Dari BRICS hingga OECD: Langkah Indonesia meniti jalan menuju negara maju

id BRICS

Dari BRICS hingga OECD: Langkah Indonesia meniti jalan menuju negara maju

Bendera BRICS di Kazan. (ANTARA/HO-Photohost agency brics-russia2024.ru)

Jakarta (ANTARA) - Sepanjang 2024, lanskap geopolitik global masih dihantui ketidakpastian. Mulai dari konflik Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai, perpecahan di Timur Tengah yang kian runyam, hingga terbaru, kecemasan dunia pascaterpilihnya Donald Trump sebagai Presiden baru AS.

Fragmentasi geopolitik semacam ini memberikan efek domino terhadap perekonomian banyak negara, tak terkecuali Indonesia. Namun, di tengah ketidakpastian tahun ini, Indonesia justru berupaya lebih memainkan peran dalam panggung global dengan bergabung dalam beragam organisasi kerja sama ekonomi.

Tak hanya menggaet negara-negara maju untuk berinvestasi, langkah konkret ini dilakukan guna memperkuat kerja sama ekonomi, memperluas pengaruh dalam perdagangan global, hingga di akhir menjadi jalan setapak bagi Tanah Air untuk mengejar tujuan yang diimpikan sebagai negara maju.

Menapaki OECD sebagai jalan panjang memenuhi standar global

Awal 2024, Indonesia memulai langkah dalam percaturan ekonomi internasional melalui Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Indonesia resmi mengajukan diri untuk menjadi anggota resmi OECD pada 20 Februari 2024. Dengan ini, Indonesia menjadi negara kandidat aksesi pertama dari Asia Tenggara.

Menjadi anggota resmi OECD dianggap sebagai suatu pencapaian mengingat organisasi ini merupakan organisasi yang mewadahi negara-negara maju untuk menciptakan standar ekonomi yang tinggi melalui beragam kebijakan.

Keanggotaan OECD dapat menyerap lebih banyak investasi. Sebab, status sebagai anggota OECD sendiri sebenarnya dapat menjadi sinyal bagi para investor bahwa Indonesia telah berkomitmen memenuhi standar kebijakan negara maju.

Selama proses aksesi, Pemerintah terus mengupayakan penyesuaian regulasi dan kebijakan guna memenuhi kriteria yang ditetapkan OECD.

Reformasi perpajakan, tata kelola pemerintahan yang transparan, hingga upaya mempercepat investasi hijau menjadi pekerjaan rumah yang sedang difokuskan Pemerintah saat ini.

Bahkan pada 3 Oktober 2024, Pemerintah membentuk Tim Nasional (Timnas) Percepatan Aksesi OECD yang diketuai Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.

Timnas yang terdiri atas 64 kementerian/lembaga (K/L) dan institusi ini dibentuk untuk mempercepat proses aksesi Indonesia ke dalam OECD.

Pemerintah juga meluncurkan Portal Aksesi OECD dan Informasi Aksesi (INA) OECD agar proses aksesi OECD dapat dipantau publik. Platform digital ini dirancang untuk mempercepat transparansi dan proses kerja aksesi.

Pun demikian, keanggotaan Indonesia di OECD mengundang kritik dari para ekonom dan akademisi ihwal untung ruginya bagi Indonesia.

Pasalnya, jika resmi menjadi negara anggota OECD, maka Indonesia bakal menjadi anggota dengan pendapatan per kapita paling rendah dibandingkan negara anggota lainnya.

Ibarat jauh panggang dari api, pendapatan per kapita Indonesia pada 2023 saja tercatat masih 4.919,7 dolar AS atau sekitar Rp75 juta, sedangkan rata-rata pendapatan per kapita negara anggota OECD telah mencapai 40 ribu dolar AS. Dibayangi hal tersebut, Menko Airlangga membidik adanya pemerataan pendapatan per kapita sebesar 10 ribu dolar AS secara nasional pada tahun 2030.

Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi konsekuensi finansial. Sebab, dengan bergabung ke OECD, maka Indonesia tidak lagi menjadi negara penerima bantuan pembangunan, namun menjadi negara dengan tanggung jawab memberikan bantuan pembangunan (Official Development Assistance/ODA).

Lantaran adanya kontribusi wajib dan sukarela bagi anggota yang dihitung berdasarkan skala perhitungan tertentu serta ukuran ekonomi dan jumlah penduduk, maka Indonesia berpotensi membayar lebih besar dibandingkan sejumlah negara Uni Eropa.

Menimbang ruang fiskal yang cukup sempit inilah Pemerintah perlu menaikkan penerimaan pajak untuk kepentingan aksesi serta menaikkan derajat Indonesia sebagai negara yang setara dalam klub negara maju tersebut.

