Wartawan, "Survivor" atau Peliput

id Wartawan, "Survivor" atau Peliput

Jakarta, (ANTARA) - Pendaki gunung saja harus melakukan persiapan untuk mendaki gunung, apalagi wartawan, demikian dikatakan jurnalis senior yang biasa peliputan alam bebas yang juga anggota Wanadri, Effendy Soen guna menanggapi adanya wartawan yang tersesat saat meliput jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak,Bogor, Jawa Barat.

Seperti diketahui, sejumlah wartawan yang meliput musibah jatuhnya pesawat itu, dikabarkan tersesat bahkan ada dua wartawan yang terpaksa semalaman harus bertahan di lereng gunung tanpa berbekalkan korek dan makanan serta senter.

Bahkan salah seorang diantaranya hanya berbekalkan jaket dan tas kecil serta satu botol air mineral berukuran kecil dan menganggap medan yang dihadapi mudah.

Beruntungnya kedua wartawan itu berhasil diselamatkan oleh tim SAR setelah mereka terdengar berteriak-teriak minta tolong. Ironisnya mereka ikut tim evakuasi namun pergerakan mereka malahan tertinggal.

Ada juga wartawan foto, setelah berupaya mendekati titik lokasi musibah kemudian tiba di Posko 1 Cipelang, dalam kondisi "dehidrasi" hingga juru foto itu sempat dirawat oleh PMI yang padahal tugas utama mereka untuk membantu korban Sukhoi namun tugasnya menjadi rangkap dengan merawat wartawan.

Akibat insiden "kecil" itu, setidaknya menjadi gambaran bahwa rekan-rekan jurnalis hanya memikirkan mendapatkan gambar eksklusif tanpa memikirkan nyawanya sendiri.

Yang jelas meliput di kota dengan di gunung, jelas sangat berbeda karena memerlukan persiapan khusus dari peralatan pribadi dan tim bahkan idealnya mereka harus rutin berolah raga untuk menjaga stamina tetap stabil, serta minimal paham akan dunia "mountaineering".

Belajar dari insiden itu, wartawan jangan hanya memikirkan heroisme belaka atau ingin mendapatkan pujian dari pimpinan medianya dengan mendapatkan gambar hebat atau cerita hebat. Tapi ingat mereka tetap harus memikirkan nyawanya sendiri dan jangan sampai keberadaan mereka menjadi "survivor" atau korban yang dicari oleh tim SAR.

Belum Miliki Kemampuan

Effendy Soen yang akrab dipanggil Kang Soen ini mengkritisi jika dunia wartawan di tanah air itu belum memiliki kemampuan untuk meliput terhadap kejadian atau bencana alam yang memiliki medan ekstrem.

"Pendaki gunung saja memerlukan persiapan (untuk mendaki gunung), apalagi wartawan," katanya.

Karena itu, kata dia, pimpinan media juga harus mempelajari atau memahami persoalan itu hingga setidaknya wartawan yang diperintah meliput suatu kejadian seperti jatuhnya pesawat Sukhoi itu, setidaknya bisa menolong tim SAR dengan informasi gambar bukannya yang harus ditolong.

"Seperti wartawan bisa melaporkan secara "on the spot" di lokasi, hingga tim SAR bisa terbantukan dengan gambar itu," katanya.

Karena itu, dirinya berharap adanya pelatihan dasar khusus untuk wartawan mengenai dunia alam bebas, agar mencegah kejadian yang terjadi di Gunung Salak.

"Ya saya sendiri sempat memonitor kejadian itu," katanya.

"Saya sendiri sudah memberikan masukan ke kepala Basarnas (Daryatmo,red) agar dilakukan pelatihan," katanya.

Pelatihan juga guna memberikan pemahaman mengenai standar di dalam peliputan di daerah bencana.

Perlu Pelatihan

Hal senada dikatakan oleh Ketua Yayasan Palawa Indonesia (YPI) yang bergerak di bidang kebencanaan dan outdoor activity, Bayu Bharuna, menyatakan diperlukan suatu kepelatihan standar peliputan di daerah bencana bagi kalangan jurnalis.

"Saya miris mendengar insiden itu. seharusnya wartawan bisa melaporkan suatu kejadian dengan baik namun ini justru ''''merepotkan'''' tim SAR," katanya yang sudah sering melakukan pendakian gunung dan penelusuran gua di tanah air dan kawasan Asia.

