Menggali Candi Pulau Sawah, Peradaban Tua di Tepian Batang Hari

id berita dharmasraya, berita sumbar, pamalayu

Menggali Candi Pulau Sawah, Peradaban Tua di Tepian Batang Hari

Pelajar mengikuti sekolah lapangan dalam Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi di Komplek Candi Pulau Sawah, Kabupaten Dharmasraya, Sumbar, Selasa (23/8). (Antara/Ilka Saputra)

Pulau Punjung (ANTARA) - Suara bising kendaraan terdengar begitu jelas siang itu. Juru parkir terlihat sibuk mengatur setiap kendaraan yang datang ke Komplek Candi Pulau Sawah yang berada di Nagari Siguntur, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

Meski cuaca sedikit mendung, namun tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk datang menuju pusat kegiatan Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi yang digelar Pemkab Dharmasraya pada 18 sampai 23 Agustus 2022.

Tidak jauh dari lokasi parkir kendaraan roda dua, terlihat sekelompok pelajar sedang melakukan penggalian tanah. Sepintas, aktivitas itu seperti bersih-bersih kawasan candi yang masih asri dikelilingi perkebunan getah karet.

Kenyataannya hal itu bukan kegiatan sosial, melainkan sekolah lapangan yang difasilitasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar. Sekolah lapangan menjadi salah satu rangkaian kegiatan Festival Pamalayu Kenduri Swarnabhumi.

Selasa (23/8) adalah hari terakhir gelaran Festival Pamalayu, pelajar dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Sitiung mendapat kesempatan mengikuti sekolah lapangan untuk mengenal proses ekskavasi (penggalian arkeologis) dari tim BPCB.

Sekolah lapangan merupakan kegiatan belajar ekskavasi tinggalan cagar budaya, sebuah kesempatan langka untuk dapat diikuti oleh pelajar, dalam kegiatan ini peserta dapat mengetahui bagaimana proses pelestarian cagar budaya dilakukan.

Tidak semua orang berkesempatan dapat mengenal proses dan bahkan ikut terlibat dalam ekskavasi. Bagi masyarakat awam, bicara tentang ekskavasi oleh arkeolog kerap mengacu pada hal-hal yang diperankan aktor dalam film The Mummy.

Kesempatan itu dimanfaatkan Raka, Defma, Safarasar, Farlan, Moza, dan Mutia. Mereka terlihat antusias melakukan ekskavasi, menggali tanah dengan semangat dan penuh kehatian-hatian.

Layaknya arkeolog sungguhan yang sedang melakukan penelitian, para pelajar terus menggali hingga akhirnya mendapatkan benda-benda yang diduga menjadi peninggalan sejarah.

Raka pelajar kelas IX bercerita, teknik yang diajarkan saat penggalian yakni teknik spit, dimana penggalian akan dihentikan apabila sudah mencapai ke dalaman 20 centimeter.

Kegiatan ekskavasi bagi Raka dan teman-teman sangat menarik sekaligus menjadi pengalaman baru yang menyenangkan untuk dipelajari. Selama menggali, mereka menemukan dua benda berupa pecahan batu bata dan arang.

"Menyenangkan sekaligus bikin penasaran, karena saat kita menemukan benda yang diduga menjadi peninggalan sejarah, maka kita akan semakin penasaran untuk menggali lagi dan lagi," ungkapnya dengan penuh semangat sambil melihatkan dua jenis benda yang menjadi temuan.

Sekolah lapangan tentang ekskavasi dilaksanakan di Munggu XI Candi Pulau Sawah. Sebelum ekskavasi para pelajar terlebih dahulu diberi arahan mengenai teknik dan alat apa saja yang digunakan.

Selama praktik ekskavasi pelajar dibagi berkelompok, setiap kelompok mendapat tugas masing-masing. Pelajar yang melakukan penggalian dibekali perlengkapan seperti helm, rompi dan kaus tangan. Pelajar lainnya melakukan pencatatan dan pendokumentasian temuan.

Terlihat pelajar melakukan penggalian selama sekitar 20 menit pada kotak berukuran 2x2 meter yang sudah dipetak menggunakan benang nilon berwarna putih.

Peralatan yang digunakan untuk ekskavasi sebagian besar dapat ditemukan dalam keseharian, seperti cangkul kecil, sendok semen, kuas, sapu kecil, dan sikat gigi, hingga tusuk gigi. Selama belajar ekskavasi setiap benda yang ditemukan dan apapun peristiwa yang terjadi dicatat dalam lembaran memuat kolom rencana, hasil kegiatan, dan gambar atau foto.

Selanjutnya, benda yang menjadi temuan ekskavasi dianalisa dengan melakukan pencatatan yang memuat nama benda, ukuran, bahan, kondisi, warna, masa, deskripsi arkeologis, hingga foto atau sketsa benda.

Menelusuri jejak sejarah Candi Pulau Sawah

Komplek Candi Pulau Sawah terletak di Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Berada sekitar 16 kilometer dari pusat ibu kota Dharmasraya, Pulau Punjung.

Untuk sampai ke lokasi candi, perjalanan dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu jalur darat dan sungai. Melalui jalur darat perjalanan dapat dimulai dari Rumah Dinas Bupati Dharmasraya melewati Jalan Baru.

Melalui jalur sungai, perjalanan dapat dimulai dari pusat Kerajaan Siguntur dengan menggunakan tempek atau perahu bermesin untuk menyeberang, atau menuju dermaga khusus penyeberangan lalu menyeberang menggunakan ponton.

