Rakik-Rakik Sebuah Tradisi di Malam Takbiran

id Rakik-Rakik Sebuah Tradisi di Malam Takbiran

Rakik-Rakik Sebuah Tradisi di Malam Takbiran

Rakik-rakik

Mengisahkan sebuah malam takbiran di danau Maninjau, adalah saat dimana para perantau terbawa pada kenangan kampung halaman. Agaknya inilah yang dirasakan John Bahara, perantau Minang yang telah puluhan tahun mengarungi kehidupan di Ibukota Negara. Sudah sampai ia di tepian Danau Maninjau, tepatnya di Jorong Baruah Kampuang, Kanagarian Maninjau, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Ia tiba sehari sebelum malam takbiran 1433 Hijriah. Selain memang tengah mudik dan bersilaturahim kepada sanak saudara di Maninjau, ia juga tengah menanti sebuah tradisi anak nagari, yang telah lama tidak dilihatnya. Pensiunan salah satu bank di Jakarta itu telah puluhan tahun tidak menikmati malam takbiran dengan suasana berbeda. Namun tahun ini, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bermalam takbiran bersama masyarakat sekitar dengan menyaksikan tradisi Rakik-rakik. Rakik-rakik itulah salah satu alasan kuat John menghabiskan waktu hingga tengah malam, berputar-putar, sibuk mengabadikan momen para pemuda setempat yang tengah merakit Rakik-rakik. Rakik-rakik merupakan susunan bambu betung, yang telah dirangkai dalam berbagai bentuk. Rakik-rakik istilah masyarakat sekitar, berarti Rakit dalam Bahasa Indonesia. Layaknya rakit bambu yang sering digunakan sebagian masyarakat sebagai pengganti perahu, seperti itulah kiranya Rakik-rakik itu. Secara fisik, rakit dan Rakik-rakik hampir tidak jauh berbeda, yakni sama-sama berbahan dasar bambu dan berada di atas air. Namun antara keduanya, memiliki fungsi jauh berbeda yakni rakit sebagai alat penyebarangan sungai, sementara Rakik-rakik adalah sebuah tradisi di malam takbiran. Lebih khasnya, Rakik-rakik dirancang sedemikian rupa hingga membentuk seperti bangunan terapung, lengkap dengan cahaya lampu minyak di sekeliling tubuhnya, serta dipenuhi lilitan kerlap-kerlip lampu hias di bagian kepala. Secara konstruksi, Rakik-rakik dibagi menjadi dua bagian utama, yakni yang dihias disebut Rakik-rakik gadang (besar) dan yang kecil tanpa hiasan disebut Rakik-rakik tongkang. Konstruksi Rakik-rakik gadang disusun dari potongan bambu sepanjang lebih kurang enam atau delapan meter, yang dirangkai dan diberi jarak sekitar 30 sentimeter hingga berbentuk setengah piramid. Untuk bagian kubah atau kepala Rakik-rakik gadang, diletakkan sebuah replika Rumah Gadang yang dirakit dari rautan bambu berdindingkan kertas minyak. Ukurannya sekitar 2 X 1 meter dengan tinggi sekitar dua meter. Kubah Rakik-rakik gadang juga dapat dibuat dengan bentuk lain seperti kubah masjid, yang pada intinya mencerminkan kultur Budaya Minang dan Islam. Rakik-rakik gadang dilekatkan di atas tiga sampan besar yang telah disatukan, sehingga pada bagian dasar, Rakik-rakik gadang bisa memiliki luas alas sekitar delapan sampai 10 meter persegi, lalu mengerucut hingga pada bagian kubah. Untuk mempercantik tampilannya, bagian sudut Rakik-rakik digantungkan beberapa variasi telong-telong atau lampion. Telong-telong itu, divariasikan dalam berbagai bentuk seperti replika rumah gadang, carano, minatur mobil, bintang-bintang, dan lainnya.

Meriam Bambu Tidak Rakik-rakik namanya jika tidak ada "badia batuang" atau meriam bambu. Susunan badia batuang ini dibuat terpisah, yang disebut tongkang. Ada pula badia batuang yang diletakkan di dalam Rakik-rakik gadang. Badia batuang sendiri memiliki peranan penting sebagai "senjata" tat kala "perang" letusan dimulai. Setelah semua perlengkapan "perang" selesai ditata, itulah saat dimana "rakit bambu bercahaya" yang dikawal oleh "pasukan tongkang" mulai mengarungi "lautan" Maninjau. Rakik-rakik dikayuh hingga ratusan meter menjauhi tepian, menebar cahaya di kelam danau nan senyap. Dalam perjalanan, sesekali badia batuang yang diisi karbit itu diletuskan. Bunyinya yang menghentak jantung itu menjadi tanda kedatangan satu "kapal perang bambu" kepada "kapal perang bambu" lainnya. Dengan teriakan bangga, para awak pengayuh Rakik-rakik saling pamer kekuatan letusan badia batuang. Setelah berpuluh menit bertahan di danau, Rakik-rakik mulai merapat ke tepian. Pada jarak dekat, antara satu Rakik-rakik dengan Rakik-rakik lainnya, menjadi-jadi memecah malam takbiran di Danau Maninjau dengan dentuman badia batuang. Momen inilah yang dirindukan John Bahara, setelah sekian lama ia tidak pernah menyaksikan dentuman badia nan mendebar dada. "Sudah puluhan tahun tradisi ini ada di sekeling danau. Dahulu, bahkan setiap jorong punya Rakik-rakik. Bayangkan saja, puluhan Rakik-rakik saling adu terang dan adu perang di danau ini. Namun sekarang, tidak lagi seramai dulu," ungkap John mengenang masa kecilnya. Lelaki asli putra Maninjau yang lahir 56 tahun lalu itu menyebutkan, dahulu masyarakat memiliki kebanggaan tersendiri dari Rakik-rakik yang mereka buat. Selain memeriahkan malam takbiran, Rakik-rakik juga pernah diperlombakan. Rakik-rakik terbaik dari segi konstruksi dan pencahayaan serta dentuman badia batuang nan keras, akan memperoleh hadiah satu ekor sapi atau kerbau. Sayangnya, seiring waktu berjalan tradisi menyambut Idul fitri ini kian lesu. Tak banyak lagi jorong yang membuat Rakik-rakik. Dengan alasan minimnya sokongan dana, kemeriahan malam takbiran di Danau Maninjau perlahan meredup. "Untuk saat ini, butuh biaya sekitar Rp7 sampai Rp8 juta untuk membuat satu Rakik-rakik lengkap dengan sewa sampan besar, biaya minyak dan pencahayaannya," sela Wandi (31) salah seorang perancang Rakik-rakik di Jorong Baruah Kampuang. Ia mengatakan, biaya diperoleh sebagian dari kontribusi para perantau Minang. Untuk sebagian lagi, pemuda setempat mengumpulkan sumbangan dari masyarakat sekitar. Sementara, pengerjaan Rakik-rakik telah dimulai sejak awal Ramadhan melalui peran pemuda setempat. Semuanya bergotong-royong tanpa pamrih, dengan satu tujuan memeriahkan semangat kemenangan pada malam nan fitri.

