Jakarta (ANTARA) - Indonesia melewati kuartal II 2024 dengan catatan pertumbuhan ekonomi 5,05 persen secara tahunan (yoy) dan 3,79 persen secara kuartalan (qtq).
Pemerintah mengklaim capaian ini terbilang cukup baik dibandingkan negara lain karena negara lain seperti China mencatat pertumbuhan ekonomi secara tahunan sebesar 4,7 persen (yoy), Singapura (2,9 persen), Korea Selatan (2,3 persen), dan Meksiko (2,24 persen). Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mampu tumbuh 5,8 persen (yoy).
Indonesia sejauh ini mampu mencetak pertumbuhan ekonomi secara konsisten di level 5 persen sejak tahun 2022. Dalam kondisi perekonomian global yang dipenuhi sentimen negatif, 5 persen seakan menjadi angka aman bagi Indonesia.
Apalagi semenjak mengalami keterpurukan ekonomi saat pandemi COVID-19 yang sempat menyeret ekonomi Indonesia di minus 5,32 persen pada kuartal II 2020. Berlalunya masa pandemi seakan menjadi angin segar yang memulihkan perputaran ekonomi domestik hingga laju ekspor Tanah Air.
Pun di balik pertumbuhan ekonomi yang konsisten, tahun ini ada suatu anomali di balik capaian 5 persen perekonomian Indonesia, mulai dari penurunan daya beli masyarakat, Indeks Manajer Pembelian alias Purchasing Managers’s Index (PMI) Manufaktur yang mengalami kontraksi, hingga maraknya pengakhiran hubungan kerja (PHK) di beberapa industri.
Dari daya beli turun hingga badai PHK
Kendati mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, pada tahun ini Indonesia dihantui adanya penurunan daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga kuartal II 2024 tercatat sebesar 4,93 persen (yoy), masih di bawah pertumbuhan nasional yang sebesar 5 persen.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni 2023 dan 2022 yang masing-masing sebesar 5,22 persen (yoy) dan 5,52 persen (yoy).
Hal yang sama juga dialami kuartal I 2024, pengeluaran konsumsi rumah tangga mencatatkan pertumbuhan 4,91 persen (yoy) yang mana juga masih di bawah pertumbuhan nasional. Hal ini disinyalir menjadi indikator adanya penurunan konsumsi masyarakat.
Menyadur tulisan ekonom yang juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri dalam opininya di harian Kompas, penurunan daya beli masyarakat paling ketara terjadi di kalangan masyarakat menengah.
Mandiri Spending Index (MSI) mencatat porsi pengeluaran untuk bahan makanan (groceries) meningkat dari 13,9 persen menjadi 27,4 persen dari total pengeluaran.
Hal ini berarti jika pendapatan menurun, sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya akan meningkat. Oleh karena itu, kenaikan porsi makanan dalam total belanja mencerminkan menurunnya daya beli.
Selain itu, Badan Pusat Statistik melaporkan pada Juli 2024 Indonesia mengalami deflasi bulanan sebesar 0,18 persen (mtm) dengan tingkat inflasi tahun kalender sebesar 0,89 persen (ytd).
Angka tersebut menandakan Indonesia telah mengalami deflasi secara 3 bulan berturut-turut, bahkan deflasi bulan ini tercatat lebih dalam dibandingkan bulan Juni yang sebesar minus 0,08 persen (mtm).
Deflasi beruntun semacam ini juga dapat menjadi pertanda penurunan daya beli masyarakat karena deflasi berarti terjadi penurunan harga komoditas dan barang.
Untuk itu, permasalahan daya beli masyarakat perlu menjadi perhatian Pemerintah karena secara tidak langsung tingkat konsumsi masyarakat bakal memengaruhi ketahanan industri dalam negeri yang berujung pada pertumbuhan ekonomi di kuartal selanjutnya.
Daya beli masyarakat yang stagnan, bahkan cenderung menurun hingga isu PHK menjadi problema yang saling berkaitan satu sama lain.
Bulan Juni tahun ini juga disambut dengan Indeks Manajer Pembelian atau Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur yang turun ke zona kontraksi 49,3 dari sebelumnya yang sebesar 50,7. PMI Manufaktur menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja sektor manufaktur di suatu negara.
Setelah ekspansif selama 34 bulan berturut-turut, PMI Manufaktur Indonesia mengalami kontraksi 49,3 mencerminkan sektor manufaktur yang cenderung lesu.
Tak hanya Indonesia yang mengalami perlambatan di sektor manufaktur, negara lain juga mengalami hal yang sama. Jepang contohnya, yang berada di angka 49,2, sementara China tercatat 49,8 dan Malaysia sebesar 49,7.
Kondisi manufaktur yang sedang lesu juga tercermin dari banyaknya PHK. Berdasarkan data terakhir Kementerian Ketenagakerjaan RI, per Juli 2024, tercatat 31.549 karyawan dari 34 provinsi terkena PHK.
Maka dari itu, Pemerintah perlu mengkaji dan memberikan solusi melalui kebijakan makroekonomi yang diarahkan untuk memperkuat sektor industri domestik, salah satunya dengan peraturan antidumping.
Terlepas dari perlunya evaluasi kebijakan makroekonomi, secara umum capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bertahan di atas 5 persen tetap patut diapresiasi.
Terkait dengan komponen konsumsi rumah tangga, sebenarnya dapat dipandang sebagai fenomena ekonomi yang wajar.
Komponen konsumsi rumah tangga yang tercatat 4,93 persen (yoy) juga disebabkan karena hari besar keagamaan yang mencakup bulan Ramadhan hingga Hari Raya Idul Fitri sebagai momentum pendorong konsumsi masyarakat tahun ini terbagi di kuartal I dan kuartal II.
Berbeda dengan tahun 2023 ketika bulan Ramadhan beserta Hari Raya Idul Fitri tercatat pada bulan April yang mana telah memasuki kuartal II 2023. Oleh karena itu, kinerja pertumbuhan konsumsi masyarakat di kuartal II tahun juga dapat dinilai masih wajar.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pertumbuhan ekonomi RI di tengah lesunya sektor manufaktur