Samin Surosentiko, Simbol Perlawanan Buruh Paksa dari Sawahlunto

id Sawahlunto

Tepat hari ini, Jumat, 1 Mei 2015, seluruh buruh di dunia memperingati Hari Buruh Internasional dengan berbagai cara, corak dan gaya, yang kesemuanya ditujukan guna memperjuangkan hak-hak kaum buruh untuk mendapatkan upah dan perlakuan yang layak demi kesejahteraannya beserta keluarga.

Ragam bentuk aksi mereka tunjukkan agar masyarakat dunia mau membuka mata dan memahami keinginan mereka, lalu secara bersama-sama turut melawan ketidakadilan yang menimpa mereka dalam bekerja.

Upah yang tidak layak, minimnya tunjangan yang mereka terima serta hubungan kerja sistim kontrak, atau lebih populer dengan istilah "Outsourching", seakan - akan sudah menjadi sebuah kondisi kegawatan yang coba disuarakan oleh kaum buruh.

Dengan memberikan julukan terhadap Hari Buruh itu dengan sebutan "May Day", sebuah istilah yang dipakai dalam dunia transportasi laut dan udara ketika meminta pertolongan saat terjadi situasi yang gawat, cukup memberi kita gambaran tentang bagaimana nasib dan perlakuan yang diterima kaum buruh di dunia.

Di Indonesia, masalah tidak layaknya perlakuan yang diterima buruh, sudah berlangsung sejak zaman penjajahan kolonial Belanda, saat terjadinya era kerja paksa, kerja rodi sampai tanam paksa yang diberlakukan oleh penjajah untuk mengeruk keuntungan besar dari bumi nusantara.

Salah satunya seperti yang terjadi di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat (Sumbar), yang dikenal sebagai daerah penghasil mineral batu bara jenis terbaik di dunia. Ribuan rakyat Indonesia didatangkan dari luar pulau Sumatera, seperti pulau Jawa, Sulawesi, Tumasik dan lain sebagainya, untuk bekerja sebagai buruh paksa di lubang- lubang tambang milik kolonial Belanda, kala itu.

Seperti yang dikisahkan oleh Ketua Komunitas Dulur Tunggal Sekapal, Sukadi T, sebuah perkumpulan tempat berhimpunnya anak cucu para buruh paksa atau lebih dikenal dengan sebutan "Orang Rantai", tentang sosok pejuang buruh di kota itu, Samin Surosentiko.

Menurut dia, Samin Surosentiko merupakan salah satu dari ribuan orang yang dipekerjakan secara paksa, tanpa upah yang layak dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Mereka disiksa, dirantai dan dipaksa bekerja tanpa mengenal waktu untuk memberikan keuntungan sangat besar bagi pemerintah kerajaan Belanda.

Mereka terpaksa tinggal di tangsi-tangsi milik Belanda dan ada juga yang dipaksa menempati lubang-lubang tambang sebagai tempat tinggal mereka, yang kondisinya jauh dari kata layak dari sebuah permukiman.

"Kondisi tersebut tentu menimbulkan sikap perlawanan dari kaum buruh paksa itu, salah satu yang paling fenomenal adalah perjuangan Samin Surosentiko atau Mbah Suro," kata dia.

Dia mengatakan, Mbah Suro yang dipercaya berasal dari daerah Blora, Jawa Tengah (Jateng), tampil menjadi sosok pejuang kaum buruh paksa dalam membela hak mereka untuk hidup layak dengan upah yang memadai.

"Dari cerita yang saya dapatkan dari orang - orang tua, Mbah Suro di daerah asalnya adalah seorang pemimpin spiritual bagi para "Kaum Samin", yang memiliki ribuan pengikut," jelasnya.

Dalam gerakannya, Mbah Suro dikenal gigih menolak aturan yang diberlakukan penjajah, yakni menetapkan pajak yang tinggi, tanam paksa dan lain sebagainya.

Akibat perlawanannya beserta "Kaum Samin" tersebut, Mbah Suro beserta tujuh orang lainnya ditangkap dan dipenjarakan di pulau Nusakambangan.

"Kemudian mereka dikirim ke Sawahlunto menggunakan kapal milik penjajah, dan dipekerjakan sebagai buruh paksa di daerah tujuan," kata dia.

Menurut dia, kisah inilah yang melatari mereka saat memberi nama perkumpulan anak cucu keturunan orang rantai itu, dengan nama Dulur Tunggal Sekapal, yang berarti saudara satu kapal, yang kemudian menjadi satu-satunya keluarga yang dikenal oleh keturunan mereka, sampai sekarang.

"Dalam perlawanannya terhadap kaum penjajah, Mbah Suro sempat melarikan diri dan terus dikejar-kejar, bahkan beliau harus menghadapi orang suruhan penjajah yang diperintahkan menangkapnya dengan imbalan sejumlah uang," ujar dia.

Sehingga, lanjutnya, sampai saat ini pun tidak diketahui secara pasti tentang kapan Mbah Suro meninggal dan dimana ia dimakamkan.

Kini, nama Mbah Suro diabadikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Sawahlunto pada salah satu lubang tambang milik pemerintah kolonial Belanda, dengan nama Lubang Mbah Suro.

Lubang Mbah Suro tersebut dikembangkan menjadi objek wisata sejarah di kota itu, saat daerah tersebut tidak lagi menjadi penghasil batu bara akibat menipisnya kandungan akibat "digerus" sejak berabad-abad silam.

Sebagai kota wisata tambang yang berbudaya, Kota Sawahlunto berupaya mengangkat nilai-nilai perjuangan para pendahulu tersebut, yang diakui atau tidak merupakan sosok-sosok pahlawan pembela kebenaran dan berani mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan kaum tertindas, para buruh paksa.

Agaknya, kita semua harus membuka kesadaran dan melihat secara jernih terhadap nasib kaum buruh, yang sudah ditindas sejak lama oleh sistim ekonomi kapitalis.

Sebuah sistim ekonomi yang diterapkan sejak lama oleh penjajah dan selalu menginginkan keuntungan besar dengan membayar upah murah tanpa tunjangan apapun bagi para buruh.

Selamat Hari Buruh Internasional, May Day..May Day..May Day. (*)