Padang (ANTARA) - "Men, tolong pesankan jus jeruk!," terdengar seruan dari gerobak sate Mak Codet kepada Armen (45) yang malam itu tengah berdiri di samping gerobak nasi gorengnya.
Usai mendapati seruan tersebut Armen langsung melongok ke Warung Kopi Saudara, telah tahu pasti kemana pesanan minuman tadi tertuju.
Tak lama berselang, pegawai perempuan keluar dari warung Kopi saudara dengan menenteng segelas jus jeruk. Kemudian minuman berwarna kuning itu dihidangkan di meja dekat gerobak sate.
Usai bersantap, tiba waktunya bagi pembeli untuk membayar sate berikut jus jeruk yang dipesan. Namun untuk pembayaran jus, pembeli tak perlu membayar ke warung Kopi Saudara.
Karena saat membayar sate, pedagang langsung mengalkulasikan bayaran jus jeruk, dan dia juga nanti yang akan menyetorkan uang jus ke warung kopi.
Setidaknya, begitulah gambaran keakraban serta gotong-royong antar pedagang di pasar kuliner malam Simpang Kinol, yang berada di Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, Sumatera Barat .
Jika Yogyakarta punya Jalan Malioboro sebagai kawasan kuliner malam, maka Kota Padang memiliki Simpang Kinol.
Simpang yang mempertemukan Jalan Niaga, Jalan Imam Bonjol, Jalan Tepi Pasang, dan Jalan Pondok itu menyediakan "seabrek" makanan.
Mulai dari masakan khas Minangkabau, khas nusantara, hingga mancanegara saling menggoda untuk menggugah selera.
Ragamnya kuliner di kawasan Kinol berbanding lurus dengan keragaman latar belakang lima puluh lebih pedagang di sana.
Sebab tidak semua pedagang berasal dari Kota Padang atau bersuku Minangkabau sebagai mayoritas penghuni Sumatera Barat. Mereka bercampur dengan berbagai lata belakang daerah, suku, serta etnis.
Mulai dari Kota Payakumbuh, Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Tanah Datar, Limapuluh Kota, dan lainnya. Sedangkan dari luar Sumbar seperti Sumatera Utara, Jawa, dan Jambi.
Sedangkan dari sisi suku serta etnis, di Simpang Kinol terdapat pedagang berlatar berlatar belakang Nias, Tionghoa, hingga India.
Intinya ketika menyambangi pasar kuliner Simpang Kinol, keanekaragaman itu akan langsung tertangkap secara kasat mata.
Meskipun begitu, perbedaan serta kemajemukan yang terhidang di depan mata tidak membuat para pedagang saling berseteru, berkonflik, apalagi sampai berperilaku radikal.
Mereka bisa rukun dan harmonis di tengah keberagaman. Bahkan sejak tiga dekade belakangan tanpa pernah muncul sentimen berbau Suku Agama Ras dan Antargolongan yang biasa disingkat SARA.
Karena itu sejatinya Simpang Kinol yang berada di kawasan Pondok (pecinaan) bukan hanya soal pasar kuliner. Tetapi juga menggambarkan betapa indahnya toleransi di tengah perbedaan.
"Kami tidak pernah membeda-bedakan satu sama lain, semuanya akrab. Yang penting hindari perasaan iri," kisah Swani Wati (55) sang empunya Warung Kopi Saudara.
Swani yang merupakan isteri dari Alfian berlatar belakang Tionghoa dan bisa dikatakan sebagai generasi pertama yang berjualan di Simpang Kinol, terhitung sejak 1985.
Ia menjadi saksi akan toleransi serta kerukunan yang terawat dengan baik di kawasan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
"Sampai sekarang meskipun kami berbeda-beda tapi tak pernah ada masalah. Kami akur dan saling-membantu satu sama lain," katanya.
Ucapan toleransi dari mulut Swani rasanya sulit untuk disanggah. Sebab ia tidak sedang berteori, tetapi sedang mengisahkan apa yang pernah dipraktikan.
