Padang (ANTARA) - Kendati sudah delapan bulan berlalu, pelaksanaan Pilkada Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat 2020 masih menyisakan persoalan yang belum tuntas kendati bupati terpilih telah dilantik.
Pelaksanaan pilkada Kabupaten Pesisir Selatan yang digelar 9 Desember 2020 diikuti tiga pasang calon yaitu Rusma Yul Anwar- Rudi Hariansyah yang diusung Gerindra, PAN, PBB, Berkarya dan Perindo, Hendrajoni-Hamdanus diusung Nasdem, PKS dan Demokrat serta Dedi Rahmanto Putra -Arfianof Rajab diusung Golkar, PDIP, PPP, PKB dan Hanura.
Rusma Yul Anwar sebelumnya merupakan Wakil Bupati Petahana berpasangan dengan Hendrajoni dan tampil sebagai pemenang pada pilkada setempat 2015. Namun di Pilkada 2020 pasangan ini pecah kongsi dan bertarung memperebutkan posisi nomor satu di Pesisir Selatan. Pada pilkada 2020 Rusma tampil sebagai pemenang dan ditetapkan KPU setempat sebagai bupati terpilih
Usai pleno penetapan hasil pemungutan suara pada awalnya pasangan Hendrajoni-Hamdanus mengajukan gugatan terkait hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonan gugatan ke MK, Hendrajoni-Hamdanus meragukan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU. Tim Hendrajoni mengklaim, pasangan Rusma Yul Anwar-Rudi Hariyansyah hanya meraih 128.786 suara. Sedangkan pihaknya mendapat 186.401 suara. Kemudian, Paslon 03 Dedi Rahmanto Putra-Arfianof Rajab 10.673 suara dari total 325.860 suara sah.
Akan tetapi gugatan tersebut ditolak oleh MK. Saat itu MK menilai pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Selain itu permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Karena MK secara resmi menolak gugatan, akhirnya KPU setempat menetapkan Rusma Yul Anwar sebagai bupati terpilih untuk kemudian dilantik oleh Gubernur Sumbar.
Akan tetapi sebelum proses pilkada berlangsung Rusma Yul Anwar berstatus sebagai terpidana kejahatan lingkungan sejak Juni 2020 dan telah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Padang.
Rusma kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Sumbar atas vonis yang diterima. Namun Pengadilan Tinggi Sumbar menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang yang memutuskan Rusma terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana usaha dan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.
Pada tingkat banding, majelis hakim menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Padang Nomor: 642/Pid.Sus-LH/2019/PN Pdg tanggal 13 Maret 2020 yang dimintakan banding tersebut.
PN Padang sebelumnya memberikan vonis pidana 1 tahun penjara, denda Rp1 miliar dan subsider 3 bulan kurungan. Vonis dibacakan majelis hakim dalam sidang agenda pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Kelas 1 A Padang 13 Maret 2020.
Rusma divonis bersalah melanggar pasal 109 undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Setelah itu Rusma mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Saat proses pilkada berlangsung Rusma sedang dalam proses pengajuan kasasi ke MA.
Dua hari sebelum pelantikan sebagai bupati terpilih , Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yang menolak permohonan kasasinya terkait perkara pidanalingkungan.
Majelis dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi terdakwa Rusma Yul Anwar. Perkara itu ada dalam berkas Nomor Perkara 31 K/PID.SUS-LH/2021 yang diputus oleh hakim Hidayat Manao, Brigjen TNI Sugeng Sutrisno, dan Dr Sofyan Sitompul.
Meskipun kasasinya ditolak Mahkamah Agung (MA) RI dalam kasus pidana khusus lingkungan, namun ia tetap dilantik sebagai bupati terpilih pada 26 Februari 2021 oleh Gubernur Sumbar Mahyeldi.
Saat ditanyai wartawan ia mengaku belum belum mendapatkan salinan surat resminya. Termasuk Gubenur Sumbar Mahyeldi juga belum menerima surat resmi dan jika sudah ada baru ditindaklanjuti.
Akhirnya hingga saat ini Rusma belum menjalani hukuman sebagaimana vonis yang telah dijatuhkan. Ketika kejaksaan akan melaksanakan eksekusi terhadap Rusma Yul Anwar pada 7 Juli 2021, ratusan orang mengepung rumah dinas bupati.
Sejumlah warga yang hadir mengaku tidak setuju dengan rencana Rusma Yul Anwar untuk menjalani putusan pengadilan hingga putusan Peninjauan Kembali keluar.
Mereka berharap bupati yang menang pada Pilkada Pesisir Selatan itu menyelesaikan tugas membangun daerah.
Gugatan ke MK
Tujuh bulan berlalu, pasangan calon Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni-Hamdanus kembali melayangkan gugatan penetapan hasil pilkada Pesisir Selatan untuk kedua kalinya ke Mahkamah Konstitusi.
Sidang pertama dengan acara pemeriksaan pendahuluan digelar di Jakarta 13 Agustus 2021 dengan nomor perkara 148/PHP.BUP-XIX/2021, dipimpin hakim konstitusi Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbanungsih.
Pada kesempatan itu kuasa hukum Hendrajoni-Hamdanus Oktavianus Rizwa, Zenwen Pador dan Muhammad Arif selaku pemohon mengajukan gugatan kepada KPU Pesisir Selatan yang diwakili kuasa hukum Sudi Prayitno dan Jhony Hendra Putra.
Pemohon menggugat Keputusan KPU Pesisir Selatan Nomor 259/PT.02.3-Kpt/1381/KPU-Kab/X/2020 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan Tahun 2020, tanggal 23 September 2020.
Kuasa Hukum Pemohon Muhammad Arif menilai permohonan ini didasari adanya pelanggaran administrasi pemilihan yang telah dilakukan oleh calon Bupati Rusma Yul Anwar yang bertentangan dengan dengan keberadaan kebenaran materiil hukum, moral, dan konstitusionalitas pada Pemilihan Calon Kepala Daerah Pesisir Selatan Tahun 2020, sehingga mengakibatkan pilkada Pesisir Selatan telah jauh menyimpang dari penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil.
Menurutnya Calon Bupati Rusma Yul Anwar sebelum melakukan pencalonan itu telah berstatus sebagai terpidana dengan dua putusan pengadilan, Pengadilan Negeri Padang dan Pengadilan Tinggi Padang, dengan status terpidana telah melanggar perbuatan izin lingkungan.
Untuk itu ia meminta majelis mendiskualifikasi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Rusma Yul Anwar dan Rudi Hariyansyah karena tidak lagi memenuhi syarat sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2020.
Selain itu menyatakan batal demi hukum Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) untuk keperluan persyaratan pencalonan Rusma Yul Anwar sebagai Calon Bupati Pesisir Selatan Periode 2021- 2024 yang dikeluarkan oleh Kepolisian Resort Pesisir Selatan pada 13 Agustus 2020.
Menurutnya SKCK merupakan salah satu syarat administrasi pencalonan kepala daerah. Merujuk pada putusan MK no56/PUU-XVII/2019 dinyatakan Calon Gubernur, Bupati, Wali Kota harus memenuhi syarat yang melekat selama menjadi kepala daerah.
Apabila ada syarat tidak terpenuhi maka seorang bakal calon kepala daerah tidak akan berubah status hukum menjadi calon kepala daerah.
"Artinya bila seorang calon kepala daerah tidak memenuhi syarat pencalonan maka kehilangan status sebagai calon kepala daerah," ujarnya.
Kemudian pemohon juga menyatakan batal demi hukum Keputusan KPU Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 259/PL.02.3-KPT/1301/KPU-Kab/IX/2020 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan Tahun 2020 pertanggal 23 September 2020 dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Pesisir Selatan Nomor 261/PL.02.3-KPT/1301/KPU Kabupaten-IX/2020 tentang Penetapan Nomor Urut dan Daftar Pasangan Calon Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan Tahun 2020 bertanggal 24 September 2020 beserta lampiran.
Lalu menyatakan batal demi hukum Putusan KPU Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 368/PL.02.1-KPT/1301/KPU-Kab/XII/2020 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan Tahun 2020 tertanggal 16 Desember 2020.
