Solok (ANTARA) - Seratus lima belas tahun lalu, tepatnya tanggal 17 Juli 1908, di Kampung Jembatan Berukir, daerah dingin tak bersalju Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat lahir seorang anak laki-laki yang oleh orang tuanya diberi nama Mohammad Natsir.
Anak laki-laki ini di kemudian hari dikenal sebagai negarawan terkemuka dan sang pemersatu bangsa yang tidak hanya diakui tingkat nasional namun juga internasional. Pada tanggal 10 November 2008, dalam peringatan seratus tahun kelahirannya, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasa yang diabdikannya kepada negara ini.
Natsir lahir dari pasangan Muhammad Idris Sutan Saripado dan Siti Khadijah yang berasal dari Bukittinggi. Rumah kelahiran Natsir terletak di sisi sebuah jembatan di atas sungai dekat pasar tradisional Alahan Panjang. Nama kampung Jembatan Berukir diambil dari bentuk jembatan yang pada awal dibangunnya terbuat dari kayu berukir. Namun saat ini jembatan itu berubah dan sudah lama diganti dengan jembatan yang dibangun dari beton dan besi.
Rumah ini sesungguhnya bukan milik dari orang tuanya, namun kepunyaan Kamal Sutan Rajo Ameh yang merupakan teman baik dari Idris Sutan Saripado. Dua sahabat ini sama-sama berdagang rempah-rempah seperti cengkeh dan pala yang dijual ke daerah-daerah lain di Sumatra Barat seperti Bukittinggi, Payakumbuh, dan Painan.
Alasan orang tua Natsir pindah ke Alahan Panjang pada saat itu karena tidak nyaman lagi tinggal di Bukittinggi. Penjajah Belanda seringkali melakukan penindasan dan kekerasan kepada penduduk di Bukittinggi. Kamal Sutan Rajo Ameh menyambut dengan suka cita kehadiran sahabatnya tersebut di Alahan Panjang, dan diajak untuk tinggal bersamanya karena rumah tempat tinggalnya memiliki banyak kamar yang dapat ditempati oleh Idris Sutan Saripado sekeluarga.
Natsir lahir setelah beberapa tahun orang tuanya tinggal di Alahan Panjang. Natsir kecil pun tumbuh dan berkembang di daerah sejuk dan subur ini. Namun saat usia Natsir enam tahun, Alahan Panjang dinyatakan sebagai daerah genting dan darurat karena penjajah Belanda akan melakukan serangan bom ke daerah ini. Pemerintah setempat meminta seluruh penduduk segera mengosongkan rumah-rumah untuk menyelamatkan diri ke atas bukit.
Sejak peristiwa ini, dua sahabat tersebut beserta keluarganya berpisah. Idris Sutan Saripado kembali ke kampung halamannya di Maninjau, Bukittinggi, dan Kamal Sutan Rajo Ameh mengungsi ke daerah pegunungan Sungai Abu, Hiliran Gumanti, Solok. Natsir sendiri kemudian memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun. Lalu pindah sekolah ke Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Padang.
Kemudian pindah lagi ke HIS Solok. Pada tahun 1923 Natsir melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelah lulus dari MULO Natsir merantau ke Bandung dan melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middlebare School (AMS).
Natsir mulai aktif berpolitik pada tahun 1938 dengan bergabung dalam Partai Islam Indonesia (PII) dan pada tahun 1940-1942 ia menjadi Ketua PII Bandung. Pada tahun 1942 Natsir aktif di majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang berganti nama menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Di kemudian hari organisasi ini menjelma menjadi partai politik terbesar di Indonesia dan Natsir memimpin sebagai Ketua Umum partai ini. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ia menjadi Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, menjuluki Natsir sebagai hij is de man (dialah orangnya). Ketua Fraksi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) ini pada tanggal 3 April 1951 menyampaikan pendapatnya pada forum sidang parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) Republik Indonesia Serikat (RIS) yaitu agar Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan.
Pidato Natsir ini sangat beralasan karena pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada 3 Agustus hingga 2 November 1949, kedaulatan negara Indonesia semakin tidak menentu. KMB memutuskan bahwa bentuk negara Indonesia adalah bukan negara kesatuan, melainkan negara federal.
Negara Republik Indonesia berpusat di Yogyakarta dengan lima belas negara lain, kecuali Irian Barat, berada dalam satu negara yang bernama Republik Indonesia Serikat. Rakyat Indonesia cukup memahami bahwa kecuali negara Republik Indonesia, semua negara bagian RIS adalah ciptaan Belanda. Negara Republik Indonesia saat itu meliputi pulau Sumatera, selain Sumatera Timur dan Sumatera Selatan, serta wilayah Yogyakarta.
