untuk beli pulsa telepon, bahkan rokok, tapi untuk iuran kesehatan tidak masuk dalam top prioritas mereka. Ini masalah edukasi,” kata dia.

Sri Mulyani juga menjabarkan perlunya program promotif dan preventif dari Kementerian Kesehatan untuk mencegah angka kesakitan di masyarakat yang berdampak pada membengkaknya biaya klaim dari penyakit tidak menular.

Program promotif dan preventif yang juga harus dilakukan dari pemerintah daerah itu, katanya, untuk melengkapi program JKN yang berkelanjutan dan berkesinambungan.

Untuk mencegah potensi kecurangan dan penyalahgunaan layanan, BPJS Kesehatan juga diminta membenahi sistem pengelolaan data agar mempersempit ruang kecurangan. Hal itu diperlukan, mengingat BPJS Kesehatan bekerja sama dengan lebih dari 2.509 rumah sakit di seluruh Indonesia.

Selain itu, perlu dilakukan peninjauan kebijakan dalam memberikan dana kapitasi untuk pembiayaan layanan dan operasional di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), seperti puskesmas dan klinik agar lebih efektif dan efisien.

Saat ini, terdapat silpa dana kapitasi Rp2,5 triliun Tahun Anggaran 2018 yang mengendap di pemerintah daerah. Seharusnya dana tersebut untuk meminimalkan defisit atau gagal bayar BPJS Kesehatan terhadap jaminan kesehatan melalui peraturan yang diterbitkan Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri.

“Saya tentu berharap dengan semua aspeknya bisa diselesaikan maka Tahun 2020 kita mungkin bisa betul-betul mengurangi kemungkinan terjadinya gagal bayar atau penundaan pembayaran hingga bahkan lebih dari satu tahun,” kata Sri Mulyani.