Ia menilai hal itu merupakan akibat minimnya kepahaman si jurnalis terhadap dunia alam bebas.

Karena itu, ia menghadap pimpinan media dalam mengirimkan wartawannya harus memilih mereka yang benar-benar memahami kegiatan alam bebas.

"Lebih bagusnya, wartawan itu pernah aktif di dunia alam bebas, dan jangan sampai wartawan yang dipilih dalam liputan, mereka yang baru pertama kali mendaki," katanya.

Pasalnya, kata dia, kalau orang yang sudah biasa berkegiatan di alam bebas atau wartawan yang dahulunya gemar berpetualang, maka akan paham

standar pendakian dan pencarian.

"Setidaknya mengerti struktur dari operasi SAR, hingga mereka paham akan prosedur jika ingin turut liputan ke lokasi mereka akan minta izin terlebih dahulu ke pimpinan operasi tersebut," katanya.

Jika, kata dia, si jurnalis itu meminta izin kepada pimpinan SAR, tentunya mereka akan didampingi oleh tim SAR yang mahir dalam kegiatan alam bebas.

"Pasalnya selama ini, wartawan yang dilarang naik ke gunung untuk liputan, mereka akan mencari jalan dengan menyewa warga setempat. Hingga saat insiden merepotkan tim karena mereka bisa dikatakan ilegal atau tidak terdata dalam proses evakuasi itu," katanya.

Untuk naik gunung itu, bukan hanya mengandalkan keberanian saja karena alam yang ekstrem bukan sebagai tempat uji coba atau main-main saja.

"Kalangan pendaki gunung saja, untuk melakukan pendakian harus melakukan persiapan yang panjang dari peralatan tim, peralatan pribadi, bahkan memahami peta kompas serta teknik survival. Serta harus melakukan persiapan," katanya.

Standar Pemahaman

Bagi kalangan penggiat alam bebas dalam menghadapi risiko tersesat dikenal dengan istilah "STOP" yakni dimana mengajak si survivor untuk berpikir.

STOP ini merupakan singkatan dari kata S: Stop atau berpikir, T: Thinking (berpikir), O: Observe (memantau kondisi sekitarnya), dan Planning (merencanakan).

Hal ini berlaku dan menjadi standar dalam berkegiatan terutama saat mengikuti materi survival.

Selain itu, si para penggiat alam bebas juga memahami materi peta kompas, yakni, mereka memahami di dalam kontur si peta agar mengetahui pergerakan yang akan dilakukan di lapangan.

Gambar kontur itu jika menyerupai huruf v bahwa itu merupakan punggungan dan jika digambarkan secara rapat dan cenderung gambar v-nya mendatar maka itu medan yang terjal.

Sebaliknya dengan gambar kontur v terbalik, bahwa medan itu jurang apalagi dalam bentuk rapat di dalam garisan peta, itu merupakan jurang yang curam.

Untuk penentuan lokasi sendiri, bisa dikatakan sekarang lebih mutakhir karena dengan menggunakan alat GPS hingga bisa mengetahui posisi si pelaku. Namun negatifnya menggunakan GPS untuk medan rapat agak sulit digunakan karena kerja mereka menggunakan satelit.

Secara manual penentuan lokasi bisa menggunakan sistem "resection" dan "intersection" dengan menggunakan kompas.

Bagi kalangan yang sudah terbiasa pendakian, mereka cukup menggunakan "feeling" kemudian memadukan dengan gambar di peta.

Minimal si pendaki sudah mengetahui titik awal pergerakan.

Belum lagi mengetahui tanda-tanda alam dari pohon sampai arah matahari untuk menentukan arah pergerakan, dan kesemuanya itu diperlukan pelatihan dan tidak bisa hanya melalui "text book" belaka dan praktik itu sangat diperlukan.

Serta jika seseorang tersesat, jangan sekali-sekali mencoba turun ke jurang atau mengikuti alur sungai mengingat geografis sungai medannya curam dan lebih baik tetap konsisten di punggungan gunung.

Demikian juga standar untuk peralatan untuk mendaki dari ransel, kantong tidur atau sleeping bag, jaket, jas hujan/raincoat, ponco yang bisa digunakan untuk menjadi bivak, sepatu, dan alat masak.

Untuk lebih baik lagi dengan membawa tenda karena saat ini banyak dijual tenda berukuran untuk satu orang atau dua orang, hingga ukuran saat dilipat tidak terlalu besar.

Belum lagi dengan materi dasar survival yang bisa dipelajari. (*)