Denpasar, (Antara) - Sejumlah peneliti mancanegara kini mulai tertarik mempelajari keunggulan dan kearifan lokal organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) yang telah ditetapkan UNESCO menjadi Warisan Budaya Dunia (WBD) di Bali.
"Kearifan lokal yang esensial dalam perannya sebagai sistem irigasi untuk mendistribusikan air irigasi secara adil kepada semua anggota subak (petani)," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, irigasi subak merupakan suatu sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis, yakni aspek teknis yang diterapkan dalam sistem subak disesuaikan dengan aspek sosial-budaya yang berkembang dalam kawasan tersebut.
Hal itu sesuai dengan aturan yang berkaitan dengan sistem irigasi yang menyatakan bahwa pada dasarnya suatu sistem irigasi seharusnya bersifat sosio-teknis.
"Jadi, dalam sistem subak itu juga berkembang karakter teknologi sesuai dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, sistem subak di Bali dapat juga dipandang sebagai suatu teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat setempat," ujar Windia.
UNESCO mengakui subak sebagai WBD sejak 29 Juni 2012, yang meliputi empat kawasan sebagai satu kesatuan terdiri atas Catur Angga Batukaru di Kababupaten Tabanan, Pura Taman Ayun di Kabupaten Badung, Hulu Sungai Pakerisan, Kabupaten Gianyar, serta Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur di Kabupaten Bangli.
Khusus di Kabupaten Gianyar yang menjadi WBD di Hulu Sungai Pakerisan yakni tiga subak meliputi Subak Pulagan, Subak Kulub Atas dan Kulub Bawah, serta empat pura, yakni Pura Tirta Empul, Pura Mengening, Pura Pegulingan, dan Pura Gunung Kawi.
Windia menjelaskan, jauh sebelum UNESCO menetapkan subak sebagai WBD, sejumlah peneliti mancanegara tercatat pernah melakukan penelitian terhadap kearifan lokal yang terkandung dalam subak.
Peneliti warga negara asing itu antara lain Grader, Geertz dan Lansing, disamping peneliti nasional dan lokal Bali.
Ahli luar negeri Grader melakukan penelitian tentang subak dengan wilayah kajian di Kabupaten Jembrana, Bali barat pada tahun 1984. Sementara Geertz mengambil lokasi kajian di daerah gudang beras Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung dan Klungkung pada tahun 1959.
Sedangkan Lansing melakukan penelitian di Kabupaten Bangli pada tahun 1991. Ketiga peneliti mancanegara itu telah mengungkap dan melaporkan tentang perkembangan subak dengan aneka kearifan lokal.
"Mereka umumnya memuji tentang kecerdasan lokal yang dimiliki subak yang kini diwarisi secara turun temurun," ujar Prof Windia. (*)
Berita Terkait
KPU Pasaman Barat seleksi tertulis calon anggota ppk untuk 11 kecamatan
Rabu, 8 Mei 2024 17:04 Wib
RSUD Pasaman Barat peroleh akreditasi paripurna bintang lima
Rabu, 8 Mei 2024 16:15 Wib
Pasaman Barat raih WTP delapan kali berturut-turut dari BPK
Selasa, 7 Mei 2024 18:10 Wib
Polres Pasaman Barat tertibkan tambang emas ilegal
Selasa, 7 Mei 2024 18:09 Wib
Demokrat Pasaman Barat terima tujuh orang bakal calon kepala daerah
Selasa, 7 Mei 2024 16:51 Wib
Produksi ikan Pasaman Barat triwulan I 2024 capai 27.773 ton
Selasa, 7 Mei 2024 16:51 Wib
Wakil Ketua MPR RI periode 1999-2004 meninggal dunia
Selasa, 7 Mei 2024 15:36 Wib
BPS sosialisasikan Satu Data Indonesia di Pasaman Barat
Senin, 6 Mei 2024 19:22 Wib