Padang (ANTARA) - Epyardi Asda membawa keberhasilannya menangani stunting di Kabupaten Solok menjadi program unggulannya sebagai calon Gubernur Sumbar. Ia bersama calon wakil gubernur, Ekos Albar, mengusung program Sumbar zero stunting.
Juru bicara (jubir) muda Epyardi-Ekos, Zahara Ramadani, mengatakan bahwa pasangan calon pemimpin Sumbar itu mengusung program Sumbar zero stunting karena memahami bahwa masa depan Sumbar terletak pada mutu kesehatan generasi penerusnya. Karena itu, menurut Epyardi, pemerintah daerah dan orang tua harus mempersiapkan tumbuh kembang anak agar mampu bersaing dalam kehidupan.
Zahara menjelaskan bahwa program Sumbar zero stunting bukanlah program omong kosong karena Epyardi sudah berhasil menjalakan program penurunan angka stunting di Kabupaten Solok. Ia menginformasikan bahwa berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia, pada 2021 angka prevalensi stunting di Kabupaten Solok tercatat 40,1 persen. Pada 2022 angka tersebut turun menjadi 24,2 persen. Pada 2023, berdasarkan aplikasi elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (e-PPGBM), angka prevalensi stunting Kabupaten Solok tinggal 12,11 persen. Sementara itu, menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia 2023, prevalensi stunting Kabupaten Solok 25,4 persen.
“Pada Oktober 2023 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyatakan Kabupaten Solok dan Kabupaten Kendal (Jawa Tengah) sebagai contoh baik dalam menangani stunting secara drastis. Pada Juni 2024, Pak Epyardi bersama Ketua TP-PKK Kabupaten Solok, Bu Emiko, meraih penghargaan nasional, Manggala Karya Kencana dari BKKBN, karena Pemkab Solok dinilai berpartisipasi aktif menjalankan program pengendalian penduduk, seperti keluarga berencana, percepatan penurunan stunting, dan perencanaan keluarga,” ujar Zahara.
Karena keberhasilan itu, kata Zahara, Epyardi-Ekos akan menerapkan cara-cara yang dilakukan Pemkab Solok untuk menekan angka stunting terhadap semua daerah di Sumbar. Untuk menekan angka stunting di Kabupaten Solok, Epyardi melakukan beberapa hal. Pertama, mengalokasikan dana Rp4 miliar per tahun untuk membiayai pemberian makanan tambahan untuk menekan angka stunting. Pengalokasian dana Rp4 miliar itu dimulai pada 2021 hingga 2024.
Kedua, kerja sama lintas sektor dalam Solok Superteam. Zahara mengatakan bahwa Epyardi membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting. Tim tersebut dikomandoi Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan. Dalam tim itu terdapat Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Nagari, Dinas Perikanan dan Pangan, Dinas Sosial, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Pendidikan, PKK, wali nagari, dan kader kesehatan (warga yang mau bekerja untuk sektor kesehatan).
“Bahkan ada nagari di Kabupaten Solok yang mengalokasikan dana anggaran pendapatan dan belanja nagari untuk penanganan stunting,” ucapnya.
Zahara menjelaskan bahwa instansi dalam Tim Percepatan Penurunan Stunting bekerja sesuai dengan tugas masing-masing. Misalnya, Dinas Kesehatan memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, seperti memeriksa bayi dengan menyiapkan antropometri kit di tiap posyandu. Antropometri kit adalah serangkaian alat yang berfungsi untuk mendeteksi stunting pada anak melalui pengukuran berat badan, panjang dan tinggi badan serta lingkar lengan atas dan kepala. Contoh lain, Dinas Kesehatan membekali bayi yang mengalami gangguan menelan air susu dengan slang makan (sonde) setelah pulang dari rumah sakit.
Tim Percepatan Penurunan Stunting, kata Zahara, mendata penderita stunting berdasarkan nama, alamat, dan masalahnya. Data itu diberikan kepada tenaga kesehatan (pegawai Dinas Kesehatan) untuk menangani masalah penderita stunting.
“Misalnya, jika masalahnya kekurangan asupan gizi makanan, tenaga kesehatan akan menambah asupan gizi makanan. Kunci penangangan stunting ialah memastikan penderita stunting tidak kekurangan asupan gizi. Apabila asupan gizi cukup, anak tidak akan stunting. Kader PKK bekerja sama dengan kader kesehatan untuk mengawasi pemberian makanan tambahan benar-benar masuk ke dalam mulut anak yang menderita stunting,” tuturnya.
Selain itu, kata Zahara, Tim Percepatan Penurunan Stunting menyiapkan pasangan usia subur, misalnya memastikan calon ibu tidak mengalami anemia dan tidak kekurangan gizi. Untuk ibu hamil, tim melaksanakan pemeriksaan kehamilan lengkap. Ia menginformasikan bahwa ibu hamil minimal enam kali bertemu tenaga kesehatan, dua kali bertemu dokter, dan dua kali diperiksa dengan USG. Ibu hamil diperiksa dengan USG untuk mengetahui lingkar kepala bayi dalam kandungan untuk mencegah bayi lahir tidak stunting.
“Pemkab Solok menyediakan 1.300 petugas kesehatan dan 3.400 kader kesehatan untuk menangani masalah stunting. Salah satu elemen terbawah yang memiliki andil besar dalam penurunan stunting di Kabupaten Solok ialah posyandu dan kader-kadernya. Posyandu bisa menjangkau masyarakat secara langsung hingga ke pelosok. Posyandu memantau tumbuh kembang bayi dan balita. Jika ada masalah pertumbuhan anak pada usia 0-23 bulan, masalahnya dapat segera terdeteksi,” ujarnya.
Zahara menambahkan bahwa untuk menekan angka stunting, Pemkab Solok melibatkan remaja GenRe. Pemkab menyediakan dana untuk mendukung kegiatan remaja GenRe dalam mengampanyekan perilaku anti-Triad KRR (pernikahan di usia anak, seks menyimpang, dan napza). Atas dukungan itu, Epyardi sebagai bupati dan Emiko Ketua TP-PKK Kabupaten Solok mendapatkan penghargaan dari BKKBN Sumbar sebagai Ayah dan Bunda GenRe Kategori Pengayom 2024.
“Duta GenRe Kabupaten Solok berperan menurunkan angka stunting. Kegiatan remaja GenRe mengampanyekan perilaku anti-Triad KRR dinilai penting karena beberapa kasus ditemukan bayi stunting terlahir dari orang tua yang masih berusia sangat muda,” ucapnya.*