KPK sayangkan dana otsus Aceh sebesar Rp8 triliun diwarnai praktik korupsi

id kpk

KPK sayangkan dana otsus Aceh sebesar Rp8 triliun diwarnai praktik korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Antara)

Diduga pemberian tersebut merupakan bagian dari komitmen "fee" delapan persen yang menjadi bagian untuk pejabat di Pemerintah Aceh dari setiap proyek yang dibiayai dari dana DOKA
Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun Anggaran 2018 berjumlah sekitar Rp8 triliun diwarnai dengan praktik korupsi.

"Padahal seharusnya manfaat dana tersebut dirasakan oleh masyarakat Aceh dalam bentuk bangunan infrastruktur seperti jalan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/7) malam.

Lebih lanjut, Basaria menyatakan Aceh merupakan salah satu daerah yang karena dana otsus (DOKA) yang dikelolanya menjadi salah satu prioritas pendampingan KPK dalam upaya pencegahan korupsi melalui perbaikan tata kelola pemerintahan.

"Dana otsus Tahun Anggaran 2018 yang dikelola Aceh untuk Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh sebesar Rp8 triliun yang seharusnya menjadi hak masyarakat Aceh justru KPK menemukan indikasi bagaimana DOKA menjadi bancakan dan dinikmati oleh sebagian oknum," tuturnya.

KPK pun kembali mengingatkan kepada para kepala daerah agar kembali pada sumpah jabatan dan amanah dalam mengemban tugas sebagai aparatur pelayan masyarakat untuk memakmurkan masyarakatnya dengan memanfaatkan sumber daya dan anggaran yang diamanahkan kepada pemerintahannya dengan sebaik-baiknya.

KPK total menetapkan empat tersangka dalam kasus suap terkait pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun Anggaran 2018 pada Pemerintah Provinsi Aceh.

Empat tersangka itu antara lain Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (IY) dan Bupati Bener Meriah Provinsi Aceh Ahmadi (AMD) serta dua orang dari unsur swasta masing-masing Hendri Yuzal (HY) dan T Syaiful Bahri (TSB).

"Diduga sebagai penerima IY, Gubernur Provinsi Aceh, HY swasta, TSB swasta. Diduga sebagai pemberi AMD, Bupati Kabupaten Bener Meriah," ucap Basaria.

Diduga, kata Basaria, pemberian oleh Bupati Bener Meriah kepada Gubernur Aceh sebesar Rp500 juta bagian dari Rp1,5 miliar yang diminta Gubernur Aceh terkait "fee" ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh pada Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2018.

"Diduga pemberian tersebut merupakan bagian dari komitmen "fee" delapan persen yang menjadi bagian untuk pejabat di Pemerintah Aceh dari setiap proyek yang dibiayai dari dana DOKA," ucap Basaria.

Ia menyatakan pemberian kepada Gubernur dilakukan melalui orang-orang dekat Gubernur Aceh dan Bupati Bener Meriah yang bertindak sebagai perantara.

"Tim masih mendalami dugaan penerimaan-penerimaan sebelumnya," ungkap Basaria.

Dalam kegiatan operasi tangkap tangan terkait kasus itu, KPK total mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait tindak pidana, yaitu uang sebesar Rp50 juta dalam pecahan seratus ribu rupiah, bukti transaksi perbankan Bank BCA dan Bank Mandiri dan catatan proyek.

Sebagai pihak yang diduga pemberi, Ahmadi disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Pasal itu yang mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.

Sedangkan sebagai pihak yang diduga penerima Irwandi Yusuf, Hendri Yuzal, dan T Syaiful Bahri disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.