Ratusan Warga Duduki Lahan PTPN VI Pasaman Barat

id Pasaman Barat, PTPN VI, Sengketa, Lahan

Simpang Ampek, (Antara) - Ratusan warga yang tergabung pada Serikat Petani Indonesia (SPI) Batang Lambau Kenagarian Kinali, Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat (Sumbar), duduki lahan HGU perusahaan kelapa sawit PTP Nusantara VI Unit Usaha Ophir yang masih dalam sengketa, Rabu.

Ketua SPI Cabang Pasaman Barat, Januardi mengatakan SPI Wilayah Sumbar dan anggota Aliansi Masyarakat Bersatu (AMB) Pasaman Barat juga ikut di dalam aksi tersebut.

Massa menuntut lahan seluas 1.300 hektare yang masih dalam sengketa. Lahan tersebut direncanakan akan diambil alih dan ditanami kelapa, pisang dan tanaman lainnya.

Petani memasang kembali patok pengukuran batas lahan tuntutan yang telah diukur oleh BPN Pasaman Barat. Selain itu massa juga menziarahi dan memperbaiki pandam pekuburan yang telah dirusak perusahaan yang bergerak pada bidang perkebunan sawit ini.

Selain itu, massa memasang simbol-simbol dan tanda organisasi perjuangan selama ini. Kemudian melestarikan bukti sejarah kaum adat Imbang Langik yang diduga dirusak oleh PTP N VI.

Di lokasi massa juga memasang bendera, umbul-umbul SPI, spanduk bergambar Presiden RI Joko Widodo saat ikut mendeklerasikan pembaharuan agraria dan tanaman pangan.

"Kita memperjuangkan hak-hak petani yang dinilai telah dirampas oleh PTPN VI di lahan masyarakat Batang Lambau Kinali," katanya.

Sementara itu, Koordinator atau Ketua SPI Batang Lambau, St Syahrel menegaskan, pihaknya melakukan aksi di tanah perjuangan yang saat ini dikuasai secara sepihak oleh PTPN VIyang akan habis masa HGUnya pada 31 Desember 2017. Aksi ini juga bentuk penolakan dalam perpanjangan HGU perusahaan.

Masa yang tergabung dalam organisasi ini juga dilibatkan petani penggarap, anak cucu kemenakan Imbang Langik yang rencananya akan menanam kembali tanah mereka.

"Salah satu penyelesian konflik agraria itu harus melalui pembaharuan agraria berdasarkan UU Pokok Agraria No 5 tahun 1960. Hak kami dirampas dengan sepihak," katanya.

Ia menjelaskan kronologis perampasan tanah, sawah, dan perkampungan masyarakat adat Batang Lambau Kinali oleh PTP N VI Sarik melalui Kodam III/17 Agustus Padang.

Di antaranya, pada tahun 1980 an petani sudah menggarap dan menguasai lahan untuk bersawah dan berladang.

Bahkan, lahan itu dikuasai secara turun temurun untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Tapi di tahun 1982 PTP N VI masuk ke lahan untuk membuat perkebunan sawit.

Sedangkan lahan petani dirampas secara paksa. Masyarakat sempat melawan, namun karena saat itu memakai jasa TNI AD petanipun tidak berkutik.

Selanjutnya, pada 6 Agustus 1985 masuk surat risalah pemeriksaan tanah oleh panitia B untuk proses pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit PTP N VI kepada Direktorat Agraria Padang. Kemudian, surat dari Direktorat Agraria Padang masuk ke PTP N VI.

Isi surat tersebut tanah yang dimohonkan oleh PTPN VI seluas 4.800 hektare hanya dapat diproses sebanyak 3.870 hektare.

Sebab, dalam areal kebun yang dimohon terdapat sawah atau tanah garapan rakyat, bahkan ada kuburan. Artinya harus dikeluarkan dari areal perkebunan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Seiring dengan itu, warga menuntut hak-haknya tapi sampai sekarang belum kunjung dikuasai masyarakat, khususnya dari Batang Lambau, Kinali.

Sebelumnya, pada 8 Mei 2001 ada surat dari Direktur Utama PTP N VI kepada tokoh masyarakat Kinali, bahwa pemberian uang bunga siriah jariah kepada ninik mamak tidak dapat dipenuhi.

Pasalnya, pihak PTPN VI berhubungan langsung dengan Kodam 17 Agustus dengan bukti pembayaran Rp384 juta.

Kemudian masyarakat terus berjuang hingga bergabung dengan SPI. Tapi belum ada titik terang penyelesaiannya antara perusahaan dengan masyarakat setempat.

Pihak SPI sudah pergi melapor ke Komnas HAM, Mabes Polri, BPN daerah dan pusat, Kementerian BUMN, Pemda, Pemprov, DPRD dan lainnya. Namun belum ada hasil yang memuaskan.

Pihaknya akan mengadu ke Istana Negara Jakarta untuk bertemu dengan Presiden RI, sesuai dengan janji Joko Widodo untuk mewujudkan pembaharuan agraria dan ketahanan pangan di Jakarta, pada 4 September 2014 lalu.

Januardi menambahkan, hasil pengukuran lahan terakhir oleh BPN Pasaman Barat, ada ditemukan lahan dalam HGU PTPN VI sekitar 1.500 hektare masuk lahan masyarakat atau anah negara.

"Kami akan tetap berjuang hingga tanah kami dikembalikan. Walaupun darah dan air mata taruhannya. Karena tuntutan kami itu sudah harga mati," tegasnya. (*)