Kendati ada risiko yang diemban, kita tak bisa menepis fakta bahwa keanggotaan Indonesia di OECD juga memiliki beragam peluang.

Keanggotaan OECD berpotensi bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap China lewat diversifikasi investasi dan impor dengan negara-negara maju lain.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), China konsisten menjadi mitra dagang utama Indonesia selama kurun waktu sembilan tahun terakhir. Neraca dagang kedua negara tercatat telah mencapai 75,34 miliar dolar AS pada 2023.

Kebergantungan ini menimbulkan kekhawatiran di antara para ekonom, salah satunya ekonom International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Bona Tua Parlinggomon.

Ia khawatir Indonesia terlalu bergantung pada impor China, sementara situasi ekonom domestik China saat ini tengah tidak baik-baik saja, bahkan diprediksi terus melambat dalam 5 tahun ke depan. Situasi ini memberikan efek rambatan terhadap stabilitas perekonomian Indonesia.

Syahdan, keanggotaan OECD bakal menuntut Indonesia untuk mengikuti standar-standar birokrasi negara maju. Aspek utama seperti penguatan tata kelola kelembagaan dalam konteks penerimaan pajak menjadi salah satu upaya dalam aksesi OECD.

Penerimaan pajak Indonesia, walaupun menunjukkan tren meningkat secara nominal, masih jauh dari potensi yang dimiliki dan yang dapat digali. Data selama 10 tahun terakhir menunjukkan rasio pajak Indonesia berada dalam level 10 persen.

Menggenjot penerimaan pajak adalah krusial dalam konteks aksesi Indonesia ke OECD. Bukan semata karena Indonesia perlu sumber keuangan yang lebih banyak, melainkan juga guna memenuhi persyaratan fiskal yang harus ditanggung Indonesia.

Membuka pintu ekspor baru lewat CPTPP dan BRICS

Pada 25 September 2024, Indonesia resmi mengajukan diri untuk menjadi anggota Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans Pasifik (Comprehensive and Progresive Trans-Pasific Partnership Agreement/CPTPP).

CPTPP merupakan skema perjanjian perdagangan standar tinggi yang bertujuan memfasilitasi kerja sama ekonomi antar negara anggotanya. Perjanjian ini mencakup hampir seluruh aspek ekonomi, termasuk investasi sampai perdagangan barang dan jasa.

Saat ini CPTPP beranggotakan 11 negara, yakni Australia, Brunei, Kanada, Cili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam.

Dalam CPTPP, Indonesia mampu membuka pasar baru di berbagai negara, dalam hal ini Pemerintah membidik pasar Amerika Latin seperti Meksiko dan Peru. Selain itu, keanggotaan CPTPP juga diproyeksikan dapat meningkatkan nilai ekspor Indonesia hingga 10 persen.

Selang sebulan kemudian, Indonesia juga melayangkan surat expression of interest yang menandai langkah resmi Indonesia untuk mendaftar keanggotaan BRICS.

Keputusan Indonesia bergabung dengan BRICS membuka lembaran baru di sektor perdagangan internasional. Sebagai negara dengan komoditas andalan kelapa sawit serta batu bara, Indonesia dapat lebih leluasa menjangkau pasar potensial seperti Brasil dan Afrika Selatan, di mana permintaan produk-produk tersebut cukup tinggi.

Oleh karena itu, keanggotaan BRICS dapat membantu mendiversifikasi pasar ekspor Indonesia sehingga ketergantungan pada pasar tradisional dapat berkurang. Langkah ini memungkinkan Indonesia lebih tangguh menghadapi gejolak ekonomi global.

Secara kolektif, negara-negara BRICS memang berperan besar dalam ekonomi global. BRICS menyumbang sekitar 29 persen produk domestik bruto (PDB) global. Bahkan 40 persen produksi dan ekspor minyak mentah dunia didominasi oleh BRICS.

Menyadur Dana Moneter Internasional (IMF), PDB BRICS konsisten tumbuh melampaui Group of Seven (G7). Selama rentang tahun 2016--2024 saja, BRICS mencatat pertumbuhan PDB hingga 3 persen, lebih tinggi dibandingkan G7 yang hanya 1,3 persen. IMF sendiri memproyeksikan BRICS bakal terus mengalami pertumbuhan PDB sebesar 3,2 persen pada 2025.

Melihat peluang itu, Indonesia, sebagai salah satu importir bahan bakar minyak (BBM), akan mendapat manfaat signifikan jika bergabung dengan BRICS.

Saat ini, embargo yang diterapkan AS terhadap minyak Rusia akibat konflik Rusia-Ukraina membuat Rusia kehilangan sebagian besar pembelinya di negara-negara OECD. Namun, melalui keanggotaan BRICS, Indonesia berpeluang memperoleh minyak Rusia dengan harga lebih murah.

