Menyigi Aksara Minangkabau dalam Pameran HPN 2018

id #HPN #Sumbar #PWI

Menyigi Aksara Minangkabau dalam Pameran HPN 2018

Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit bersama Kepala Dinas Kebudayaan Taufik Efendi dan tokoh pers. (ist)

Padang - Aksara Minangkabau yang dipamerkan di Musemuan Adityawarman saat Pameran Sejarah Pers 1 Desember 2017 hingga 1 Juni 2018 mengundang rasa ingin tahu banyak pihak. Sebagian menyambut antusias, tetapi sebagian masih meragukan.

Keberadaan aksara seakan menjadi penguat bagi kebudayaan Minangkabau yang selama ini "hanya tenar" karena tradisi lisan. Aksara itu membuat Budaya Minangkabau menjadi lengkap seperti kebudayaan lain seperti Batak, Jawa atau Bugis.

Artinya, masyarakat Minangkabau memiliki tradisi tulis, meski bukan untuk komunikasi secara umum, tidak hanya tradisi lisan yang disampaikan turun temurun.

Budaya Minangkabau memang dominan tradisi lisan. Nyaris semua komunikasi dan proses literasi di Minang digunakan dengan media lisan. Akan tetapi, ada asumsi atau indikasi bahwa Minangkabau juga memiliki aksara. Ini perlu pembuktian," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Dr. Hasanuddin.

Menurut dia indikasi keberadaan aksara itu terlihat pada artefak di menhir serta motif dan simbol-simbol di Rumah Gadang seperti yang ditemukan di Abai, Solok Selatan.

Namun itu juga masih perlu penelitian lebih lanjut, termasuk penyebab aksara itu tiba-tiba menghilang.

Ahli filologi Unand, Dr. Pramono menyebutkan yang paling berhak untuk menentukan sebuah kebudayaan punya aksara atau tidak adalah ahli paliografi (ilmu tentang tulisan kuno). Namun sampai saat ini belum ada yang menyatakan keberadaan aksara Minangkabau.

Perlu ada penelusuran terhadap warisan budaya Minang yang terdokumentasi seperti yang ada di gua, prasasti, monumen tertentu atau manuskrip," katanya.

Ia mendukung upaya penelusuran keberadaan aksara Minangkabau itu dengan melibatkan ahli paliografi, filolog, dan arkeolog.

Persoalan aksara Minangkabau itu sebenarnya bukan perkara baru. Puluhan tahun lalu juga sudah dibahas. Bahkan, ada yang pernah menunjukkan bentuk aksara itu yang mirip dengan aksara dalam Pameran Sejarah Pers.



H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie (Limbago: Majalah Adat dan Kebudayaan Minangkabau No. 5 Tahun 1987) yang dikutip dalam https://sasdaminangkabau.wordpress.com/2010/05/12/aksara minangkabau, menyebutkan ada dua macam aksara asli Minangkabau.

Pada 1970, di sela-sela hiruk pikuknya pembahasan tentang Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau dalam sidang seminar yang diadakan di Batusangkar, seorang peserta seminar tampil memperlihatkan aksara Minang yang ia temukan di Pariangan. Kebetulan yang tampil itu adalah bekas camat di Pariangan Kabupaten Tanah Datar.

Aksara Minang itu ditemukan dalam Kitab Tambo Alam milik Datuk Suri Dirajo dan Datuk Bandaro Kayo di Pariangan Padang Panjang.

Tambo Alam itu ditulis dalam aksara Minang tersebut. Bukan seperti kitab-kitab tambo yang biasanya ditulis dalam tulisan Arab Melayu. Di dalam kitab tambo itu antara lain tertulis Undang-Undang Adat.

Aksara Minang itu berjumlah 15 buah yang terdiri dari: a ba sa ta ga da ma ka na wa ha pa la ra nga (bandingkan dengan Surat Ulu di Palembang yang menurut Drs. Zuber Usman terdiri dari 16-17 huruf).

