Rafah Ibarat Kota Mati pada Tahun Baru

id Tahun Baru, Rafah

Rafah, Perbatasan Mesir-Gaza, (AntaraSumbar) - Dua jam menjelang detik-detik malam pergantian tahun baru, Kamis (31/12), Rafah diguyur hujan cukup deras diiringi dengan suara petir menggelegar di cakrawala kota perbatasan Mesir-Gaza, Palestina, itu.

Panorama kota Rafah amat cerah setelah hujan. Pas pukul 24.00, Antara sengaja memantau seantero Rafah dari puncak sebuah apartemen tempat menginap.

Langit tampak bersih bertabur bintang. Namun, jalan-jalan sepi, lampu penerang jalan, dan rumah-rumah warga tampak redup di sana-sini, sunyi senyap laksana kota mati.

Di tengah keheningan, empat tank tempur tampak beriringan melintas dengan suara bising. Sesekali terdengar suara tembakan senjata berat di kejauhan sana.

Kondisi senyap Kota Rafah pada malam Tahun Baru 2016 sangat kontras dengan suasana di Ibu Kota Mesir, Kairo, yang gegap gempita dengan pesta kembang api.

Berbagai jaringan televisi nasional Mesir menyiarkan secara langsung perayaan malam pergantian tahun baru secara besar-besaran yang dipusatkan di Kompleks Piramida Giza, bagian barat Kairo.

Piramida dan Sphinx yang merupakan salah satu keajaiban dunia pada malam itu bermandi cahaya kembang api aneka warna.

Kementerian Pariwisata Mesir memprakarsai perayaan malam tahun baru di Piramida itu dengan mengusung tema: "From Egypt to the World".

Sekitar setengah jam setelah lewat tengah malam, tiba-tiba "byaarr", listrik padam di Rafah hingga terbit fajar. Hanya satu jam kembali hidup, listriknya padam lagi hingga menjelang azan Salat Jumat.

Sepi senyapnya jalan-jalan di Kota Rafah ini terkait dengan pemberlakuan keadaan darurat. Dengan berlakunya jam malam, mulai pukul 19.00 hingga 06.00.

Warga Rafah mengatakan bahwa jam malam itu resminya berlaku mulai pukul 19.00, namun pukul 17.00 tentara sudah mulai memperketat izin lalu lintas keluar-masuk Rafah.

Rafah merupakan satu-satunya kota di Mesir yang waktu pemberlakuan keadaan darurat terpanjang, sejak Agustus 2013, taklama setelah tumbangnya Presiden Mohamed Moursi.

Jam malam itu diberlakukan menyusul terbunuhnya belasan tentara dan polisi Mesir akibat serangan kelompok garis keras yang diduga pendukung Presiden Moursi.

Serangan dan pembunuhan sporadis yang dilalancarkan gerilyawan bersenjata dengan sasaran tentara dan polisi di Rafah ini terus berlangsung hingga kini.

Akibatnya, pemberlakuan jam malam di Rafah ini diperpanjang setiap tiga bulan sejak dua tahun silam.

Presiden Abdel Fatah Al Sisi pada tanggal 25 Oktober lalu kembali mengumumkan perpanjangan jam malam di Rafah, Sheikh Zuweid, dan Al Arish, bagian utara Semenanjung Singai, untuk tiga bulan ke depan hingga Januari 2016.

Namun, di kota Al Arish, tetangga bagian barat Rafah, pemberlakuan jam malam lebih singkat dari pukul 00.00 hingga 6.00 pagi.

Banyak jalan di kota Rafah ditutup, kondisi jalan-jalan juga hancur akibat sehari-harinya dilewati tank-tank tempur.

Sejumlah jalan utama bahkan sengaja dibuat berkelok-kelok dari tumpukan pasir, terutama dekat pos pemeriksaan.

Pada waktu siang, bila konvoi tank tempur lewat, tampak semua kendaraan sipil menepi di pinggir jalan.

"Ini hanya kesadaran sendiri oleh pengendara sipil menepi di jalan saat tank lewat sebagai penghormatan terhadap tentara," kata Faiz Abdel Hamid, sopir taksi di Rafah, ketika ditanya mengapa semua kendaraan sipil harus menepi di jalan setiap kali berpapasan dengan iringan-iringan tank tempur di jalan.

Kendaraan sipil juga diperiksa sangat ketat berulang-ulang di setiap pos periksaan. Pos-pos pemeriksaan itu berjarak relatif sangat dekat mengakibatkan anterian panjang kendaraan.

Petugas pemeriksaan di Rafah itu hampir tak terlihat polisi, semuanya tentara dengan tentengan senjata siap tembak.

Tidak seperti kota lainnya, di Rafah tidak ada fasiltas hotel.

Oleh karena itu, orang Indonesia, termasuk delegasi DPR RI yang berkunjung ke Gaza, biasanya bermalam di kota Al Arish, berjarak sekitar 50 km arah barat Rafah.

"Rafah merupakan satu-satunya kota di Mesir yang tidak dikunjungi turis asing karena selain tidak ada fasilitas akomodasi hotel, juga keamanan tidak kondusif," kata Ashraf Abdel Maguid, agen wisata Masr Lil Siahah.

Di sisi lain, Rafah juga merupakan satu-satunya wilayah perbatasan Mesir yang diadakan zona penyangga di garis perbatasan dengan Gaza. Mesir berdalih, zona penyangga itu tujuannya mengamankan wilayahnya dari penyusupan warga asing.

Zona penyangga sepanjang 13 km dan lebar 500 meter itu memaksa penggusuran 900-an rumah dan secara paksa relokasi lebih dari seribu penduduknya di sana.

Akhir bulan lalu, Amnesti Internasional menyerukan pemerintah Mesir untuk menghentikan penggusuran warga dan mengutuk adanya zona penyangga.

Begitulah sekelumit suasana Rafah bak kota mati pada malam Tahun Baru 2016. (*)