Kompleks percandian yang berada di Tepian Sungai Batang Hari itu telah ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya berdasarkan Surat Keputusan Bupati Dharmasraya Nomor 188.45/121/KPTS-EUD 2019 tertanggal 8 Maret 2019. Penetapannya sebagai situs cagar budaya tentunya akan memberi perlindungan hukum dan pemanfaatan pelestarian situs candi ke depan.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Eka Asih Putrina Taim mengemukakan sebaran candi di komplek Percandian Pulau Sawah belum dapat ditentukan karena terbatasnya waktu penelitian dan luasnya area candi. Sementara baru terdapat dua sektor, yaitu Pulau Sawah I yang sudah dipugar dan Pulau Sawah II.

Candi Pulau Sawah I hanya tersisa sedikit pada bagian kaki bangunan yang berdenah bujur sangkar berukuran 10,5 x 10,5 meter. Dinding sisi utara mempunyai dua penampil. Bagian tengah struktur candi terdapat dua lubang berukuran 2.25 x 2.25 meter.

Struktur bangunan yang tersisa tinggal bagian kaki candi setinggi satu meter. Bentuk bangunan memiliki dua lantai sisi barat dan timur. Pada sisi barat banyak lapisan yang hilang akibat digali penduduk.

"Di sekeliling sisi luar struktur candi dipenuhi batu andesit berukuran boulder," tulis Eka dalam bahan presentasi pada The Sixth Internasional Conference On Language, Literature, Culture, and Education (The 6th ICOLLITE), yang diselenggarakan Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, 3 Agustus 2022.

Sementara, Candi Pulau Sawah II memiliki dua struktur bangunan yang sekelilingnya masih dipagar alami, luas dan bentuknya belum diketahui karena belum dipugar.

Selanjutnya, pada Candi Pulau Sawah VII ditemukan 37 belanga atau periuk tanah liat, isinya belum diketahui. Tapi dari tiga belanga yang diambil, satu diantaranya berisi inskripsi berbahan emas terkait Buddha.

"Pembacaan dari inskripsi menunjukkan prasasti ini bertulisan aksara melayu kuno dalam bahasa Sansekerta, dari bentuk huruf dan tulisan merupakan aksara Jawa kuno dari abad ke 9-10 masehi," tulis Eka.

Eka mengemukakan, keberadaan belasan candi di Pulau Sawah menjadi bukti eksistensi Kerajaan Malayu sejak abad ke-VII masehi. Dari berita Cina yang ditulis I-tsing, sekitar tahun 670- an Kerajaan Melayu pernah menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya.

Antara kedua kerajaan terjadi persaingan dan dominasi. Saat itu, ketika Sriwijaya lengah, melayu bangkit dengan mengirimkan utusannya ke China.

Menurut Wolters (1970) dalam The Fall of Sriwijaya Malay History, sekitar pertengahan abad XI masehi, ketika kerajaan Sriwijaya melemah karena serangan Kerajaan Cola, Pangeran Suryanarayana di Malayapura (Malayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Suwarnapura (Sumatera).

Keberadaan peradaban percandian yang telah berasal dari masa kerajaan melayu kuno diperkuat degan temuan arca-arca di wilayah candi sejak abad ke 8-9, seperti Arca Awalokiteswara Amoghapasa, Arca Buddha Amaravati India Selatan, dan Garuda sebagai wahana Buddha Amogasiddhi.

Seterusnya wilayah itu berkembang sampai masa Situs Rambahan dan Awan Maombiak dari periode yang lebih muda, yaitu abad ke-13 hingga 14 masehi, dan ini berhubungan dengan ekspedisi Pamalayu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan komplek candi tersebut jauh lebih tua dibandingkan dengan keberadaan Candi Padang Roco, yang mana pada candi ditemukan Arca Bairawa yang berasal dari abad XIII masehi.

Kenalkan Sejarah Bagi Pelajar

Tim Kelompok Kerja Pengamanan, Penyelamatan, dan Zonasi BPCB Sumbar, Dodi Chandra, mengatakan kegiatan Sekolah Lapangan ialah sarana edukasi sekaligus momentum mengenalkan tinggalan sejarah Dharmasraya kepada pelajar.

Mengingat banyak tinggalan dan situs sejarah di Dharmasraya yang belum diungkap, digali, maupun dilakukan pemeliharaan, terutama di komplek Candi Pulau Sawah itu sendiri.

Ke depan, diharapkan Pemerintah Daerah Dharmasraya menjadikan Sekolah Lapangan sebagai program pembelajaran yang berkelanjutan, dan tidak hanya dilaksanakan saat momen tertentu saja.

Tidak hanya itu, sekolah lapangan juga diharapkan dapat menumbuhkembangkan minat pelajar secara menjurus untuk meminati proses penelitian dan pelestarian situs sejarah.

"Sebelum kita mengajak pelajar dan generasi muda terlibat dalam upaya pelestarian peninggalan sejarah, kita memunculkan terlebih dahulu pengetahuan tentang bagaimana mendapatkan tinggalan sejarah itu sendiri, bagaimana proses penanganan, dan seterusnya," pinta Dodi saat ditemui di lokasi sekolah lapangan.

"Setelah itu, kita berharap sekolah lapangan menjadi pemantik untuk pemda agar menangkap ini sebagai program strategis dalam penguatan identitas Dharmasraya sebagai daerah dengan nilai historis yang kuat di masa lampau, sekaligus mempersiapkan generasi yang sadar terhadap pelestarian cagar budaya," tutur Dodi.

Ada banyak kreasi, imajinasi, dan ekspresi yang dapat digali dari Candi Pulau Sawah yang berguna untuk pembelajaran dan pembangunan ke depan. Oleh sebab itu, upaya menelusuri jejak sejarah harus terus dilakukan seluruh pihak terkait, tidak terkecuali generasi muda hari ini. Sebagaimana perkataan Bung Karno,"Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarah".