Padang (ANTARA) - Lahirnya wacana Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau telah mencuat ke publik semenjak 2014, yang pertama kali dideklarasikan oleh Mochtar Naim.
Bersama rekan-rekan tim Mochtar Naim melempar wacana DIM ke berbagai forum seminar maupun diskusi di kampus.
Kemudian, pada 2016 Mochtar dan rekan tim berhasil merampungkan perumusan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perubahan Provinsi Sumatera Barat menjadi Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau (NA-RUU) sebagai salah satu syarat administratif dari Pemerintah Pusat bagi daerah yang ingin mengajukan diri menjadi Daerah Istimewa atau otonomi khusus sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 18B ayat 1.
Dalam dokumen NA-RUU yang didapatkan, pada cover dokumen disebutkan Badan Persiapan Provinsi Daerah Istimewa Minangkabau (BP2DIM) sebagai perwakilan satu badan yang menyiapkan berdirinya wacana DIM, berkantor di jalan Pagang Raya No.29 Kecamatan Nanggalo Padang.
Namun, ketika penulis menelusuri alamat kantor tersebut pada 2019 tidak ditemukan tanda atau spanduk yang menggambarkan representasi kantor BP2DIM, dan yang ditemukan hanya rumah kosong.
Dari riset yang telah penulis kumpulkan dari Oktober 2019 hingga April 2020 peneliti berhasil mewawancarai 32 informan dan hanya 25 informan yang diolah ke dalam transkrip penelitian.
Dari 25 informan tersebut para informan terdiri atas berbagai latar belakang yang berbeda-beda mulai ada dari politisi, pejabat pemerintah kota, pejabat pemerintah kabupaten, pejabat pemerintah provinsi, tokoh agama, budayawan, wartawan senior, tokoh perempuan atau bundo kanduang, tokoh nasional asal minang, akademisi dan tokoh adat.
Dari argumentasi informan tersebut peneliti menarik kesimpulan bahwa terdapat tiga kategorisasi sikap, yaitu mendukung, menolak dan abstain. Diantara tiga sikap ini terdapat pula pandangan yang beragam dari para tokoh.
Setelah dikalkulasi, maka didapatkan d8 informan yang mendukung adanya DIM, 11 informan yang menolak wacana DIM dan 6 informan yang abstain atau tidak berpendapat.
Diantara argumentasi informan yang mendukung adanya wacana DIM secara umum terdapat 6 poin pendukung yaitu pertama, mendukung karena UUD 1945 mewadahi dalam pasal 18b ayat 1. kedua, karena berdasarkan Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). ketiga, karena Sumatera Barat pernah menjadi ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). keempat, karena keistimewaan yang ada di nagari. kelima, karena pendiri Republik Indonesia mayoritas berasal dari Minangkabau dan keenam, dapat membuat provinsi baru jika DIM berdiri.
Sementara informan yang menolak wacana DIM terdapat 9 poin pertama, menolak karena hanya keinginan kelompok elit, bukan keinginan dari masyarakat Sumatera Barat secara menyeluruh. kedua, menolak karena tanpa DIM pun, ABS-SBK bisa diimplementasikan. ketiga, karena Aceh, Yogyakarta dan Papua memiliki kelebihan yang tidak bisa disamakan dengan Sumatera Barat.
Keempat, menolak karena Sumatera Barat dapat dibangun melalui Undang-Undang Desa dan Nagari. kelima, menolak karena tokoh-tokoh hanya berpikir struktural dan hanya mau merubah dari atas. Keenam, menolak karena konsep negara federal yang bertentangan dengan konstitusi. Ketujuh, bukan prioritas Sumatera Barat saat ini yang seharusnya bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia warga Sumbar. Kedelapan, menolak karena mengkerdilkan peran Mentawai. Terakhir, kesembilan, menolak karena Minangkabau itu bersifat universal dan hanya mempersempit peran suku Minangkabau.
Kemudian, dari informan yang memilih abstain terdapat dua argumentasi yaitu pertama, memilih abstain karena belum pernah dibahas di jajaran pemerintahan dan DPRD. Kedua, abstain karena wacana tersebut masih banyak keterbatasan.
Itulah point-point penting dari hasil riset penelitian yang peneliti lakukan selama 6 bulan terakhir . Semoga bermanfaat buat warga Sumatera Barat dan terkhusus pemerintah provinsi dalam mengambil langkah kedepan nantinya. Sekian.
Penulis adalah Alumni Jurusan Sosiologi Fisip Unand