Solok (ANTARA) - Budaya Marantau dan aktivitas perdagangan bahan makanan (food trade) yang dilakoni orang Minang sejak dulu kala telah ikut memberi pengaruh atas penyebarluasan budaya dan kuliner khas Sumatera Barat khususnya Randang.
Randang bagi masyarakat Minang bukan sekadar masakan saja (cuisine), tetapi menjadi bagian dari kebudayaan (culture), warisan turun temurun (heritage), dan kearifan lokal Minangkabau dan ini semakin mempertegas identitasnya sebagai orang Minang itu sendiri.
Makanan juga dapat meningkatkan identitas destinasi (food-related tourism) pasca Gastronomi Perancis tahun 1825, “tell me what you eat and I tell you who you are” (Brillat-Savarin, 1970).
Menurut ilmu gastronomi Randang merupakan manifestasi dari filosofi etnis Minang, berkaitan dengan aspek-aspek kesabaran, kebijaksanaan, dan ketekunan. Hal ini digambarkan dari proses memasak Randang yang lama tersebut membutuhkan kesabaran, ketekunan dalam mengaduk Randang hingga santan mengering, dan kebijaksanaan dalam mengatur api pada saat proses memasak Randang berlangsung.
Selain itu, juga ada filosofi dari setiap bahan yang digunakan dalam pembuatan Randang, seperti daging kerbau yang melambangkan prosperity (kesejahteraan), rempah-rempah melambangkan nilai-nilai enhancement (peningkatan), santan kelapa melambangkan integrity (persatuan), dan cabai merah melambangkan good lesson (pelajaran baik).
Di dalam Randang Daging, terdapat tiga unsur penting yang berkaitan dengan adat-istiadat etnis Minang yaitu daging kerbau, kelapa dan cabai. Kerbau dilambangkan sebagai niniak mamak yaitu pemimpin atau penghulu suku adat.
Kelapa melambangkan cadiak pandai yaitu orang-orang minang yang memiliki intelektual. Kemudian cabai yang melambangkan alim ulama Minang yang tegas mengajarkan syari’at islam. Pola kepemimpinan dalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau sangatlah unik, kepemimpinannya dikenal dengan istilah “Tigo Tungku Sajarangan”, yang terdiri dari “niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai.”
Citra Randang menjadi populer di internasional berkat program dari Cable News Network (CNN) Travel, bertajuk "World’s 50 Most Delicious Foods" tahun 2011 dan 2017, dirangking kembali tahun 2018 menjadi, "World’s 50 Best Foods". Hal ini menjadi momentum bagi Pemerintah Kota Payakumbuh dalam membangun city branding selain faktor pendorong untuk menjadikan randang sebagai merek dan identitas kota.
Berangkat dari fenomena city branding Pemerintah Kota Payakumbuh yang menjadikan Randang sebagai merek atau identitas kota, dimana cukup menjadi polemik baik itu ditataran pemerintah maupun masyarakat Minangkabau. Kenapa tidak, hal tersebut dikarenakan Kota Payakumbuh melabelkan (memberi merek) sebagai Kota Randang. Randang merupakan makanan khas dari Sumatera Barat milik masyarakat Minang yang sudah popular mendunia.
Branding City of Randang ini merupakan aksi nyata Pemerintah Kota Payakumbuh dalam melestarikan Randang sebagai warisan budaya Minangkabau bahwa lokasi Randang terlezat di dunia itu ada di Sumatara Barat, lebih spesifiknya adalah Kota Payakumbuh.
Kajian City Branding ini menjadi menarik untuk diidentifikasi dan dieksplorasi oleh Peneliti, Yesi Puspita,M.Si seorang akademi dari Fisip Unand dalam Disertasinya dengan judul Sustainable City Branding (Studi Kasus Branding Payakumbuh sebagai “City of Randang” dalam Mengembangkan Ekonomi Daerah melalui Industri Randang dan Wisata Kuliner).
Pada prinsipnya, kegiatan promosi suatu tempat (daerah), bagaimanapun bentuk dan strategi promosinya akan lebih sulit menembus pasar jika tidak memiliki branding yang jelas, Sebuah branding tentu tidak diciptakan tanpa ada potensi khusus (unique-pricable) dari sebuah tempat. Sehingga untuk bisa menunjukkan potensi khusus tersebut ke publik maka perlu city branding dengan strategi dan promosi yang tepat.
Randang sangat potensial sebagai merek kota yang sustainable, maka diperlukan aktivitas Government Public Relations (GPR) dari Pemerintah Kota Payakumbuh dalam membangun city branding Payakumbuh “City of Randang” harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.
Pemerintah Kota Payakumbuh harus memiliki strategi jangka panjang untuk menanamkan core identity Kota Payakumbuh yang berbasis gastronomi kuliner Randang
Aktivitas GPR Pemerintah Kota Payakumbuh adalah salah satu kunci membangun kesadaran publik (brand awareness) atas city branding marketing “Kota Randang”. Publik yang dimaksud adalah integrasi dan kolaborasi dari entitas hexahelix stakeholders (demand-supply sides) seperti bisnis-industri, visitor, komunitas, media, akademisi dan Pemerintah Kota Payakumbuh itu sendiri.
City branding Payakumbuh “City of Randang” adalah identitas kota berbasiskan kuliner Randang menjadi potensial dikembangkan sebagai local competitiveness untuk kemajuan daerah. Namun, tentu saja diperlukan marketing strategy yang berkesinambungan dan berkelanjutan untuk membangun local branding yang meng-global, melalui inovasi baik varian (fusion cuisine), standarisasi (quality), dan desain (packaging).
Pada negara emerging market, pasar menjadi lebih kompetitif, free entry-free exit, dan semua elemen dapat melakukan strategi pasar yang hampir mirip (homogen) sehingga segmen dan target akan “diperebutkan” dengan bonus demografi sebagai keunggulan. Satu-satunya cara yang efektif adalah membangun local competitive advantage yang unik (distinguishing) dan mampu menciptakan value-added namun harus tetap konsiten pada prinsip specific, measurable, achievable, rational, time-based dalam perekonomian daerah.