Padang (ANTARA) - Pemerintah Kota Solok, Sumatera Barat memberi insentif Rp1 juta kepada warganya yang berhenti merokok sebagai motivasi agar bisa meninggalkan kebiasaan merokok dan menerapkan perilaku hidup sehat.
"Saya melihat rata-rata pengeluaran masyarakat untuk membeli rokok hampir Rp400 ribu sebulan dan itu lebih banyak pada masyarakat kalangan tidak mampu, bahkan semakin miskin konsumsi rokoknya kian tinggi nomor dua sesudah pangan, kata Wali Kota Solok Zul Elfian di Padang, Senin usai memberikan kuliah umum di Unand.
Menurut dia beranjak dari realitas tersebut ia merasa heran karena ada banyak kebutuhan hidup lain yang lebih prioritas seperti pendidikan, kesehatan ketimbang harus membeli rokok.
"Maka dengan berhenti merokok yang bersangkutan diberi Rp1 juta dan bisa hemat Rp400 ribu dari uang buat beli rokok yang bisa dipakai membeli kebutuhan yang lain," kata dia.
Selain itu warga yang berhenti merokok akan lebih sehat, keluarga terhindar dari perokok pasif dan bisa meningkatkan gizi keluarga.
Ia menyebutkan setiap tahun disiapkan insentif untuk 20 orang.
Mekanismenya ada kader kesehatan yang membina dan mengajak warga untuk berhenti merokok.
Lalu dicek di balai kesehatan setempat setelah pelaku bersedia diberi waktu tiga bulan untuk membuktikan apakah bisa berhenti merokok.
"Setelah tiga bulan akan diketahui masih ada kandungan nikotin di tubuhnya dan jika dari hasil pemeriksaan tidak ada maka berhak mendapatkan insentif Rp1 juta," kata dia.
Selain itu pihaknya juga menjadikan salah satu Puskesmas sebagai klinik berhenti merokok.
"Hingga saat ini sudah ada 30 orang yang berhenti merokok dan mendapatkan insentif," katanya.
Ia mengakui ada penolakan terhadap program ini karena masyarakat membeli rokok dengan uang sendiri namun ia menekankan ini bersifat imbauan.
"Kapan lagi mau berhenti merokok kalau tidak sekarang," ujarnya.
Sebelumnya Badan Pusat Statistik Sumatera Barat mengungkap rokok masih menjadi komoditas penyumbang kemiskinan terbesar kedua di Sumatera Barat setelah beras berdasarkan survei sosial ekonomi yang dilakukan pada Maret 2022.
"Dari tahun ke tahun polanya masih sama, rokok tetap menjadi penyumbang kedua kemiskinan dengan andil 14,69 persen di perkotaan dan 17,03 persen di perdesaan," kata Koordinator Fungsi Statistik Sosial BPS Sumbar Krido Saptono.
Menurut dia fenomena ini disebabkan karena masih dijumpai masyarakat yang lebih memilih merokok ketimbang tidak makan.
"Ini memang karakter yang sulit dihilangkan dan masih melekat di kita terutama pada rumah tangga miskin," katanya.
Ia menyampaikan salah satu tantangan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin adalah mengurangi konsumsi rokok.