Pemerintah Nilai Ron-90 Tidak Efektif

id Pemerintah Nilai Ron-90 Tidak Efektif

Jakarta, (Antara) - Pemerintah cenderung memilih opsi pengendalian dengan pembatasan setelah opsi pembuatan varian baru bahan bakar minyak dengan "research octane number" 90 sebagai upaya pengurangan subsidi BBM dinilai tidak efektif. "Membuat RON dan sebagainya tidak begitu efektif dari analisis kami, malah nanti yang sudah menggunakan Pertamax memakai itu sehingga makin membengkak subsidi kita," kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa di Kompleks Istana, Jakarta, Kamis. Hatta berada di Istana untuk menghadiri rapat tertutup membahas mengenai pengurangan subsidi BBM dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono sebelum Presiden Yudhoyono meninggalkan kompleks Istana Negara menuju Istana Cipanas, Jawa Barat. Sebelumnya ada rekomendasi untuk variasi baru RON 90 dengan harga sekitar Rp7.000. RON 90 merupakan varian baru BBM yang juga masuk dalam kategori bersubsidi. RON 90 merupakan perpaduan antara RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax). Dengan pencoretan opsi pembuatan varian baru itu, menurut Hatta opsi yang diambil pemerintah berkisar pada upaya mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi dengan pembatasan termasuk juga opsi pengaturan terhadap mobil pelat hitam. "Intinya adalah mengacu kepada UU yang mengatakan bahwa subsidi hanya diberikan kepada masyarakat yang tak mampu, kita bergerak dari situ," katanya. Ia menyebutkan opsi penggunaan teknologi sebagai salah satu cara pengendalian. Menurut Hatta, setiap opsi yang diambil akan memperhatikan dampaknya terhadap rakyat miskin. Sementara itu terkait dengan kompensasi, Hatta mengatakan akan diperuntukkan bagi penanggulangan kemiskinan dan infrastruktur. Saat ditanya kapan pemerintah akan mengeluarkan keputusan tersebut Hatta mengatakan, "opsi-opsi itu kami dalami sampai dengan nanti diputuskan". Sebelumnya, Presiden Yudhoyono menyatakan pemerintah masih mematangkan kebijakan yang akan diambil dalam upaya mengurangi beban subsidi BBM. Menurut Presiden, bila harga BBM bersubsidi dinaikkan, akan berdampak pada inflasi yang melambung dan angka kemiskinan yang meningkat. Presiden mengatakan bahwa pada saat harga BBM bersubsidi dinaikkan sebanyak dua kali pada 2005 dan satu kali pada 2008, harga barang dan jasa melambung tinggi. Namun ketika harga BBM kembali diturunkan pada 2008, harga barang dan jasa tidak mengikuti penurunan harga BBM. "Jadi elastisitas harga barang dan jasa terhadap harga BBM itu rendah sekali," katanya. Menurut Presiden, bila kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi diputuskan, harus diikuti dengan pemberian kompensasi terhadap rakyat miskin. "Bagi saya memberi kompensasi kepada rakyat miskin manakala harga BBM naik itu harga mati," katanya. (*/sun)