Kementan Berharap ISPO Jadi Syarat RSPO

id Kementan Berharap ISPO Jadi Syarat RSPO

Jakarta, (Antara) - Kementerian Pertanian berharap Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO) menjadi syarat "Roundtable on Sustainable Palm Oil" karena dalam aturan RSPO mempertimbangkan semua aturan yang berlaku di suatu negara. Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan di Jakarta, Jumat, mengatakan bahwa masih ada kebingungan untuk menaati ISPO atau Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Yang pasti, kata dia, ISPO merupakan "mandatory" dan perusahaan maupun plasma menerapkan praktik-praktik pertanian yang baik dan berkelanjutan untuk mendapatkan serifikat ISPO. "Syukur-syukur RSPO menempatkan ISPO sebagai salah satu syaratnya karena di dalam aturan RSPO mengatakan bahwa RSPO akan mempertimbangkan semua aturan yang berlaku di suatu negara," kata Wamentan menegaskan. Rusman melanjutkan, hingga kini, baru 10 perusahaan yang mendapatkan sertifikat ISPO dan sebanyak 40--50 perusahaan tahap evaluasi, sedangkan target tahun ini adalah 100 perusahaan yang mendapat sertifikat ISPO. Adapun petani kebun rakyat, menurut dia, akan diberi kelonggaran waktu untuk bisa mendapatkan sertifikat ISPO hingga 2015. Untuk mendukung petani kebun rakyat, Pemerintah akan memberikan dukungan melalui berbagai bentuk insentif. "Pemerintah menyadari petani kebun rakyat masih terkendala dalam penerapan praktik pertanian yang baik karena kurangnya teknologi dan investasi," katanya. Rusman juga meminta perusahaan perkebunan besar membantu petani kebun rakyat untuk bisa mendapat sertifikat ISPO dengan memberikan petunjuk bagaimana cara bertanam kelapa sawit yang baik dan berkelanjutan. "Kebun kelapa sawit milik petani rakyat banyak yang telah berusia tua di atas 15 tahun. Tanaman sawit yang tua ini menurunkan tingkat produktivitas yang bisa berakibat pada menurunnya produksi," katanya. Menurut dia, seyogianya belum ada sanksi yang tegas bagi perusahaan yang tidak mendapatkan ISPO. "Akan tetapi, pemerintah tidak akan merekomendasikan produk-produk perusahaan yang tidak mendapatkan ISPO kepada konsumen," katanya. Saat ini, luas lahan perkebunan sawit mencapai 8,9 juta hektare, dan sebesar 44 persen adalah kebun milik petani rakyat. Diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 70 persen. Sementara itu, Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun menyatakan, saat ini, sertifikasi RSPO maupun ISPO dilakukan secara gencar. Namun, perhatian Eropa justru terpusat pada proses pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan oleh pengusaha. "Sebenarnya, mereka (Eropa) menyoroti cara kita (pengusaha) membuka lahan perkebunan apakah terjadi penebangan hutan yang menyebabkan habitat satwa langka seperti gajah dan orang utan terganggu," katanya. Menurut Derom, pengusaha perlu melakukan hal itu sebagai upaya menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa kelapa sawit merupakan produk ramah lingkungan. Dia menyarankan adanya peraturan intern di masing-masing perusahaan yang mengatur agar dilaksanakannya survei pendahuluan terhadap kondisi lapangan sebelum lahan tersebut diubah menjadi perkebunan. "Harapannya dengan cara tersebut, maka orang luar akan melihat bahwa pengelolaan perkebunan di Indonesia tidak merusak lingkungan," katanya. (*/wij)