KPPOD: Kepedulian Pemda Tingkatkan Kesejahteraan Buruh Rendah

id KPPOD: Kepedulian Pemda Tingkatkan Kesejahteraan Buruh Rendah

Jakarta, (Antara) - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menilai kepedulian pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan buruh saat ini masih rendah, karena minimnya peraturan daerah yang mengatur instrumen non-upah. "Berdasarkan penelitian yang KPPOD lakukan, kepedulian pemda terhadap upaya peningkatan kesejahteraan buruh masih rendah. Peraturan tentang peran pemda dalam penyelenggaraan instrumen non-upah masih minim," kata salah satu peneliti KPPOD, Illinia Ayudhia Riyadi dalam Diskusi Publik terhadap hasil penelitian KPPOD terkait Instrumen Non-Upah sebagai Jalan Lain Peningkatan Kesejahteraan Buruh, di Jakarta, Senin. Illinia menjelaskan tujuan penelitian yang dilakukan KPPOD untuk mengidentifikasi aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan daerah yang berkeadilan baik bagi buruh maupun pelaku usaha, serta mengidentifikasi peran dan tanggung jawab pemda dalam upaya memperbaiki kesejahteraan buruh. Illinia mengatakan ada beberapa pokok temuan hasil penelitian KPPOD yang mengindikasikan rendahnya kepedulian pemda terhadap upaya peningkatan kesejahteraan buruh. Dia mengatakan daerah cenderung lebih suka memungut retribusi dan mengatur dunia usaha. Telaah terhadap perda dari 27 daerah memperlihatkan masih kurangnya upaya yang dilakukan oleh pemda dalam upaya peningkatan kesejahteraan buruh. "Kebanyakan peraturan daerah yang ditemukan mengatur pungutan retribusi dan berbagai perizinan terkait ketenagakerjaan, namun yang menjadi persoalan ternyata dalam mengatur itu semua tidak ada kejelasan standar prosedur, biaya dan waktu pelayanan," ujar Illinia. Menurut dia, peraturan daerah juga mengalihkan tanggung jawab pemda untuk peningkatan kualitas buruh. Dari 27 daerah studi, lebih banyak mengatur pungutan untuk pendirian balai pelatihan kerja, serta kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan pelatihan. "Hal ini merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab pemda dalam upaya peningkatan kualitas dan produktivitas buruh," ujar dia. Akibat sedikitnya peraturan daerah yang memproteksi tenaga kerja, kata dia, justru kontraproduktif terhadap iklim investasi. Selain itu masih banyaknya peraturan daerah yang mengatur kewajiban perusahaan mempekerjakan tenaga lokal, merupakan pelanggaran terhadap prinsip kesatuan wilayah ekonomi nasional, di mana warga negara Indonesia berhak mendapatkan pekerjaan tanpa hambatan di seluruh wilayah NKRI. Di sisi lain, kata dia, minimnya peraturan daerah tentang pengaturan upah dan hubungan industrial, menyumbang maraknya problem ketenagakerjaan. Dari 27 daerah, hanya dua daerah yakni Yogyakarta dan Karawang yang memiliki peraturan daerah mengenai pengaturan upah tenaga kerja. "Sedikitnya peraturan daerah yang mengatur hubungan industrial menyebabkan banyak terjadi perselisihan perburuhan," ujar dia. Dia mengatakan rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam peningkatan produktivitas buruh tercermin juga dari rendahnya alokasi anggaran pemda untuk hal tersebut. "Sebagai contoh di Kota Batam sebagai kota dengan adanya otonomi khusus terkait pajak, pemda setempat hanya mengalokasikan sembilan persen total anggaran untuk pelatihan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja yang jangkauannya juga terbatas bagi segelintir calon pekerja saja, sementara alokasi anggaran lebih banyak untuk belanja birokrasi," kata dia. Dia mengatakan KPPOD merekomendasikan perlunya upaya mengoptimalkan peran pemda sebagai fasilitator dan mediator yang baik dalam penanganan perselisihan hubungan industrial yang terjadi. Selain itu perlu adanya kebijakan daerah yang mengatur secara tegas besarnya alokasi anggaran untuk program-program peningkatan produktivitas pekerja, serta adanya aturan yang dapat dijadikan acuan standar pelatihan. (*/sun)