Kejar pertumbuhan ekonomi 8 persen dengan industrialisasi

Target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto sejatinya merupakan sasaran yang cukup ambisius. Bahkan, banyak ekonom yang sangsi target tersebut dapat tercapai.

Namun demikian, Pemerintah tetap optimistis dengan hal tersebut. Dalam pernyataannya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan sektor konsumsi akan tetap dijaga di rentang pertumbuhan 5--6 persen, investasi dibidik tumbuh 10 persen, serta ekspor didorong tumbuh 9 persen.

Kemudian sepanjang 2024, Pemerintah cukup masif mengembangkan kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai inisiatif dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Masifnya aliran investasi yang masuk serta aktivitas industri dari 24 KEK yang sudah ditetapkan Pemerintah tahun ini dapat memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.

Adapun kinerja KEK untuk periode triwulan III-2024 telah mencatatkan realisasi investasi sebesar Rp68,43 triliun.

Dengan kondisi industri dalam negeri yang lesu, Pemerintah memberikan beragam fasilitas dan insentif fiskal kepada KEK. KEK menawarkan keringanan pajak, bea masuk, dan kemudahan perizinan yang membuatnya menarik bagi investor domestik dan asing.

Selain itu, KEK juga berperan sebagai pusat industri yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, baik untuk sektor formal maupun informal. Hingga triwulan III-2024, KEK telah menyerap tenaga kerja sebanyak 34.169 orang.

Semikonduktor sebagai "emas" baru

Berbicara mengenai sektor industri, semikonduktor mungkin menjadi kata kunci yang sudah berulang kali diucapkan oleh para pejabat Pemerintah seakan komoditas ini menjadi emas baru (new gold).

Industri semikonduktor memang semakin menjadi pusat perhatian di era digital modern karena perannya sebagai teknologi inti dalam hampir semua perangkat elektronik. Mulai dari komputer, gawai (smartphone), hingga kendaraan listrik (EV). Semikonduktor merupakan elemen utama yang mendukung berbagai inovasi teknologi.

Revolusi digital seperti jaringan 5G, Internet of Things (IoT), dan kecerdasan artifisial (AI) semakin mempertegas pentingnya industri ini. Kebutuhan terhadap chip semikonduktor terus meningkat, mendorong negara-negara untuk memperkuat rantai pasok globalnya.

Indonesia, dengan sejumlah keunggulan yang dimiliki, dinilai memiliki potensi untuk berperan signifikan dalam ekosistem semikonduktor global. Indonesia dapat meraih momentum karena kaya akan bahan mentah yang dibutuhkan untuk produksi semikonduktor, seperti silika dan logam tanah jarang alias rare earth element.

Kalimantan, misalnya, memiliki cadangan silika melimpah yang menjadi bahan utama pembuatan chip. Selain itu, Indonesia juga merupakan produsen nikel terbesar di dunia, yang memainkan peran penting dalam teknologi pendukung semikonduktor, termasuk komponen baterai untuk perangkat elektronik modern.

Di samping itu, kebijakan hilirisasi mineral yang telah dicanangkan Pemerintah kian membuka peluang besar untuk mengembangkan ekosistem semikonduktor domestik. Dengan membangun pabrik pengolahan bahan mentah, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam rantai pasok global, sekaligus meningkatkan nilai tambah ekspor mineral.

Dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam, kebijakan hilirisasi, dan lokasi strategis, Indonesia punya peluang besar untuk masuk ke rantai pasok global semikonduktor.

Jalan terjal menuju negara maju dan berdaya

Diselimuti harapan, tahun 2024 melukiskan Indonesia sebagai negeri yang tengah berkukuh menapak jalan menuju kejayaan. Aktivitas Indonesia di panggung ekonomi global menunjukkan bahwa negara ini tak lagi sekadar menjadi pasar bagi produk asing.

Dari BRICS hingga OECD, setiap langkah yang diambil merupakan upaya untuk meraih kemandirian, menyeimbangkan pengaruh geopolitik, dan menyulam jalinan ekonomi yang kokoh dengan dunia.

Meski tantangan besar membentang, Indonesia memilih untuk melihatnya sebagai peluang—sebagai titian menuju pertumbuhan yang lebih merata dan berkelanjutan.

Harapan terbesar adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat yang merata. Karena pada akhirnya, negara maju tidak hanya ihwal pertumbuhan angka, tetapi juga tentang membangun negara yang berakar pada inklusivitas, keberlanjutan, dan keadilan sosial.

Editor: Achmad Zaenal M

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dari BRICS hingga OECD: Langkah RI meniti jalan menjadi negara maju