Karena kalau hanya sebatas teori, tak mungkin Swani secara sukarela membagi teras kedainya untuk gerobak Armen (45) yang berjualan nasi goreng.
Padahal jika ditilik antara mereka tak ada singgungan sama sekali. Karena Armen adalah suku Minangkabau yang berasal dari Guguak, salah satu kecamatan di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.
Pertama kalinya mereka bertemu adalah saat Armen sedang mencari tempat untuk berjualan pada 2000. Kemudian Swani mengizinkan teras kedainya. Bahkan tanpa biaya sewa.
Setelah berjalan sekitar 20 tahun, hubungan mereka kian hangat dan akrab tanpa terpengaruh oleh perbedaan latar belakang.
Di sela-sela aktivitas berjualan, mereka selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi atau "guyon". Tidak jarang juga mereka berbagi informasi terbaru atau membahas isu yang sedang hangat di Kota Padang.
Bisa dikatakan hubungan mereka itu tidak sebatas hubungan dagang belaka. Tapi sudah mirip seperti keluarga karena memang bertemu setiap hari.
Secara lebih luas, kerukunan itu tidak hanya berhenti sampai di Armen, Swani, atau suaminya Alfian. Tapi juga sesama pedagang yang berjumlah limapuluh lebih tanpa membedakan pedagang toko atau kaki lima.
Sehingga tidak mengherankan kalau pengunjung dari tempat sate bisa mengakses atau memesan jus jeruk di pedagang lain tanpa harus pindah tempat.
Karena sistemnya semacam "kongsi" yang bisa mengintegrasikan para pedagang sebagai satu kesatuan besar, berbekal saling percaya.
Sistem yang demikian sudah sama-sama dipahami dan diterapkan oleh para pedagang di Kinol, hingga mereka saling terkoneksi satu sama lain.
Walaupun begitu, sistem "kongsi" dikecualikan bagi beberapa jenis minuman atau makanan yang memang jadi khas satu tempat. Termasuk kopi, teh, dan lainnya.
Para pengunjung tidak bisa memesan kopi atau teh dari kedai lain, jika sedang duduk di warung kopi.
"Karena sudah saling akrab, kami sesama pedagang bisa saling membantu," begitu kata Aulia Rizky (26), pemilik Sate Danguang-danguang di kawasan Kinol.
Menurutnya sistem itu bisa berjalan mulus karena memang para pedagang sudah saling mengenal dan saling percaya.
"Kalau ada pembeli di sini (Sate Danguang-danguang), lalu mau memesan soto atau nasi goreng dari pedagang lain, maka tinggal disebutkan. Nanti kami pesankan ke pedagangnya," terangnya.
Aulia yang merupakan generasi kedua pemilik Sate Danguang-danguang, meneruskan mendiang ayahnya Jhoni Hendri AB, mengaku senang akan sikap saling membantu dan menghormati tersebut.
Karena kalau berbicara sate, di Simpang Kinol ada banyak jenis sate selain Sate Danguang-danguang. Tapi para pedagangnya tetap "seiya-sekata" saja.
Solidaritas antar para pedagang juga patut diacungi jempol, karena saat ada kematian mereka akan mengumpulkan sumbangan bersama-sama.
Keturunan India Penjual Gado-gado
Jika berbicara soal betapa terbukanya sikap pedagang Simpang Kinol terhadap perbedaan, maka sosok Didit Eko Pratomo (39) tak bisa dilupakan.
Sebab lelaki keturunan India tersebut menggenggam sebuah paradoks budaya yang akhirnya melebur dengan baik atas bantuan toleransi.
Bagaimana tidak, ia yang berjualan dengan gerobak di pinggir Jalan Tepi Pasang melakoni sebuah peran yang jarang ditemui.
Jika melihat keturunan India yang berjualan briyani, ayam tandoori, dan sejenisnya maka bukan sesuatu yang mengagetkan. Sebab asal makan tersebut memang dari negeri Barata sebutan bagi negara India.
