Minangkabau akankah hilang ditelan masa?

id Budaya Minangkabau, Silat, bahan Minang Oleh Wahyu Saptio Afrima

Minangkabau akankah hilang ditelan masa?

Penari menggunakan kain panjang saat pertunjukan tari massal Festival Talago Kamba di Nagari Tabek Patah, Tanah Datar, Sumatera Barat, Sabtu (1/7/2023). Festival yang digelar dalam rangka Satu Nagari Satu Event itu menghadirkan tradisi seni budaya khas Nagari Tabek Patah sekaligus memperkenalkan potensi pariwisata di desa itu. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/foc.

Padang (ANTARA) -

Apakah sebuah suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang besar bisa hilang?

Bukankah kebudayaan itu melekat dalam jiwa masyarakatnya sendiri?. Jawabannya bisa saja.

Alah ilang asa dek nan pasa

Jalan diasak urang paladang

Kaji diasak Pakiah lalu


(Sudah hilang asal karena yang biasa dilakukan banyak orang

jalan dipindahkan orang keladang

Ilmu ditukar orang lewat)

Begitulah bunyi peribahasa Minangkabau yang mengisyaratkan tentang sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat. Dimana nilai- nilai adat, tradisi dan budaya mulai hilang dan bergeser di tengah masyarakat. Banyak sekali faktor yang menyebabkan hal tersebut, baik dari dalam ataupun faktor dari luar yang mempengaruhi. Sebut saja Globalisasi dan berkurangnya pengaruh Mamak di Minangkabau.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi dapat dipisahkan dari seluruh sendi kehidupan manusia. Hampir semua lini kehidupan masyarakat dimasuki oleh kemajuan teknologi, dan semua itu tidak dapat disanggah dan dihambat arusnya. Kecepatan persebaran informasi seakan- akan dunia seperti dalam genggaman.

Apapun dari belahan dunia bisa diakses oleh siapapun dalam waktu sekejap hanya dengan bantuan sebuah alat yang kita sebut gadget dan internet.

Kemajuan dicapai manusia dalam hal apapun, teknologi-teknologi dilahirkan dengan tujuan untuk mempermudah manusia dalam menjalani semua aktivitas, tujuan serta keinginan mereka.

Namun nyatanya teknologi tidak selamanya tentang kemajuan, kecanggihan dan segala kepraktisan yang ditawarkannya. Dibalik semua itu, teknologi memiliki dua sisi yang sangat berlainan. Disaat semua akses informasi bisa diraih siapapun dan dimanapun nyatanya juga membawa hal- hal negatif

bagi budaya setempat, khususnya pemuda.

Pemuda sebagai generasi penerus atau disebut juga agent of change adalah agen perubahan, mereka yang sangat haus informasi serta hal baru yang belum mereka ketahui. Sudah sifat generasi muda untuk mengikuti sesuatu yang sedang trend dan akan merasa ketinggalan jika tidak mengikutinya, namun tidak jarang

mereka terperosok dan melakukan hal yang bertentangan dengan norma serta budaya dimana mereka berada.

Waktu berlalu masa berganti perlahan sedikit demi sedikit kearifan dan kebesaran adat Minangkabau mulai tergerus kuatnya rongrongan arus globalisasi dan westernisasi. Anak-anak muda mulai bermigrasi dengan kebudayaan barat dan timur. Satu dua aturan adat mulai tidak diindahkan lagi, budaya dan tradisi mulai ditinggalkan kebanyakan anak muda beranggapan budaya mereka telah kuno dan ketinggalan zaman.

Begitu pula dengan eksistensi Surau (Mushalla) ditengah masyarakat, surau yang dahulunya sebagai basis pendidikan terpenting dan tidak bisa dipisahkan dari jiwa

masyarakat. Tempat pemuda ditempa dengan pemahaman agama, belajar Silek sebagai bela diri untuk bekal diperantauan kelak. Di Surau dahulunya pemuda Minang belajar bagaimana cara bergaul dan bersosialisasi di tengah masyarakat, sebagai modal jika merantau kelak.

Karena di Surau tidak hanya mereka yang seusia, tetapi ada yang lebih tua atau muda dan lebih kecil dari mereka. Mereka diajari bagaimana hidup di negeri orang, dan belajar agar bisa beradaptasi di lingkungan baru.

