Pertanaman Tunggal Ancam Sumber Plasma Nutfah

id Pertanaman Tunggal Ancam Sumber Plasma Nutfah

Jakarta, (Antara) - Sistem pertanaman tunggal atau monokultur menjadi ancaman bagi keanekaragan sumber plasma nutfah yang menjadi gudang genetik untuk kepentingan pemuliaan masa depan. Peneliti pada Pusat Penelitian Biologi LIPI, Purwanto dalam workshop Perkembangan Etnobotani di Indonesia yang diadakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Kamis mengatakan fakta di lapangan menunjukkan kebijakan mengintroduksi jenis-jenis tanaman budidaya baru telah memusnahkan jenis-jenis tanaman budidaya lokal. Untuk itu, menurut dia, diperlukan suatu kebijakan pengembangan jenis tanaman asli Indonesia yang utuh dan berkelanjutan sebagai upaya untuk membangun masyarakat petani di pedesaan. Para ahli pertanian dan ahli konservasi biologi dapat berperan dalam mengamankan kekayaan kultivar untuk pemuliaan. Purwanto mengatakan bioteknologi mampu menjembatani terbentunya jenis tanaman baru yang merupakan rekombinasi sifat gen yang menguntungkan dari berbagai kultivar lokal tersebut. Sementara itu peneliti dari Universitas Cendrawasih, Samuel Renyaan mengatakan munculnya sistem monokultur dapat menghilangkan kultivar dari tumbuhan yang biasa menjadi bahan makanan, obat, atau pun campuran untuk proses produksi. Ia mencontohkan jika sebelumnya di satu daerah ada hingga 25 varietas padi lokal kini jumlahnya menurun drastis. Ini dikarenakan masyarakat setempat, menurut dia, tidak lagi menanam padi-padi tersebut setelah masuknya jenis-jenis padi baru yang memang sengaja diperkenalkan untuk pengingkatan produksi. Jika berpegang pada ilmu etnobotani, menurut dia, begitu kaya sumber pangan hingga obat-obatan dari tumbuhan yang dikelola masyarakat lokal secara tradisional turun-temurun. "Di Papua, jenis ubi jalar pun beragam dan seperti di Lembah Baliem cara Suku Dani menanam ubi-ubi tersebut membuat tanaman mampu beradaptasi dengan kondisi lahan yang berbeda-beda. Di lokasi lain, masyarakat Papua yang mengkonsumsi sagu tahu kapan waktu tepat menebang pohon sagu sehingga tidak menggangu keberadaan populasinya," ujar dia. Untuk tanaman pace, ia mengatakan masyarakat di Papua ternyata tidak kalah kemampuannya dengan masyarakat Jawa yang juga mengolah buah pace menjadi obat. "Di Papua ternyata mereka memanfaatkan seluruh pohon pace dari buah hingga akarnya". Namun Samuel menyayangkan ancaman semakin hilangnya kemampuan-kemampuan atau kearifan lokal dalam menjaga lingkungan dan kemampuan mereka mengolah tumbuhan tersebut. Banyak para tetua adat, kepala suku, atau orang-orang tua yang memiliki ilmu turun-temurun dalam mengolah tumbuhan menjadi sumber pangan hingga obat-obatan tersebut tidak menurunkan pengetahuannya pada anak dan cucu mereka. "Pengetahuan mereka disimpan sendiri. Terkadang tanpa ada sistem pencatatan hanya lisan dan berdasarkan ingatan sehingga ilmu tersebut dapat hilang," ujar dia. Untuk itu, lanjutnya, melalui ilmu etnobotani seharusnya para ilmuwan atau ahli dapat membuat data secara lengkap dan benar keanekaragaman hayati beserta dimanfaatkannya dari masyarakat lokal sehingga dapat dikembangkan secara ilmiah dan menjadi pendapatan bagi masyarakat itu sendiri. (*/jno)