Putusan MK Tidak Pengaruhi Persiapan Spam Jatiluhur

id Putusan MK Tidak Pengaruhi Persiapan Spam Jatiluhur

Jakarta, (Antara) - Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tidak memengaruhi proses persiapan proyek Sistem Penyediaan Air Minum Jatiluhur yang bertujuan memperluas akses air kepada warga. "SPAM Jatiluhur ini bertujuan untuk memberikan tambahan sambungan rumah bagi masyarakat sehingga memenuhi hak masyarakat akan air," kata Ketua Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Tamin M Zakaria Amin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu. Menurut Tamin, pada prinsipnya proyek SPAM Jatiluhur dinilai tidak menguasai air karena sesuai dengan Surat Izin Pengambilan Air (SIPA) yang sudah dialokasikan oleh pemerintah. Selain itu, ujar dia, dengan ditunjuknya Perum Jasa Tirta (PJT) II sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) proyek raksasa tersebut, maka pengendalian masih berada di tangan pemerintah. "SPAM Jatiluhur sangat ketat menjalankan aturan, termasuk juga masalah tarif air minum, sudah atas persetujuan dari daerahnya masing-masing," ucap Ketua BPPSPAM. Sementara itu, Direktur Utama PJT II Herman Idrus mengemukakan bahwa secara operasional, persiapan proyek pengembangan SPAM Jatiluhur sebesar 5 ribu liter/detik ini tetap berjalan. "Kalau untuk anggaran dasarnya sudah ada. Tinggal nanti anggaran rumah tangga dibentuk. Namun secara legal Special Purpose Vehicle (SPV) sudah dibentuk," papar Dirut PJT II. Meski demikian, Herman mengakui bahwa dengan dibatalkannya UU No. 7/2004, pihaknya selaku PJPK mendapat masukan dari Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk menunda terlebih dahulu, terutama terkait legal formal atau pengesahan SPV dari notaris. Saat ini, Kementerian PUPR sedang mempersiapkan beberapa landasan hukum yang baru karena Peraturan Menteri dan Peraturan Pemerintah turunan UU No 7/2004 secara legal formal saat ini dinyatakan tidak berlaku setelah keluarnya putusan MK tersebut. Pengelolaan sistem penyediaan air yang selama ini berjalan di Indonesia sempat geger karena Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang intinya menghapus UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Putusan MK menyatakan bahwa UU No. 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan dan diberlakukannya kembali UU No. 11/1974 tentang Pengairan. MK dalam putusannya yang progresif tersebut menyatakan UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dalam pelaksanaannya belum menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air. Padahal seharusnya, tegas MK, negara secara tegas melakukan kebijakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Selain itu, UU Sumber Daya Air yang dihapus tersebut dinilai MK juga belum memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air, yaitu antara lain pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, menyampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air. Prinsip dasar lainnya adalah negara harus memenuhi hak rakyat atas air, kelestarian lingkungan hidup, pengawasan dan pengendalian oleh negara sifatnya mutlak, prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD, serta pemberian izin kepada usaha swasta harus dengan syarat-syarat tertentu. (*/sun)