Darul Siska: mewujudkan generasi emas Indonesia 2045, mesti rencanakan program terpadu

id Darul Siska, cegah stunting, DPR RI

Darul Siska: mewujudkan generasi emas Indonesia 2045, mesti rencanakan program terpadu

Anggota Komisi IX DPR RI Dapil Sumbar I Drs.H Darul Siska (kanan) didampingi wartawan senior Sumbar Hasril Chaniago memberi paparan pada ekspose laporan kinerja akhir tahun 2022, di depan para awak media di Padang, Minggu. (ANTARA/Siri Antoni)

Padang (ANTARA) -

Anggota Komisi IX DPR RI H.Darul Siska berpadangan untuk mewujudkan generasi emas Indonesia pada 2045, mesti merencanakan program terpadu yang diintegrasikan dengan upaya peningkatan modal manusia (human capital).

"Tahun 2045 momentum 100 tahun Indonesia merdeka dan Pemerintah mengantisipasinya dengan mencanangkan terwujudnya Generasi Emas Indonesia. Ditahun itu Indonesia diproyeksi akan masuk dalam jajaran empat besar ekonomi dunia di bawah China, India, dan Amerika Serikat," kata legislator Fraksi Partai Golkar Darul Siska pada paparan ekspose laporan kinerja 2022 sebagai wakil rakyat Dapil I Sumbar, di Padang, Minggu.

Ia menyampaikan, total populasi penduduk Indoensia diperkirakan mencapai 318,9 juta orang, dan di saat yang sama, Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi di mana usia produktif (15-64 tahun) akan menjangkau 70 persen populasi penduduk.

Menurut Darul Siska, generasi emas adalah orang yang sehat fisiknya, cerdas otaknya, dan mulia akhlaknya. Jadi, generasi emas merupakan kumpulan manusia produktif, inovatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, berkarakter unggul dan berkepribadian kuat.

"Anak-anak kecil saat ini adalah calon bibit unggul generasi emas harapan kita. Di tangan mereka yang masih bayi dan anak-anak hari ini, masa depan dan nasib bangsa kita ini dipertaruhkan," ucapnya.

Menurut anggota Komisi IX itu, bahwa untuk mewujudkan generasi emas, bangsa ini menghadapi banyak tantangan. Terkait bangsa ini masih bergelut dengan berbagai persoalan terutama rendahnya kualitas sumber daya manusia. Kelemahan SDM dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan non fisik.

Berdasarkan laporan United Nations Development Programme (UNDP), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia secara global berada pada rangking 114 dari 191 negara.

Sejalan dengan itu, berdasarkan laporan World Population Review yang telah menguji rata-rata tingkat kecerdasan atau Intelegensia Quotient (IQ) penduduk negara-negara di dunia, Indonesia memiliki skor 78,49. Nilai ini juga didapat Papua Nugini dan Timor Leste.

Indonesia juga menghadapi persoalan stunting yang saat ini mendera anak balita (bayi < 5 tahun) dan anak baduta (bayi < 2 tahun). Angka prevalensi stunting di Indonesia tahun 2021 mencapai 24,4 persen. Pemerintahan telah bertekad menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024.

Disisi lain generasi produktif saat sekarang ini juga menghadapi persoalan yang tidak ringan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia yang mencapai 8,42 juta orang, disamping tenaga setengah menganggur yang jumlahnya jauh lebih besar dari angka tersebut.

Sebagai Anggota DPR RI di Komisi IX yang membidangi kesehatan, kependudukan, dan ketenagakerjaan, Darul Siska memilih stunting dan Ketenagakerjaan sebagai fokus perhatiannya.

Ia terus berusaha mengambil peran dan berkontribusi dalam penurunan dan pencegahan stunting serta ikut mengatasi masalah bidang ketenagakerjaan sebagai wujud pengabdian, sekaligus menjalankan amanah masyarakat Sumatera Barat yang diberikan kepadanya.

Anggota Komisi IX DPR RI Drs. H Darul Siska sedang mengunjungi anak stunting sebagai bentuk intervensi langsung dengan memberikan bantuan peningkatan gizi selama 6 bulan, di Lintau Buo Utara, Tanah Datar.(Doc.) (ANTARA/HO)


Atasi Stunting

Apa itu stunting? Stunting adalah gangguan tumbuh kembang pada anak akibat multi faktor terutama akibat gizi buruk, infeksi berulang, pola asuh yang salah, kondisi lingkungan tidak sehat, dan kondisi sosial ekonomi keluarga.

Penyebabnya yang paling mendominasi adalah gizi buruk. Gizi buruk diakibatkan kurangnya nutrisi secara berkepanjangan. Anak yang mengalami gizi buruk di bawah usia satu tahun, 25 persen-nya berisiko memiliki tingkat IQ di bawah 70. Sedangkan 40 persen lainnya berisiko memiliki IQ antara 71-90. Stunting menjadi permasalahan utama anak balita dan baduta di Indonesia.

Stunting tidak saja terjadi pada anak-anak yang berasal dari kelompok masyarakat miskin, namun kasusnya juga terjadi pada anak-anak yang berasal dari berbagai tingkat kesejahteraan sosial. "Anak yang pendek belum tentu stunting, namun anak stunting sudah pasti pendek. Seringkali ada anggapan bahwa anak yang tidak tumbuh optimal (pendek) adalah akibat faktor genetika atau keturunan, padahal bisa saja karena stunting," ujarnya.

Menurut Darul Siska, masalah dan tantangan dalam penangan stunting ini diantaranya adalah minimnya pengetahuan masyarakat terkait stunting, sehingga menimbulkan kesalahan pemahaman dalam penanganan dan pencegahan stunting.

Sebagian masyarakat menganggap tidak penting asupan gizi seimbang dan bernutrisi cukup bagi anak, ibu hamil atau ibu menyusui. Dari perspektif sosial, anak yang terpapar stunting dianggap aib sehingga tidak diperiksakan di fasilitas kesehatan. Akibatnya, kata dia, anak stunting tidak mendapat penanganan yang tepat. Padahal, stunting dapat dicegah dan disembuhkan.

"Stunting masih bisa dicegah dan ditangani selama anak dalam masa 1.000 Hari Pertama Kehidupan, yaitu 40 minggu di masa kehamilan; pada anak usia satu tahun dan usia dua tahun,"ujarnya.

Angka prevalensi stunting di Sumatera Barat mencapai 23,30 persen, di bawah rata-rata nasional, sehingga kondisi ini menggambarkan tingginya jumlah generasi baru yang berpotensi menjadi beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara.

Oleh karena itu, kata dia, penanganan dan pencegahan stunting di Sumatera Barat menjadi permasalahan yang memerlukan perhatian bersama secara serius. Mengatasi stunting membutuhkan aksi terintegrasi dari seluruh pemangku kepentingan terkait dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Berbagai bentuk kegiatan sosialisasi dan edukasi yang bersifat partisipatif diharapkan dapat meningkatkan pemahaman publik akan bahaya stunting. *
H. Darul Siska melakukan intervensi langsung salah seorang balita penderita stunting dengan pemberian bantuan perbaikan gizi, sekaligus menjadi orang tua asuh anak stunting.(Doc.) (ANTARA/HO)