Jika huruf-huruf Minang itu diberi titik di atasnya, maka di baca: i bi si ti gi di mi ki ni wi hi pi li ri ngi. Dan kalau diberi titik dibawahnya bacaannya berubah menjadi u bu su tu gu du mu ku nu wu hu pu lu ru ngu.

Selanjutnya kalau diberi bercagak (bertanda v) di atasnya dibaca: e be se te ge de me ke ne we he pe le re nge. Kalau tanda v tersebut dipindahkan ke bawah harus dibaca: o bo so to go do mo ko no wo ho po lo ro ngo.

Tapi kalau diberi titik di samping kanan, maka ia menjadi huruf mati: b s t g d m k n w h p l r ng.

Jika kita perhatikan aksara Minang ini mirip dengan huruf Lontara, yaitu huruf asli yang ada di Makasar (Ujung Pandang). Cuma jumlahnya yang berbeda. Aksara Minang berjumlah 15, sedangkan huruf Lontara berjumlah 23.

Kemudian Aksara Minang Ruweh Bukuyang ditemukan di nagari Silek Aia (Sulit Air).

Menurut Ketua Lembaga Studi Minangkabau di Padang, Drs. Denito Darwas Dt. Rajo Malano, Kitab Tambo Ruweh Buku yang ditemukan di nagari Sulit Air juga ditulis dalam aksara Minang. Berisi ajaran adat Minang nukilan Datuk Suri Dirajo di Pariangan Padang Panjang juga.

Kemudian entah pada zaman apa dan tahun berapa, kitab Ruweh Buku itu dibawa orang ke Sulit Air dan dimiliki oleh Datuk Tumanggung secara turun temurun.

Terakhir dimiliki oleh Syamsuddin Taimgelar Pakih Sutan yang berusia 75 tahun pada tahun 1980. Ia menerima kitab itu dari mamaknya Rasad gelar Datuk Tumanggung pada tahun 1921. Sedangkan Rasad Dt Tumanggung menerimanya pula dari Datuk Tumanggung V. Begitu seterusnya jawek bajawek dulu sampai sekarang.

Tambo Ruweh Buku sudah ada sejak awal disusunnya peraturan atau ketentuan-ketentuan adat Minangkabau yang disebutkan sebagai kerajaan BUEK.

Beda dengan aksara Minangkabau yang ditemukan di Pariangan, Padang Panjang, maka aksara Minang Ruweh Buku di Sulit Air, kata demi kata dideretkan ke bawah kalau hendak membentuk kalimat. Mirip dengan huruf Katakana (Jepang), tapi jika hendak merangkaikan huruf jadi satu kata tetap dideretkan ke kanan.

Jumlah hurufnya 21 buah lengkap dengan tanda baca. Beda dengan aksara Minang di Pariangan, maka huruf Ruweh Buku ini memiliki huruf hidup a i u o dan selebihnya huruf mati semua.



Kalau kita ingin menuliskan ta bukanlah gabungan huruf t dengan huruf a, melainkan ambillah huruf t kemudian diberi garis di atasnya. Kalau menulis ti taruhlah garis di bawah huruf t tersebut. Menuliskan tu maka sebelum huruf t bubuhkanlah garis miring terlebih dahulu. Menuliskan te pakailah garis miring setelah huruf t. sedangkan kalau ingin membuat to pakailah titik di atas huruf t. Begitu seterusnya.

Aksara Minang Ruweh Buku tersebut juga dilengkapi dengan tanda baca seperti tanda tanya, tanda seru, titik, koma, bagi, tambah, kali, kurang.

Menurut Syamsuddin Taim gelar Pakih Sutan, Tambo Ruweh Buku ditulis di atas lembaran kulit kayu sepanjang 55 cm atau satu hasta lebih sedikit. Ada 48 halaman dan ditulis menggunakan getah kayu yang berwarna hitam.

Keberadaan aksara Minangkabau itu tentu harus dibuktikan kebenarannya secara akademik hingga bisa diterima bahkan mungkin kembali dilestarikan oleh generasi saat ini.***