Luas Tutupan Hutan Sumbar Terbaik di Sumatera

id Luas Tutupan Hutan Sumbar Terbaik di Sumatera

Padang, (ANTARA) - Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI Warsi) menyatakan luas tutupan hutan Sumatera Barat merupakan yang terbaik dan bagus di wilayah Sumatera, meskipun luas areal dibandingkan daerah lain tergolong sedikit. "Luas tutupan hutan Sumbar mencapai 47 persen atau di atas ketentuan yang ditetapkan berjumlah sekitar 30 persen. Meski luas areal sedikit dibandingkan kawasan hutan Riau, Sumut dan NAD," kata Direktur Eksekutif KKI Warsi, Rakhmat Hidayat di Padang, Jumat. Menurut dia, kondisi masih masuk terjaga areal tutupan hutan Sumbar, tentu tak terlepas dari pengelolaan terhadap kawasan hutan masih berjalan dengan baik. KKI Warsi berkeyakinan terhadap kearifan lokal masyarakat Sumbar dalam menjaga hutan, karena peran ninik mamak (tokoh adat, red) masih kuat keterlibatnya. "Kami yakin, di Sumbar sangat khusus sehingga perlu pendekatan yang khusus pula terkait dengan sejarah panjang pengelolaan hutan. Maka peluang untuk pengembangan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat sangat dapat dicapai," ujarnya. Sebagaimana diketahui dalam adat Minangkabau, tak ada lahan baik berupa kawasan maupun permukiman yang tidak bertuan dan menjadi harta pusako tinggi yang penguasaan dan pengelolaannya komunal terbagi --suku, kaum dan nagari disebut tanah ulayat--. Meski dalam pengetahuan lokal masyarakat telah mengatur pola pemanfaatan yang berkelanjutan dan mempertimbangkan fungsi hutan, dimana rawah untuk lahan sawah dan lereng buat areal perladangan. Oleh karena itu, menurut dia, pelibatan lembaga adat seperti LKAAM, Ninik Mamak dan lainnya sangat penting dalam mendorong proses hutan nagari. Upaya pembangunan dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBN) bukan tanpa tantangan dan hambatan yang dihadapi, namun upaya ini terus dilakukan. Hambatan tersebut, di antaranya lambatnya birokrasi dan proses penetapan areal yang harus dilalui di Kementerian Kehutanan dalam percepatan PHBM. Sebab, untuk pengusulan satu hutan nagari dan hutan kemasyarakat harus melewati 27 menja mulai dari proses berkas diterima hingga penandatanganan. Salah satu contoh, kata Rakhmat, ada satu usulan di Lampung prosesnya sampai tiga tahun sampai sekarang masih belum tuntas, dan masih lemahnya koordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, serta pengalokasian dana dari kabupaten dan kota masih terbatas. Ia mengatakan, kapasitas pendampingan belum memadai dan ada pula lokasi yang diusulkan dalam status konflik, makanya ke depan perlu perubahan dalam pengelolaan hutan oleh semua pihak. Perubahan itu meliputi paradigma dari pemilik modal kepada memberi ruang badi masyarakat, perubahan cara pandang menuju pengelolaan sumber daya hutan secara mandiri. Kemudian perlu perubahan dari pasif menjadi aktif termasuk perubahan struktural menjadi kristalisasi kelembagaan dan mesti terus ditingkatkan kemampuan aktor-aktor dalam rangka memperkuat kelembagaan. Rakhmat mengatakan, dua hutan nagari yang sudah mendapatkan izin hak pengelolaan dari Gubernur Sumbar salah satunya di Simancung Solok Selatan, telah dilakukan fasilitasi dan dukungan dari para pihak. Kegiatan yang dilakukan di antaranya penguatan kapasitas kelembagaan lokal (penyusunan perencanaan dan manajemen pengelolaan), pengembangan sumber pendapatan keluarga melalui pengkayaan agroforest dan pengembangan kebut bibit nagari. "Kita juga mendorong bersama para pihak untuk mendukung masyarakat di kawasan hutan nagari mengembangkan pertanian organik, pembuatan petak ukur parmanen dan pembuatan koperasi simpan pinjam," katanya. (*/sun)