Surau dan spiritualitas: Jalan pulang menuju masa depan kemanusiaan

id Guru besar

Surau dan spiritualitas: Jalan pulang menuju masa depan kemanusiaan

Prof Nurus Shalihin (kiri) berfoto dengan Buya Zamzami Yunus. (Antara/HO-Pribadi).

Padang (ANTARA) - Pada Senin (27/11) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Sumatra Barat mengukuhkan enam guru besar. Salah satunya Prof Nurus Sahlihin yang dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang sosiologi.

Orasi ilmiah dengan judul "Demistifikasi Surau: Jalan pulang bagi masa depan spiritualitas" tersebut terinspirasi dari perjalanan akademik sang profesor. Dalam pidato pengukuhan setebal 58 halaman, Prof Nurus Shalihin mengatakan surau adalah institusi pendidikan pertama, dan utama dalam pembentukan intelektualitasnya.

Sedari kecil hingga menamatkan pendidikan di MTI Canduang, ia telah bertungkus lumus dengan kehidupan surau. Sejak berusia tujuh tahun, ia belajar membaca Al Quran dengan ibunya yang biasa ia panggil Amak dan juga kakeknya dari pihak ibu.

Tidak hanya itu, ia juga belajar dengan ayahnya yang biasa dipanggil dengan sebutan Apak di Surau Batu Bajolang, termasuk dengan Buya Muhammad Zein di Surau Katimbuang. Tidak cukup hanya itu, ia juga belajar qiraat dengan Buya Labai Sutan di Surau Pulai dan dengan Ummi Hisyam di Surau Pandam.

Selain belajar membaca Al Quran, Nurus Shalihin juga menghabiskan waktu di surau untuk belajar ilmu Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tauhid dan Tasawuf dengan apaknya di Surau Batu Bajolang. Proses belajar ke surau terus dilanjutkannya meskipun sudah belajar di MTI Canduang. Saat duduk di bangku kelas lima hingga kelas tujuh di MTI Canduang, Nurus belajar Mantiq dan Balaghah di Surau Banto.

Ia berguru dengan Buya Zamzami Yunus yang turut hadir dalam pengukuhannya sebagai gurur besar. Masa kecil dan remaja dihabiskan Nurus di dunia surau, dengan semangat surau, dengan intelektulitas dan dialektika orang surau, dan dalam mata air spiritualitas yang tidak pernah mengering. Hal ini yang kemudian menginspirasinya untuk menyampaikan orasi ilmiah tentang surau dan spiritualitas.

Sebagai episentrum spiritualitas

dari proses belajar di surau, Nurus memahami adat anak bujang Minangkabau yaitu basurau, baradat, dan basilek. Surau baginya dalam konteks ini adalah pusek jalo pumpunan ikan, dimana ketiga konsep itu berpadu dalam mendialogkan dan menghadapi ketidakpastian hari depan.

Ia yakin bahwa surau dalam batas tertentu, adalah laboratorium spiritual dan rumah masa depan bagi generasi yang akan datang.

Surau sudah ada di Minangkabau sebelum islam masuk ke wilayah ini. Pada masa praislam, surau merujuk pada tempat berkumpul anak-anak dan remaja laki-laki yang sudah mencapai usia dewasa.

Mereka tidur di sana, dan belajar berbagai ilmu dan keterampilan. Setelah masuknya islam, fungsi surau berkembang sebagai tempat mempelajari ajaran agama seperti Al Quran, Fikih, Tauhid, dan Tasawuf.

Surau-surau di Minangkabau memiliki tiga fungsi dasar yaitu tempat melaksanakan praktik spiritual, belajar Al Quran, dan memahami syariat islam. Beberapa surau di wilayah darek juga berperan sebagai tempat memahami adat Minangkabau dan berlatih silat.

Milenial dan Spiritualitas

Yang menarik dari pidato ilmiah Nurus ialah upayanya mengaitkan antara surau, spiritualitas dan milenial. Dengan mengutip data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) (Pratomo, 2019) pada 2018 Nurus menyebutkan dari populasi Indonesia yang mencapai 264 juta jiwa, 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen terhubung ke internet, dan mayoritas dari merupakan kelompok milenial dan selalu berkelindan dengan dunia digital.

Dengan demikian, adalah individu yang piawai dalam urusan teknologi, selalu tampil modis, namun memiliki akar religius yang kuat.

Generasi milenial memiliki cara yang khas dalam menghayati nilai-nilai spiritual. Mereka melihat Tuhan sebagai yang menginspirasi, penuh cinta, dan menerima semua orang tanpa terkecuali.

Bagi milenial, kepercayaan kepada Tuhan adalah bagian yang dalam dan pribadi dalam pencarian mereka akan makna hidup. Agama menjadi hal penting dalam kehidupan para milenial, tak hanya sebagai bagian dari identitas di dunia luar, tetapi juga sebagai sumber makna dalam perjalanan pribadi. Fenomena "hijrah" adalah salah satu bukti bagaimana anak-anak milenial dengan tekun mencari makna untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bahagia.

Namun demikian, spiritualitas tidak berdiri sendiri; ia tiba di persimpangan dengan agama. Melalui agama, manusia dapat memberikan bentuk konseptual dan ekspresi pada praktik spiritual mereka.

Spiritualitas dan Ruh Kehidupan

Spiritualitas tidak berdiri sendiri; ia erat terkait dengan unsur-unsur psikologis, fisiologis, dan sosial. Secara keseluruhan, spiritualitas adalah cara individu menjalani kehidupan dengan makna dan koneksi yang mendalam dengan diri sendiri, orang lain, dan yang lebih tinggi.

Spiritualitas membawa manusia ke pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan, mengajarkan manusia untuk berdamai dengan ketidakpastian, mencari makna dan tujuan dalam eksistensi diri, menggali potensi dalam diri, dan merasakan keterlekatan dengan sesuatu yang lebih besar. Jika ingin melihat bagaimana spiritualitas berperan dalam pendidikan, sains, kesehatan, sosial, dan pekerjaan, ia dapat dilihat melalui urgensi dan dampak positifnya.

Spiritualitas memiliki potensi untuk mengubah dan merawat dunia demi kebaikan. Surau adalah tempat yang sahih dalam mengasah dan mempertajam spiritualitas. Berbagai tradisi sufisme islam seperti tarekat, dikembangkan di surau. Inilah yang membuat surau menjadi institusi penting dalam mengasah spiritualitas orang Minangkabau.

Menjawab apakah apakah surau masih ada? Nurus menyakini sepenuhnya bahwa surau masih berdiri kokoh di nagari-nagari (desa) di Minangkabau meskipun hanya di atas satu kaki yaitu kaki spiritualitas. Dua kakinya yang lain sudah berpindah menjadi madrasah (kaki ilmu pengetahuan) dan beralih haluan ke negara (kaki budaya). Dengan kaki spiritualitas inilah surau akan terus berdiri kokoh membangun peradaban imajinatif (smart knowledge), inspiratif (smart spirituality) dan berkearifan (smart culture).

Penulis adalah akademisi dari Universitas PGRI Sumatera Barat, Dr Firdaus.