Selanjutnya menyatakan batal demi hukum Keputusan KPU Nomor 4/PL.02.7- KPT/1301/KPU-Kab/II/2021 tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Selatan Tahun 2020 pascaputusan Mahkamah Konstitusi bertanggal 19 Februari 2021.
Terakhir menyatakan batal demi hukum pengesahan pengangkatan Pasangan Calon Rusma Yul Anwar - Rudi Hariyansyah.
Ia menilai kasus pilkada Pesisir Selatan memiliki kemiripan dengan pilkada Kabupaten Yalimo Papua.
Pada Pilkada Yalimo Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi kepesertaan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Yalimo Erdi Dabi-Jhon Wilil, meski memperoleh suara terbanyak dan memerintahkan KPU Yalimo untuk melaksanakan pilkada ulang mulai dari tahapan pendaftaran peserta pilkada hingga proses pemungutan suara.
Dalam catatan kepolisian, calon bupati Erdi Dabi terjerat kasus hukum setelah terlibat insiden kecelakaan lalu lintas di Kota Jayapura pada 16 September 2020.
Erdi Dabi dijatuhi hukuman empat bulan penjara dipotong masa tahanan pada 18 Februari 2021. Hingga Erdi Dabi dimasukan dalam Lapas Abepura pada 22 April, untuk menjalani masa tahanan yang tinggal tersisa dua minggu.
Saat proses pilkada Yalimo, Erdi juga berstatus terpidana dengan kekuatan hukum tetap sebagaimana Calon Bupati Pesisir Selatan Rusma yang juga berstatus terpidana berkekuatan hukum tetap dua hari sebelum dilantik.
"Oleh sebab itu sebagaimana Erdi, Rusma mestinya juga didiskualifikasi," lanjutnya
Bantahan
Menjawab hal itu kuasa hukum KPU Pesisir Selatan Sudi Prayitno saat sidang mendengar jawaban termohon di MK pada 18 Agustus 2021 menilai pemohon tidak memiliki alasan yang kuat untuk meminta Mahkamah menyimpangi keberlakuan Pasal 158 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Menurut dia permohonan ini sudah melewati tenggang waktu 3 hari kerja terhitung sejak diumumkannya keputusan KPU Pesisir Selatan Nomor 368 tentang Penetapan Rekapitulasi. Yang diumumkan pada tanggal 17 Desember 2020 pukul 10.41 WIB di laman KPU Kabupaten Pesisir Selatan.
"Karena di samping diajukan kepada Mahkamah tanggal 22 Juli 2021, Pemohon juga tidak memiliki alasan kuat untuk meminta Mahkamah menyimpangi keberlakuan Pasal 157 ayat (5) Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah," kata dia.
Ia juga membantah KPU lalai dan tidak hati-hati dalam memastikan status hukum Calon Bupati Rusma Yul Anwar pada tahap verifikasi persyaratan calon.
Sebelum KPU menetapkan Rusma Yul Anwar dan Rudi Hariyansyah sebagai pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, putusan Pengadilan Negeri Padang dan Pengadilan Tinggi Padang yang dijatuhkan terhadap calon bupati Rusma Yul Anwar belum berkekuatan hukum tetap, berdasarkan hasil klarifikasi KPU kepada Pengadilan Negeri Painan dan Kejaksaan Negeri Pesisir Selatan.
Terkait dengan adanya maladministrasi SKCK ia menyatakan Rusma Yul Anwar sudah menerangkan bahwa yang bersangkutan melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung terkait dugaan melakukan tindak pidana Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, dan itu telah sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2014 dan sudah cukup membuktikan yang bersangkutan tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Meskipun calon Bupati Rusma Yul Anwar sudah berstatus terpidana. Namun, pada saat penetapan pasangan calon terpilih dan pengusulan pengesahan pengangkatan pasangan calon terpilih pada DPRD, yang bersangkutan belum berstatus pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dan status terpidana yang disandangnya berkaitan dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun.
Oleh sebab itu ia meminta MK menolak permohonan gugatan yang diajukan pasangan Hendrajoni-Hamdanus.
