Padang (ANTARA) - Media dengan segala kekuatan dan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku khalayak sudah lama dikaitkan dengan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi. Media sebagai kelembagaan harus menjalankan kontrol terhadap kinerja tiga pilar demokrasi lainnya yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Bahkan bentuk baru media di era digital seperti hadirnya media sosial yang mengakomodasi keterbukaan suara langsung di masyarakat disebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai pilar kelima demokrasi.
Harapan yang besar terhadap media dalam memberikan kontrol terhadap jalannya demokrasi yang sempurna tentunya diharapkan semua orang. Namun masih relevankah kita sebagai bagian dari masyarakat global menggantungkan harapan demokrasi kepada media di tengah konglomerasi media massa dan mulainya era konglomerasi tersebut pada platform media sosial ?
Pertama perlu dilihat betapa besarnya pengaruh media terhadap sikap dan perilaku masyarakat dan perkembangan teori media dari dulu sudah mengungkap hal ini.
Teori-teori media sudah lama membahas bagaimana agenda media digunakan sebagai suatu upaya dalam memengaruhi masyarakat. Sebut saja teori agenda setting, teori pada tradisi sosiokultural ini memandang media massa merupakan pusat penentuan kebenaran karena kemampuan media massa mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik.
Oleh karena itu, media massa bisa mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa (Littlejohn & Foss, 2008).
Kemudian ada teori media dan aksi sosial, dalam teori ini perhatian difokuskan pada bagaimana isi dari suatu media ditafsirkan dalam suatu komunitas sesuai dengan makna sosial dalam kelompok tersebut untuk menghasilkan aksi atau tindakan tertentu di masyarakat.
Hasil dari isi media pada teori ini mengarah pada tindakan sosial (social action) yang merupakan tatanan perilaku bersama terhadap media yang bersangkutan, bukan hanya bagaimana media itu dikonsumsi tetapi juga cara isi media mempengaruhi perilaku (Littlejohn & Foss, 2008).
Kemudian juga ada banyak teori lainnya yang menganggap bahwa media sangat berpengaruh dalam menimbulkan efek terhadap masyarakat seperti teori pengaruh absolut dalam teori seperti “peluru ajaib” (bullet theory) yang menganggap audiensi pasif terhadap pengaruh pesan media, berlanjut ke paradigma pengaruh dua langkah (two step flow) dimana media sudah memiliki pengaruh yang lebih minimal.
Namun pada intinya media dari pemikiran banyak tokoh masih memainkan peran yang kuat dalam menimbulkan perilaku tertentu di tengah masyarakat. Artinya oleh karena media berperan sangat vital dalam pembentukan sikap dan perilaku, maka media-media massa maupun media sosial akan sangat menentukan kualitas dari masyarakat dan demokrasi secara global.
Pemikiran positif terhadap media massa khususnya televisi pada awal perkembangan teori sempat memiliki harapan positif dari dampak yang bisa ditimbulkan.
Salah satunya adalah Adorno (1967) yang dalam esainya Education after Auschwitz menulis tentang peran positif yang dapat dimainkan TV dalam pendidikan anti-fasis di Jerman setelah Auschwitz.
Menurut Adorno pada esainya tersebut menyatakan ‘Ketika saya berbicara tentang pendidikan setelah Auschwitz, maka yang saya maksud adalah dua bidang: pertama pendidikan anak-anak, khususnya pada anak usia dini. kemudian, pencerahan umum yang menyediakan iklim intelektual, budaya, dan sosial di mana pengulangan tidak akan mungkin terjadi lagi.
Pada bidang kedua menurutnya langkah pendidikan anti-fasis yang disarankan Adorno adalah melalui program-program televisi. Namun pada pemikiran tokoh lainnya, media massa dilihat dalam konteks yang cukup negatif.
Meminjam pemikiran Alexis de Tocqueville yang menawarkan teori paling awal tentang industri budaya pada bukunya “Democracy in America” menyebut bahwa demokrasi terancam oleh versi-versi menyimpang dari nilai kesetaraan yang sangat penting bagi demokrasi seperti homogenitas dan konformisme yang merongrong kehidupan demokrasi dari dalam (Fuchs, 2016).
Lebih jauh menurut Tocqueville demokratisasi dan komersialisasi budaya dapat berpadu sedemikian rupa, sehingga memengaruhi pengembangan perbedaan yang sangat penting bagi kehidupan demokrasi.
Hal ini ditengarai dengan bagaimana media dikelola dan diarahkan sesuai dengan tujuan pihak yang berkuasa. Pemikiran banyak tokoh lainnya juga sudah lama seringkali menyinggung bagaimana masalah media justru bisa sangat mengancam perkembangan maupun demokratisasi di suatu negara.
Dalam The Hutchins Commission Report pada 1947 berjudul “Pers yang Bebas dan Bertanggung Jawab: Laporan Umum Komunikasi Massa: Surat Kabar, Radio, Film, Majalah, dan Buku” terjadi kecenderungan adanya oligopolistik media AS dan memburuknya kinerja mereka menurut pandangan anggota komisi penyiaran.
Pada laporan ini, Hutchins dengan tegas mengidentifikasi sumber masalah yaitu sebagian besar pers di negara AS adalah perusahaan berskala besar, yang terkait erat dengan sistem keuangan dan industri; mereka tidak akan bisa lepas dari bias alamiah yang ada dari kepentingan ekonominya (Downing, 2011).