Rakik-rakik Dulu dan Kini Tidak ada yang dapat memastikan kapan dan dari mana ide tradisi unik itu muncul. Masyarakat sekitar hanya menyebutkan, tradisi Rakik-rakik telah ada sejak puluhan tahun silam. Ada pula yang mengatakan munculnya sejak masa pra kemerdekaan Indonesia. Wali Nagari Maninjau Meliardi mengatakan, menurut cerita orang-orang tua, tradisi Rakik-rakik diperkirakan telah ada sejak zaman Belanda sekitar belasan tahun sebelum kemerdekaan. "Belum ada kajian pasti tentang tahun munculnya tradisi ini, namun yang pasti tradisi ini murni muncul dari ide masyarakat sekitar Danau Maninjau, khususnya oleh para pemuda," katanya. Tradisi itu dimunculkan oleh para pemuda, tepatnya di Kanagarian Maninjau. Kala itu, saat menyambut Lailatul Qadar, masyarakat sekitar memiliki kebiasaan beri'tikaf di Surau bagi kaum bapak. Sementara, kaum ibu yang tinggal di rumah, menyalakan obor atau lampu minyak di sekitar pekarangan, sambil memperbanyak shalat malam maupun dzikir. Sementara, kaum muda mencari kegiatan lain dengan bermain sampan di danau. Lambat laun, muncullah ide untuk menggabungkan sampan-sampan, lalu membuat rumah-rumah di atas sampan tersebut dan diberi penerang seperti obor dan lampu minyak. Ide tersebut semakin berkembang, sehingga rumah-rumah di sampan tersebut dibuat semakin besar dan menarik. Hingga pada akhirnya muncul pula ide untuk membuat meriam bambu, sebagai instrumen peramai suasana. Dari sembilan nagari di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, terdapat empat nagari yang rutin menggelar tradisi itu. Beberapa tahun belakang, hanya tersisa dua nagari saja yang menggelarnya. "Sekarang tinggal Nagari Tanjuang Sani dan Maninjau saja yang masih mempertahankan tradisi ini," ungkap Meliardi. Menurut dia, tradisi ini cukup potensial menjadi daya tarik wisata, baik oleh para perantau maupun turis mancanegara. John seorang turis asal Australia yang sedang berlibur beberapa hari di Sumatera Barat, dan singgah di Danau Maninjau. "Saya tahu Danau Maninjau dari Lonely Planet Guide Book, dan guide disini mengatakan ada tradisi Rakik-rakik di daerah ini," ungkap turis yang genap berusia 66 tahun tepat di malam takbiran 1433 Hijriah itu. Turis yang pernah dua tahun menetap di Yogyakarta itu mengatakan, ia sangat tertarik dengan tradisi Rakik-rakik, terlebih dengan dentuman badia batuang yang sangat keras. Ia mengatakan, dirinya pernah menyaksikan tradisi malam takbiran di Madura. "Di Madura saya lihat banyak masyarakat berpawai berkeliling desa. Kalau disini ada rakit yang cantik dengan cahayanya di danau," katanya. Sama halnya dengan John. Seorang turis asal Inggris, Adam mengaku tertarik dengan tradisi di Danau Maninjau itu. Pria yang baru pertama kali ke Indonesia itu, sabar menyaksikan prosesi Rakik-rakik sejak mulai berlayar ke Danau hingga perang letusan badia batuang yang berlangsung sampai tengah malam. "Saya baru pertama kali ke Indonesia. Saya belum pernah melihat ini sebelumnya. Ini sangat menarik terutama bunyi meriam itu," ungkapnya. Menurutnya, Indonesia memiliki kekayaan tradisi yang sangat menarik bagi turis mancanegara. Ia juga mengutarakan niatnya untuk mempromosikan wisata tradisi di Indonesia kepada teman-temannya di Inggris. "Saya ingin datang lagi ke Indonesia. Saya ingin lihat lebih banyak lagi tentang kekayaan wisata di Indonesia," katanya. (*)