"Cover Both Side" Mengemas Profesi nan Profesional

id Cover Both Side Mengemas Profesi nan Profesional

"Cover Both Side" Mengemas  Profesi nan Profesional

Menda Pamuntjak Alam

Menyoal profesionalisme, imbuhan isme di belakang kata profesional itu bermakna paham yang bernilai tinggi keahlian atau keterampilan khusus atau kemampuan pribadi pada umumnya, sebagai alat untuk mewujudkan apa yang hendak digapainya. Keyword atau kata kunci dari manusia yang dikategorikan para profesional ini adalah kemandirian dan bukan aji mumpung. Analoginya, ka hilie urang kahilie pulo awak, urang sampai ka hilie tapi awak tasialie atau ondong aie ondong dadak. Orang-orang yang sampai ke hilir itu berlandaskan profesional dan bukan kalangan kelompok profesiona(r)isme yang doyan bikin onar-isme notabene melacurkan profesi. Seseorang dapat menyandang gelar non akademis dengan sebutan profesional ketika ia memenuhi enam ciri (Sobur,2001:83-84) di antaranya : a. Memiliki keahlian tertentu yang diperoleh melalui penempaan pengalaman, pelatihan atau pendidikan khusus di bidangnya. b. Mendapat gaji, honorarium atau imbalan materi yang layak sesuai dengan keahlian, tingkat pendidikan, atau pengalaman yang dimilikinya, c. Seluruh sikap, perilaku dan aktivitas pekerjaannya dipagari dengan dan dipengaruhi oleh keterikatan dirinya secara moral dan etika terhadap kode etik profesi, d. Secara sukarela bersedia untuk bergabung dalam salah satu organisasi profesi yang sesuai dengan keahliannya, e. Memiliki kecintaan dan dedikasi luar biasa terhadap bidang pekerjaan profesi yang dipilih dan ditekuninya. Tidak semua orang mampu melaksanakan pekerjaan profesi tersebut karena untuk bisa menyelaminya mensyaratkan penguasaan keterampilan atau keahlian tertentu. Contoh bidang pekerjaan yang masuk dalam jalur profesi antara lain dokter, wartawan, pengacara. mubalig, akuntan, konsultan. Sedangkan Idealisme adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara. Menegakkan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, memperjuangkan keadilan dan kebenaran adalah salah contoh idealisme yang harus senantiasa diperjuangkan oleh pers. Dasarnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1) UU Pokok Pers No.40/1999, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial Dikaitkan dengan media massa cetak maupun elektronika ada korelasi yang jelas dan tegas antara profesioanalisme dengan idealisme para jurnalis dalam melakoni pekerjaannya dan media sebagai saluran isi sampaian (informasi). Fenomena yang menarik masa pascareformasi hingga kekinian menyoal kebebasan pers. Pers yang idealnya bebas dan bertanggungjawab dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi. Demokrasi tanpa kebebasan pers akan hambar dan kebebasan pers tanpa demokrasi tidak bernilai. Pers yang menjadi idaman dan kebutuhan bagi masyarakat kelas menengah ke atas adalah pers yang berkualitas dan kredibilitas dengan pendekatan profesional secara total. Idealnya memang begitu! Naga-naganya pers kekinian inilah yang menjadi diskusi hebat pada berbagai forum seminar, diklat, workshop atau sejenisnya guna menyoal Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Insan pers hingga kini masih saja mempertanyakan keampuhannya. Lantas,bagaimana pemahaman masyarakat yang heterogen? Perdebatan seakan tidak mampu menjawab kegalauan insan pers dan apalagi masyarakat. Di mata insan yang profesional pun masih mempertanyakan UU Pers serta dampak reformasi terhadap kebebasan pers yang dianggap kebablasan. Kebablasan yang ditenggarai oleh kalangan insan pers yang betul-betul profesional adalah lebih dipicu oleh sangat mudah dan begitu gampangnya mendapatkan kartu yang berlabel Pers dari media tanpa sedikit pun bermodalkan pendidikan jurnalistik. Pembekalan seseorang dengan moral untuk terjun ke dunia jurnalistik adalah sebuah harga yang tak ada tawar menawarnya. Bicara moral, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),1995) berarti (ajaran) baik buruk yang diterima secara umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya ; akhlak, budi pekerti, susila, Sedangkan bermoral artinya mempunyai pertimbangan baik buruk; berakhlak baik. Selain itu juga dibutuhkan integritas. Integritas yang dimiliki seseorang juga menunjukkan moralitas yang baik. Jika ada yang berkomentar seseorang itu memiliki integritas yang baik. Artinya, secara moralitas bisa dipertanggungjawabkan kebaikan dan kebenarannya. Orang integer adalah orang yang jujur, meskipun tidak naif atau polos berdasarkan kekuatan kepribadian yang tidak memaksanya untuk terus menerus menyembunyikan wujud yang sebenarnya. Dikaitkan dengan peran dan fungsi sebagai seorang jurnalis tidak diselewengkan. Dengan berbekal moralis dan integritas bagi seorang jurnalis tidak akan menyeret dirinya ke lembah kenistaan di luar ambang kemanusiaan. Moralitas menumbuhkan orang untuk bersikap sportif. Artinya, mau mengakui kesalahan dirinya sendiri dan mengakui fakta kebenaran yang ada pada orang atau pihak lain. Bagi kalangan oknum pers yang pura-pura atau domba berbulu serigala bertopengkan profesional pun terkadang ikut-ikutan dompleng mengklaim kebebasan pers yang sudah kebablasan. Sejatinya, insan pers agar jangan terjerat persoalan hukum sekaitan dengan tugasnya agar memahami dan mematuhi rambu dan salah satu keywordnya adalah cover both side. Jika diartikan secara harfiah, cover both side atau mencakup kedua sisi sangat jelas mengkonstrain dan bahkan mewajibkan kita sebagai pekerja media untuk selalu proporsional. Jelas karena kata "both" dalam berita baru dapat sah ketika ada konfirmasi atau paling tidak pernyataan dari "side" yang lain. Bagi seseorang, sekelompok orang atau lembaga yang merasa dirugikan diakibatkan oleh pemberitaan media untuk menggunakan hak jawab seperti yang telah diatur agar terhindar dari sengketa media. Kata kuncinya bagi insan pers sebagai sebuah profesi nan profesional,agar tidak "dikriminalkan" dan juga tidak "terzalimi" seseorang taatilah rambu-rambu pada setiap perjalanan. Semoga ! Penulis adalah Ketua Program Ilmu Komunikasi STISIP Padang