Eksistensi Surau tidak terlepas dari peranan sentral Mamak. Mamak adalah pemilik kuasa tertinggi dalam sebuah kaum, tidak tau tempat bertanya pulang tempat berkabar, tempat mengadu sanak kemenakan. Di Surau kaum( suku) Mamak berkewajiban mengajar dan memelihara kemenakan supaya selalu berada dalam alur adat dan agama.

Mamak adalah tempat hitam atau putihnya keputusan perkara. Sehingganya Mamak sangat dihormati dan disegani zaman dahulu. Hari ini contohnya saja di Padang Pariaman Surau-surau kaum yang dimiliki oleh masing- masing suku disetiap nagari kini tak lagi berpenghuni, bahkan sekedar adzan sholat

lima waktu saja sekarang sudah jarang terdengar.

Peranan mamak sebagai pemegang kendali penuh atas kemenakan kini sangat jauh berkurang, kewibawaan mamak mulai redup dimata kemenakan. Tidak lain tidak bukan karena banyak hal, salah satunya karena kemenakan tidak lagi tinggal di surau khususnya laki-laki, mereka sekarang tinggal dirumah bersama orang

tua, dibuatkan kamar sendiri.

Mamak tidak lagi punya banyak waktu untuk mengajari kemenakan, faktor lain juga disebabkan karena orang tua tidak lagi menanamkan kepada

anaknya tentang posisi mamak dalam keluarga. Anak- anak tidak lagi diajarkan tentang sifat raso jo pareso.

Sifat malu dan sopan santun telah jauh berkurang dari jiwa pemuda, karena tidak ada lagi belajar tentang kato nan ampek semua itu disebabkan karena telah hilangnya peran surau sebagai sentral pendidikan karakter bagi pemuda. Mamak tidak lagi memiliki kekuasaan mengatur dan mengajari kemenakan.

Bahkan mirisnya lagi fenomena yang terjadi sekarang di kota- kota di Sumatera Barat, banyak anak muda yang tidak lagi lancar berbahasa Minang. Hal ini disebabkan karena orang tua sudah banyak yang tidak memakai bahasa Minang sebagai bahasa ibu di rumah kepada anaknya sehingga perlahan bahasa Minang kehilangan penutur yang bisa berdampak pada kepunahan bahasa itu sendiri.

Alasan lainnya adalah karena anak muda merasa malu berbahasa Minang dalam pergaulan, menganggap bahasa Minang telah ketinggalan dan tidak

keren. Begitu pula dengan minat pemuda dalam mempelajari tradisi dan kesenian, sebut saja Randai dan Silek. Satu persatu sasaran atau tempat latihan silat ditutup, bukan karena guru yang tidak ada lagi melainkan karena tidak ada lagi murid- murid untuk diajari silat.

Mereka lebih suka berkumpul di tongkrongan, pergi melihat orgen tunggal atau belajar bela diri lain yang mereka anggap lebih keren. Padahal sama- sama kita ketahui bahwa Silat Minangkabau adalah salah satu bela diri masyhur di Indonesia, sebagai bekal bela diri yang dibawa oleh perantau Minang kemanapun sejak dahulu. Tidak jauh beda dengan randai, bahkan hari ini jika randai ditampilkan dalam sebuah acara, apakah acara perhelatan atau sebagainya seakan sebuah penampilan asing bagi pemuda, karena tidak ada lagi di daerah mereka tempat belajar kesenian ini.

Fenomena ini harusnya kita sadari dari sekarang, dan menjadi tugas dan kewajiban kita bersama. Begitupun kepada pemerintah dan instansi terkait agar bisa mencarikan solusi dan jalan keluar dari kasus ini. Sebab Kemajuan zaman dengan segala perubahan yang dibawanya memang tidak bisa dipungkiri, selalu ada dampak negatif dan positif yang ditimbulkan. Seperti halnya yang terjadi pada pemuda di Minangkabau, dengan segala

dampak negatif yang muncul.

Kita tidak bisa menahan laju kemajuan zaman, tetapi kita bisa menanamkan nilai dan kearifan lokal kepada generasi muda agar tidak tergerus kemajuan dan

budaya yang datang. Terapkan kembali nilai luhur, lestarikan budaya dengan mengajarkan kembali kepada pemuda, dan berikan wadah kepada pemuda untuk berekspresi. Semoga dengan semua upaya itu, segala kekayaan budaya kita tetap lestari dan tidak tenggelam

ditelan zaman. (Opini menjadi tanggung jawab Penulis: Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas).