Tinggal di rumah tak layak huni, Tukang ojek perempuan ini berjuang demi tiga anaknya

id Ojek online, ojek perempuan, perempuan tangguh

Tinggal di rumah tak layak huni, Tukang ojek perempuan ini berjuang demi tiga anaknya

Tukang ojek perempuan Wati di dalam rumahnya yang tidak layak huni. (ANTARA SUMBAR/Tri Asmaini)

Arosuka (ANTARA) - Seorang tukang ojek perempuan, Surati (39) tinggal menempati rumah tidak layak huni di Jorong Kajai, Nagari Koto Baru, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok bersama ketiga anaknya.

Sebuah rumah kayu yang luasnya kurang dari 10 meter persegi ditinggali Wati dan ketiga anaknya. Dinding kayu yang mulai keropos dari luar dan lapuk dari dalam, serta lantai separuh tanah menjadi tempat mereka beraktivitas.

Kamar mandi kecil tak beratap dengan pintu spanduk yang berlapis-lapis menjadi pelengkap rumah Wati dengan dapur kecil berlantaikan tanah. Ruang tengah yang lantainya separuh tanah dilampisi dengan tikar plastik berkali-kali.

"Saya janda dengan tiga anak, Satunya sudah tamat MAN, yang kedua pesantren (mengalami penyakit kelenjar getah bening dari kelas tiga SMP), dan yang anak ketiga baru SD," kata Surati (39) yang biasa dipanggil Wati di Koto Baru, Minggu.

Wati mengaku melakukan profesi sebagai tukang ojek sejak suaminya meninggal pada 2009.

"Selama 10 tahun ini, saya ngojek dari pukul 8.00 -12.00, kemudian istirahat siang dan lanjut pukul 14.00-hingga pukul 16.00 WIB," katanya.

Saat mengojek dia terkadang harus rela dibayar dengan beras, cabai 1/4 kg atau ikan asin senilai Rp5000.

"Kalau ada yang meminta tolong antarkan, ya saya antar walau nanti tidak selalu dibayar dengan uang, kalau dibayar dengan cabai atau minyak sayur kan bisa dipakai untuk memasak," ujarnya.

Wati menyebutkan terkadang masyarakat yang memakai jasanya ada juga yang tidak membayar, kadang karena lupa atau tidak punya uang.

Selain menjadi tukang ojek, Wati juga membuat peyek pada malam hari untuk menambah penghasilannya. Ia membuat peyek dari pukul 12.00 malam hingga subuh.

Menurutnya, terkadang penghasilannya dari mengojek dan membuat peyek hanya Rp 20 ribu hingga Rp50 ribu perhari. Dan dia harus menghidupi tiga anaknya tanpa bantuan orang lain ataupun keluarganya.

Hingga saat ini, anaknya yang kedua telah berkali-kali operasi kelenjar getah bening. Wati juga tidak mendapatkan bantuan apapun dari nagarinya seperti Program Keluarga Harapan (PKH), BPNT atau Kartu Indonesia Sehat.

Ia berharap pemerintah setempat lebih peka terhadap masyarakat sepertinya sehingga mendapatkan bantuan dan kemudahan untuk berobat anaknya.

Apalagi kondisi Wati cukup memprihatinkan dengan luka bakar hampir di separuh tubuhnya, di leher dan tangannya yang membuatnya agak kesulitan beraktivitas karena sebelumnya terjadi kebakaran di rumah mertuanya pada 2006 di Cupak.

Ia bekerja sendirian dengan kondisi rumah yang memprihatinkan untuk menghidupi ketiga anaknya. Sedangkan keluarganya yang lain juga kesulitan ekonomi.(*)