Hasil ini menjadi fokus pembahasan media pada beberapa tahun setelahnya, khususnya bagaimana konsentrasi kepemilikan media adalah ancaman terhadap demokrasi dari sistem media yang murni bersifat komersial. Mengutip pemikiran Graham Murdock dan Peter Golding (1973) dalam Downing (2011) terkait isu kepemilikan media, struktur kepemilikan media yang oligopolistik adalah pembatasan pilihan konsumen terhadap waktu luang dan hiburan, serta konsolidasi apa yang mereka sebut sebagai "konsensus" melalui pengendalian informasi untuk kepentingan tertentu.
Pemikiran tersebut juga didukung oleh Benjamin Compaine dan Douglas Gomery (2000) dalam Downing (2011) yang menyatakan kepemilikan media akan menentukan “pengendalian” dan intervensi pada kepentingan medianya dalam menyampaikan informasi atau pesan komunikasi.
Jadi tentunya tidaklah salah jika saat ini banyak orang menjadi skeptis terhadap kinerja media massa. Setidaknya dalam satu dekade terakhir kita sangat disuguhi dengan pragmatisme dari media-media kita dalam memberitakan isu politik dengan framing dan wacana yang sangat “kasar” mendukung dan menjatuhkan pihak tertentu atas dasar kepentingan pemilik.
Tanpa menyebut dengan gamblang media apa dan siapa yang memilikinya serta bagaimana afiliasinya dengan partai atau kelompok politik tertentu, masyarakat tentu sudah banyak yang mengetahui dinamika ini. Jadi menurut penulis, saat ini kita mungkin sangat sedih ketika harapan kita terhadap media massa sebagai pilar ke empat demokrasi agar menjalankan peran kontrol mungkin saja sudah tidak lagi dapat dipenuhi media.
Lalu bagaimana dengan media sosial yang disebut Kominfo sebagai pilar kelima demokrasi setelah media massa (pers)? Kehadiran media sosial dan digital bisa dikatakan adalah harapan baru terhadap bagaimana media bisa menjadi katalis positif dalam pergerakan sosial dan kontrol terhadap penguasa.
Sama seperti kehadiran televisi yang dipandang Adorno bisa menjadi suatu hal positif dalam aspek pendidikan, media sosial dengan segala kekuatannya dalam keterbukaan informasi yang diberikan kepada masyarakat adalah harapan baru untuk menjadi kontrol atas kualitas demokrasi di negara manapun.
Meminjam pemikiran Ithiel De Sola Pool (1983) dalam Downing (2011) yang menyatakan banyaknya saluran komunikasi yang dibuka oleh teknologi baru (jaringan kabel, satelit, telepon, dan komputer) berarti harapan terhadap penghapusan masalah kepemilikan pers, penyiaran, dan film yang terkonsentrasi pada satu pihak atau kelompok. Jadi media sosial dalam sudut pandang ini adalah timbulnya harapan baru dalam ranah media dan demokrasi.
Isunya saat ini menurut penulis adalah bukan lagi pembatasan atau larangan penggunaan media sosial untuk kritik pada penguasa. Dari sisi ini, beragam kritik dan penolakan atas perilaku penguasa global sudah sangat lazim di media sosial dan sudah terjadi di seluruh dunia, artinya kebebasan beropini setidaknya sudah kita rasakan cukup baik walaupun belum sempurna.
Menurut penulis ancaman utama yang mulai muncul namun mungkin belum banyak diasadari adalah kembalinya hegemoni kepemilikan pihak-pihak berkepentingan pada berbagai akun media sosial yang memiliki pengaruh di ranah digital.
Terlepas dari portal berita (yang memang secara jelas dimiliki grup media besar), akun media sosial yang memiliki pengikut yang sangat banyak dan kekuatan pesan di masyarakat juga sudah mulai dimasuki isu kepemilikan. Realitas saat ini, akun media sosial sudah banyak yang dikuasai dalam berbagai bentuk atau cara.
Pertama dimasuki dalam konteks kepemilikan melalui suntikan modal. Kedua adalah dalam bentuk kerjasama kerja layak konsep pemasaran produk dimana akun media sosial tersebut diajak bekerjasama untuk ikut menyuarakan atau mengkomunikasikan kepentingan politik tertentu.
Jadi saat ini isu kepemilikan media yang sudah lama menjadi fokus penelitian media, dimana banyak ahli sudah menekankan adanya bahaya dan ancaman kepemilikan media terhadap demokrasi membuat kita tentu akan skeptis dengan kinerja media.
Bahkan isu ini juga sudah mulai menjadi virus yang mulai merasuki harapan kita terhadap kekuatan media sosial yang lebih independen yang kita harapkan mampu menjadi obat atas kelemahan media massa dalam menjalankan fungsi kontrolnya.
Terakhir penulis tentu tidak akan kehilangan harapan atas kekuatan suara dari masyarakat. Ketika sesuatu dikontrol dan dikuasai kapitalisme, aksi sosial dan masyarakat akan selalu menemukan jalannya dalam memperjuangkan demokrasi.
Tentunya akan selalu ada harapan lahirnya media massa dan media sosial yang independen, yang mampu menyuarakan sesuatu hanya atas satu kepentingan yaitu memperkuat demokrasi.*(Penulis adalah: Mahasiswa Studi Doktor Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta)