Refleksi PSDA Sumbar: ancaman bencana ekologis dan antisipasinya melalui perhutanan sosial

id KKI Warsi, tutupan hutan sumbar, bencana ekologi

Refleksi PSDA Sumbar: ancaman bencana ekologis dan antisipasinya melalui perhutanan sosial

Mari bersama sembuhkan hutan, pulihkan bumi untuk masa depan negeri. (ANTARA/HO-KKI Warsi)

Padang (ANTARA) - Penghujung tahun 2023, Sumatera Barat mengambil alih perhatian nasional karena mengalami bencana alam erupsi Gunung Marapi yang menewaskan puluhan pendaki.

Belum tenang Marapi, disusul dengan bencana banjir dan longsor yang melanda Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Agam, membuat akses jalan Sumbar-Riau lumpuh, menghanyutkan kawasan ekowisata Harau, 2 orang korban meninggal dunia, rumah rusak, dan mendatangkan kerugian lainnya.

Bila dilihat ke tengah tahun, pada Juli 2023 Sumbar juga mengalami banjir, sebanyak 7 Kabupaten/Kota terendam. Pesisir Selatan, Agam, Kepulauan Mentawai, Kota Padang, Pasaman Barat, dan Kota Pariaman. Kejadian ini menyebabkan 5 orang korban meninggal dunia. Lalu kenapa bencana banjir terjadi berulang di Sumatera Barat?

Kejadian banjir yang melanda Sumbar justru pada saat musim kemarau. Kondisi ini diperparah dengan tidak sepadan dengan kemampuan tanah untuk menyerap air.

“Banjir dan longsor juga disebabkan ketidakmampuan tanah menyerap air dan meluncur menjadi aliran permukaan. masuk ke alur sungai yang sudah banyak material sedimentasi, maka banjir pun tak terelakkan,” kata Adi Junedi Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi

Bencana ekologis seperti banjir dan longsor merupakan fenomena alam yang terjadi akibat adanya perubahan tatanan ekologi yang mengalami gangguan atas beberapa faktor yang saling mempengaruhi antara manusia, makhluk hidup dan kondisi alam.

Oleh karena itu, TIM GIS KKI Warsi melakukan analisis keruangan Sumbar untuk melihat pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Sumbar dan pengaruhnya terhadap bencana ekologis yang terjadi. Analisis menggunakan citra satelit sentinel, dipadukan dengan pengamatan dari google earth, citra spot 6, dan SAS Planet.

“Dari analisis yang dilakukan, terdapat lahan terbuka yang cukup luas di Sumatera Barat. Kondisi ini juga turut menjadi penyebab banjir di Sumbar,” katanya.

Diketahui jumlah lahan terbuka di Sumbar selama tahun 2023 dengan total luasan wilayah 91.375 hektar di berbagai fungsi kawasan. Diantaranya seluas 889 hektar di kawasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Alam, 12.269 hektar di kawasan PBPH Hutan Tanaman Industri (HTI), 30.138 di kawasan hak guna usaha (HGU), 9.601 di wilayah izin usaha pertambangan, dan paling luas berada di kawasan hutan dengan total 38.478 hektar.

Penyebab lahan terbuka diantaranya adalah penyiapan untuk kawasan pertanian, land clearing, hingga kegiatan penambangan. Kondisi ini menjadi penyumbang ketidakmampuan tanah untuk menyerap air.

Selain itu, kegiatan penambangan yang biasanya menyasar wilayah air dan daerah aliran sungai turut serta menjadi muasal bencana banjir. Aktivitas penambangan menyebabkan terjadinya penumpukkan sedimintasi yang menyebabkan kedangkalan sungai. Sehingga di saat hujan lebat, sungai tidak mampu menampung air dan meluap.

Karena itu, perlu adanya upaya-upaya untuk melakukan pemulihan kawasan hutan, dimulai dari penanaman kembali, penjagaan, dan pencegahan dari tindakan ilegal yang berakibat pada berkurangnya kawasan hutan.

Upaya pemulihan hutan yang berada di wilayah kelola masyarakat turut menyumbang penumbuhan hutan di Sumbar. Total luasan tutupan hutan Sumbar pada tahun 2023 menjadi 1.741.848 hektar mengalami pertumbuhan dari tahun 2022 dengan luasan 1.737.964 hektar.

Seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Nagari Sirukam, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok. Dengan akses legal yang diterima oleh masyarakat Nagari Sirukam, mereka melakukan serangkaian program untuk memulihkan hutan. Salah satunya dengan menanam tanam kayu-kayuan sebanyak 12.100 bibit pada tahun 2017, 2020, dan 2021.

“Di Nagari Sirukam lahan-lahan kritis yang berada di hutan nagari karena kegiatan penabangan liar, kini dipulihkan kembali oleh masyarakat melalui penanaman tanaman produktif dan kayu-kayuan,” kata Adi Junedi.

Tidak hanya melalui reboisasi dan pengamanan hutan melalui kegiatan patroli hutan minimal sekali sebulan serta pelaporan hasil kegiatan patroli dilakukan sekali dalam tiga bulan kepada KPHL Solok.

Perhutanan sosial di Sirukam turut mendukung perekonomian masyarakat lokal. Seperti halnya di Nagari Sirukam masyarakat mengembangkan komoditi berbasis tanaman kehutanan. Sejak mendapatkan persetujuan hutan nagari pada 2014 lalu, telah dibentuk unit-unit usaha bernilai ekonomi berdasarkan potensi lokal yang dimiliki nagari.

“KUPS Kopi Aie Langgang meluncurkan brand Kopi Payung, dengan kualitas fine robusta Berhasil meraih keuntungan Rp 3-4 juta per bulan dari usaha kopi yang dijalankan kelompok,” katanya.

Selain mengembangkan komoditi yang bernilai ekonomi, di Nagari Sirukam juga dilakukan pengembangan jasa lingkungan melalui program pohon asuh dengan total 301 pohon yang telah diasuh.

Tak ketinggalan, ekowisata di sekitar kawasan hutan nagari dengan camping dan tracking menuju pohon asuh juga tengah dikembangkan sejak tahun 2022. Terakhir pengelolaan limbah organik sejak tahun 2022 yang telah melalui uji laboratorium pupuk kompos di BPTP Sumatera Barat dengan hasil uji kompos memiliki nilai unsur yang bagus dan layak jual.

“Tentu tidak hanya di Sirukam, kita perlu mendorong inisiatif serupa di banyak nagari lain di Sumbar. Karena, tata guna lahan yang baik selain memberikan manfaat kepada masyarakat juga mencegah dari ancaman bencana ekologis,” tutupnya.***