Jakarta, (Antara) - Peneliti Fitofarmaka pada Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Andria Agusta mengembangkan obat antikanker dari senyawa kimia bioaktif yang berasal dari mikroba endofit yang berasal dari jaringan tumbuhan gambir.
"Mikroba atau jamur endofit yang berdiam dalam jaringan tumbuhan gambir ternyata menghasilkan senyawa kimia bioaktif Episitoskirin A yang kuat untuk antikanker," kata Adria di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, senyawa bioaktif Episitoskirim A yang berasal dari jamur endofit yang diambil dari tumbuhan gambir yang hidup di Padang, Sumatera Barat, ini ternyata juga efektif untuk mengatasi infeksi. Terbukti dengan sembuhnya borok pada mencit atau hewan coba yang telah diberi senyawa bioaktif tersebut.
Andria mengatakan klasifikasi dari efek racun dari penggunaan senyawa ini juga rendah untuk pemakaian internal, sehingga tidak berpengaruh terhadap fungsi kerja hati dan ginjal. Senyawa ini juga menjadi interkalator DNA, di mana semakin tinggi konsentrasi DNA maka sinyal Episitoskirin A akan semakin menurun.
"Targetnya ini bisa jadi obat. Saat ini masuk tahap uji praklinis dengan menggunakan mencit," ujar dia.
Pengembangan obat antikanker dari jamur endofit ini sudah dimulai sejak 2007 diawali dengan tes mikroba. Dan sejak dua tahun lalu, menurut Andria, mulai masuk ke tahap uji praklinis dengan menggunakan hewan coba mencit.
Ia memperkirakan masih butuh waktu satu hingga dua tahun lagi untuk menyelesaikan tahap uji praklinis dan masuk ke tahap uji klinis. Sedangkan pada tahap uji klinis ada empat fase yang harus dilewati sebelum akhirnya dapat menjadi obat antikanker.
"Empat tahap di fase uji klinis harus dokter yang melakukan. Solusinya kita (peneliti LIPI) kerja sama dengan dokter di rumah sakit tertentu, bisa jadi konterpart, atau dengan Kementerian Kesehatan," ujar dia.
Ia menyebut dana yang dibutuhkan untuk menyelesaikan fase satu dan dua dalam tahap uji klinis dapat menghabiskan biaya hingga Rp200 per tahun dengan jumlah pasien yang menjadi sukarelawan mencapai ratusan. "Kalau sampai fase empat biasanya pasiennya bisa sampai ribuan."
Menurut Andria, di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, atau negara-negara lainnya di Eropa proses pembuatan satu obat dapat menghabiskan waktu delapan hingga sembilan tahun sebelum akhirnya dapat dipasarkan secara massal. Tapi di Indonesia waktu tersebut dapat berlipat-lipat.
"Di Indonesia bisa dua, tiga, hingga empat kali lipat waktunya dibanding negara-negara maju. Ini karena dukungan dari pemerintah juga kurang," ujar dia. (*)
Berita Terkait
Dinkes Solok serahkan bantuan untuk korban banjir di Tanah Datar
Minggu, 19 Mei 2024 17:02 Wib
DLH Kota Solok siapkan dua lokasi ikuti program kampung iklim
Minggu, 19 Mei 2024 17:01 Wib
Dikunjungi Bupati Pasaman Sabar AS, masyarakat harap perbaikan Batang Sumpur
Minggu, 19 Mei 2024 17:00 Wib
Pemkot Bukittinggi lepas resmi 317 jemaah calon haji
Minggu, 19 Mei 2024 16:58 Wib
Malapeh Ikan Larangan, Bupati Sabar AS minta kearifan lokal dilestarikan
Minggu, 19 Mei 2024 16:55 Wib
Kajari Sobeng Suradal Raih Penghargaan Bergengsi 'The International Awards 2024'
Minggu, 19 Mei 2024 16:54 Wib
Polres Agam tangkap warga Padang Pariaman usai mencuri telpon genggam
Minggu, 19 Mei 2024 14:43 Wib
Wilmar salurkan bantuan bagi masyarakat terdampak banjir di Sumbar
Minggu, 19 Mei 2024 14:08 Wib