Sementara Bawaslu Pesisir Selatan Erman Wadison menyatakan pihaknya sudah melakukan klarifikasi terkait diterbitkannya SKCK Rusma Yul Anwar sebagai peserta pilkada yang ditandatangani oleh Kapolres Pesisir Selatan AKBP Cepi Noval.
Saat itu dinyatakan yang bersangkutan sedang melakukan upaya hukum berupa kasasi terhadap dugaan pelanggaran tindak pidana Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Upaya hukum yang sedang ditempuh Rusma Yul Anwar, berupa kasasi terhadap dugaan melakukan tindak pidana Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Diskriminasi
Sementara pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Lucy Raspati MH menilai terjadi diskriminasi hukum dalam pilkada Pesisir Selatan karena tidak ada kesamaan hukum terhadap seluruh warga negara karena ada kandidat yang berstatus terpidana.
Menurutnya orang yang sudah mengalami pemidanaan diancam dengan hukuman di bawah lima tahun jika maju di pilkada harus mengumumkan ke masyarakat.
"Sementara di sisi lain ada orang yang belum menjalani putusan pemidanaan atau belum mempertanggungjawabkan pemidanaannya tapi bisa menjadi seorang bupati, itu diskriminasinya," kata dia
Ia melihat ada kondisi saling bertentangan dalam UU menyediakan sarana untuk memilih pemimpin yang tidak bermasalah secara hukum tapi dalam praktiknya ada orang bermasalah secara hukum bisa menjadi seorang bupati
Selain itu menurutnya dalam pasal 197 KUHAP menyatakan secara tegas putusan pemidanaan atau yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim pada dasarnya merupakan proses akhir dari keseluruhan proses persidangan.
Hal ini karena pihak penuntut umum dan pihak terdakwa telah diberikan kesempatan yang sama untuk membuktikan ketersalahan terdakwa, dan pada saat yang sama terdakwa melakukan pembelaan diri dari di hadapan hakim terhadap tuduhan yang didakwakan Jaksa.
Tentunya sudah menerapkan kaidah-kaidah hukum pemeriksaan perkara di persidangan, terutama aspek hukum pembuktian. Karena dalam hukum acara pidana sudah diatur secara limitative tentang macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian, katanya
Oleh sebab itu menilai keliru jika memaknai putusan Pengadilan Pegeri dan putusan Pengadilan Tinggi hanya sebagai sebuah putusan biasa.
Putusan PN dan PT adalah putusan yang memeriksa fakta dan hukumnya atau judex factie. Ada tiga orang hakim di pengadilan negeri, dan tiga orang hakim di pengadilan tinggi yang sudah memeriksa dan menilai fakta dan hukum suatu perbuatan, dan sampai pada satu kesimpulan, terbukti secara sah dan meyakinkan, tentunya berdasarkan dua alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Ia menekankan pada prinsipnya, vonis hakim merupakan perintah yang harus dilaksanakan karena berkaitan dengan kedaulatan dan kewibawaan lembaga yudisial.
"Dalam pandangan saya, salah satu parameter yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur berwibawa atau tidaknya suatu lembaga peradilan adalah ketika suatu putusan oleh lembaga peradilan dapat dijalankan dengan baik. Harus di catat, hal ini merupakan perintah dari UU itu sendiri," kata dia.
Sementara Pengamat Politik yang juga menjabat Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Sarwi Chaniago menilai jangan sampai hukum ditaklukan oleh kehendak politik.
Kalau hukum menjadi panglima maka sebetulnya penegakan hukum tidak melihat dia bupati, pejabat karena semua orang sama di hadapan hukum, kata dia.
Ia menilai jika memang kasus pidana dan sudah ada keputusan hukum tetap tinggal menjalani saja selagi percaya dengan produk hukum.
"Kita ini sedang bernegara jadi jangan suka-suka sendiri, pedoman adalah konstitusi jangan sampai wibawa penegakan hukum menjadi habis," kata dia.
Kini pelaksanaan pilkada Pesisir Selatan 2020 kembali menunggu palu Mahkamah Konstitusi yang akan memberikan putusan pada 31 Agustus 2021 untuk memberikan keputusan paling adil.