Tapi melihat seseorang berdarah India menjual gado-gado?, maka itu hal menarik untuk diamati. Sebab gado-gado adalah makanan khas Indonesia yang-kebanyakan penjualnya juga orang Indonesia.
Berbekal kepandaian dari mertuanya yang juga berdarah India, Didit Eko Pratomo mulai berjualan gado-gado di pasar kuliner Simpang Kinol sejak 2013.
Namun begitu ia tetap bisa berdagang secara aman dan nyaman tanpa ada yang mengganggu. Setidaknya Didit mempertegas bahwa sikap toleran di kawasan Kinol memang telah berjalan dengan baik.
Hubungannya dengan pedagang lain di Kinol pun tak ada masalah. Bahkan dengan sesama penjual gado-gado berdarah Minangkabau yang jaraknya tak sampai sepuluh meter dari tempatnya berjualan.
Alih-alih bermusuhan, mereka bisa berteman secara akrab. Tidak jarang keduanya meminjam-pakai bahan gado-gado ketika habis.
"Kalau bahan saya abis maka saya pinjam bahannya dulu, begitu juga sebaliknya," ujarnya
"Kita hanya perlu harus saling menghargai dan menghormati satu sama lain," sambungnya lagi.
Pengembangan Pasar Kinol
Pemerintah mengakui kalau Simpang Kinol memiliki potensi besar untuk dikembangkan lebih luas sebagai kawasan kuliner malam. Mengingat sisi geografisnya berada di simpang empat dan strategis.
Selain itu keberagaman yang ada di Simpang Kinol juga menjadi modal spesial, karena banyak jenis kuliner, menu, serta rasa yang bisa ditawarkan kepada pengunjung.
"Jika diproyeksikan Simpang Kinol bisa menjadi tawaran pembanding bagi Permindo Night Market (pasar kuliner malam) yang sudah ada di Jalan Permindo," kata Camat Padang Barat Eri Sanjaya.
Namun untuk mengembangkan kawasan tersebut perlu menggandeng dinas terkait, salah satunya Dinas Perhubungan. Karena salah satu kendala di Simpang Kinol adalah ketersediaan lahan untuk parkir, sementara arus lalu lintasnya cukup padat.
"Perlu koordinasi dengan dinas terkait untuk mencari solusi, apakah salah satu jalan ditutup untuk dijadikan lokasi parkir, atau lainnya," jelasnya.
Selain itu, lanjut Eri, kondisi pandemi COVID-19 yang sedang terjadi ikut mempengaruhi pengembangan kawasan setempat.
Namun ia menegaskan pemerintah Kota Padang akan terus mengkaji serta memajukan pasar kuliner malam Simpang Kinol.
Sementara untuk keberagaman, ia tidak menampik hal tersebut. Sebab Padang Barat yang berpenduduk 46 ribu lebih bisa dikatakan kecamatan yang "komplit".
Karena 65 persen warganya adalah etnis Minangkabau, sedangkan sisanya adalah campuran dari Nias, Tionghoa, dan India. Bahkan di kecamatan itu terdapat rumah ibadah Islam, Hindu, Budha, dan Protestan.
"Kami sebagai pemerintah akan terus berupaya menjaga kedamaian di tengah keberagaman tersebut tanpa ada gesekan," katanya.
Sebab tujuan yang ingin dicapai adalah terciptanya keamanan dan ketertiban bersama dengan sikap toleransi, dan kegiatan ekonomi masyarakat juga terus berjalan.
Tiga tahun lalu Kecamatan Padang Barat juga mengusung hastag dengan tujuan serupa yaitu #Padang Barat Kebud Saja, singkatan dari "Keberagaman Budaya tapi Satu Tujuan".
Pada akhirnya, apa yang dipraktikkan para pedagang di Simpang Kinol menjadi refleksi diri bahwa "Beragam" tidak melulu harus "Berantam". Dengan sikap saling menghormati dan pikiran terbuka, keberagaman adalah modal untuk saling menguatkan.
"Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekerasan, hal itu hanya dapat diraih dengan pengertian," begitu kutipan Albert Einstein.