Kondisi kenegaraan seperti ini tidak hanya ditentang oleh para elit partai politik saja, namun juga dilawan oleh seluruh rakyat Indonesia yang menganggap ini adalah cara Belanda untuk suatu saat menguasai Indonesia kembali. Terbukti setelah perundingan KMB, jalannya pemerintah RIS sangat tidak menentu dan sering muncul peristiwa politik yang seharusnya tidak terjadi.
Di beberapa tempat di wilayah RIS terjadi unjuk rasa besar-besaran menuntut pembubaran RIS. Beberapa negara bagian menghadapi pemberontakan dan perebutan kekuasaan, antara lain pemberontakan Andi Aziz di Makassar, Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan peristiwa percobaan perebutan kekuasaan oleh Westerling di Bandung dan Jakarta. DPR Negara Sumatera Selatan membubarkan negaranya pada 10 Februari 1950 dengan keputusan agar pemerintah negara bagian menyerahkan kekuasaan kepada RIS.
Negara Pasundan membubarkan diri dan memutuskan bergabung dengan negara Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta. Gerakan ini disusul oleh negara-negara Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. Gerakan ini begitu cepat terjadi, hingga sampai akhir Maret 1950 RIS hanya menyisakan empat negara bagian yaitu Republik Indonesia, Sumatera Timur, Kalimantan Barat dan Indonesia Timur.
Dalam situasi yang tidak menentu ini lahirlah gagasan gemilang dari Natsir, Ketua Fraksi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di DPRS RIS. Natsir menyatakan bahwa penyelesaian dari gejolak yang terjadi di beberapa negara bagian adalah dengan membentuk negara kesatuan dan bukan negara federasi. Seluruh negara bagian diikutsertakan dalam penyelesaian gejolak-gejolak ini. Tidak ada negara bagian yang lebih tinggi dari negara bagian yang lain. Semua sama kedudukannya sama dalam sebuah negara kesatuan. Negara Republik Indonesia Yogyakarta juga harus dilikuidasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Memang tidak mudah bagi Natsir untuk mewujudkan gagasan tersebut. Ketika itu dia harus meyakinkan perwakilan dari negara bagian dan parlemen di DPRS RIS. Tokoh-tokoh dari berbagai kalangan harus dia lobby agar dapat menyetujui gagasannya, antara lain Sirajuddin Abbas dari Persatuan Tarbiyah Indonesia, Amelz dari Partai Syarikat Indonesia, I.J. Kasimo dari Partai Katholik, A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia, dan Sukirman dari Partai Komunis Indonesia.
Pidato Natsir ini kemudian dikenal luas dengan sebutan Mosi Integral Natsir. Parlemen menerima mosi ini dan meminta pemerintah segera melakukan langkah-langkah untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Forum-forum kenegaraan yang dihadiri oleh para perwakilan negara-negara bagian dan Republik Indonesia pada tanggal 19 Mei 1950 menghasilkan piagam persetujuan yang menyepakati pembentukan sebuah negara kesatuan dalam waktu yang segera.
Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi negara ini kembali diproklamirkan menjadi NKRI. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia. Ir Soekarno membubarkan RIS dan memproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kelanjutan dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Mosi Integral telah mengembalikan Indonesia kedalam bentuk Negara Kesatuan dan terhindar dari ancaman perpecahan. Dengan cara yang demokratis, konstitusional, dan terhormat. Usaha ini adalah buah upaya sosok ulama dan negarawan yaitu Mohammad Natsir.
Selaku pemimpin Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress), Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, dan anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A`la al-`Alami li al-Masajid), Natsir selalu mendambakan dan menyuarakan persatuan dan perdamaian antar bangsa-bangsa didunia.
Natsir bukan hanya sebagai pemersatu namun juga dikenal sebagai pendamai. Ketika terjadi konfrontasi antara pemerintah Indonesia dan Malaysia di kurun waktu 1963-1966, Natsir mengirim surat kepada Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul Rahman, untuk dapat menerima delegasi dari Indonesia yang sebelumnya tidak diterima oleh Perdana Menteri pertama Malaysia tersebut. Akhirnya hubungan kedua negara bertetangga ini berangsur membaik. (Penulis adalah Kepala Badan Pengelola Bisnis, Investasi, dan Wakaf IPB University).***