Makna Surau di Minangkabau

id Makna Surau di Minangkabau

Bagi masyarakat Minangkabau atau Sumatera Barat pada umumnya surau tidak saja berfungsi sebagai tempat beribadah atau shalat tetapi sejak dari dulu sudah menjadi tempat/pusat kegiatan masyarakat dalam banyak hal (serba guna). Mulai dari rapat/pertemuan, peringatan hari-hari bersejarah dan kegiatan sosial lainnya. Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah surau dijadikan tempat kegiatan yang edukatif bagi para remaja putra khususnya dimalam hari, yang diisi dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Kalau kita melihat sejarah masa lalu boleh dikatakan Sumatera Barat dan Minangkabau khususnya banyak melahirkan para tokoh nasional bahkan berkaliber internasional, sederet daftar panjang nama para tokoh yang berasal dari Sumatera Barat, diantaranya Mohammad Hatta, M. Yamin, H. Agus Salim, Hamka, Sutan Sjahrir. Mereka mempunyai andil besar dalam menegakkan kemerdekaan RI dimasa lalu. Jika kita telaah lebih jauh, latar belakang kehidupan saat remaja para tokoh tersebut sangat dekat dengan surau, artinya surau memiliki andil besar dalam menjadikan mereka karakter-karakter tokoh yang berkepribadian kuat, berkemampuan nalar dan memiliki sensitifitas terhadap kehidupan sosial masyarakat, sehingga menjadikan mereka tokoh yang berkwalitas dan disegani. Dulu, kalau seorang anak laki-laki minang mendekati masa remaja masih tidur dirumah orangtuanya, maka dia akan ditertawai dan diolok-olok oleh teman seangkatannya sebagai Bujang Gadih (lelaki banci), anak manja dan sederet cemoohan lain yang membuat remaja pria waktu itu hanya berdiam dirumah orangtuanya disiang hari dan kalau malam hari mereka berkegiatan dan tidur di surau. Di surau tersebutlah semua kegiatan dan aktifitas remaja pria dimalam hari berlangsung, mulai dari belajar mengaji/belajar agama, belajar adat/budaya dan kesenian minang kabau, belajar bela diri/pencaksilat, dan kegiatan lainnya. Yang rajin belajar mengaji dan menekuni agama dewasanya mereka menjadi ustadz/pemuka agama, maka lahirlah ulama-ulama besar seperti Buya Hamka. Yang rajin belajar adat/budaya dan kesenian Minang mereka dewasanya menjadi budayawan dan seniman besar seperti Chairil Anwar dan budayawan tersohor lainnya, maka tak salah jika di dalam pelajaran kesusasteraan di sekolah menengah waktu dulu sebagian besar nama yang berasal dari Sumatera Barat mendominasi bahan hapalan kita. Begitulah produk tempaan dan didikan surau pada saat itu telah melahirkan pemimpin-pemimpin besar yang besar karena seleksi alam dan kawah pendidikan alami dari lingkungan surau yang kental nuansa Islamnya, dan mereka memiliki andil besar dalam kancah perpolitikan dan kenegaraan mulai era perjuangan kemerdekaan sampai dekade 70an dan 80an. Tetapi pada periode sekarang kita cukup prihatin sangat menurun drastis tokoh nasional yang berasal dari Sumatera Barat baik dari segi kwantitas maupun kwalitas yang mampu berperan seperti senior-senior kita dulu. Rasanya perlu kita kaji apa penyebab semua ini, apakah memang budaya surau sangat efektif perannya yang saat ini boleh dikatakan sudah menurun kalau tidak boleh dikatakan hampir berakhir, atau memang kwalitas sumberdaya manusia Minang sudah sedemikian menurun secara drastis. Tentu faktor penyebabnya sangat bervariasi. Tetapi tidak ada salahnya kita mencoba menduga/berhipotesa bahwa salah satu penyebabnya adalah telah hilangnya budaya pemanfaatan surau di masyarakat Minangkabau bagi penempaan generasi mudanya. Surau saat ini telah semakin ditinggalkan oleh umatnya, jangankan untuk proses pendidikan seperti disebutkan diatas, untuk shalat lima waktu saja sangat sulit mencari makmumnya (mudah-mudahan pernyataan ini keliru). Disatu sisi banyak kita temui tempat-tempat ibadah, surau ataupun mesjid yang dibangun dengan megahnya, namun disisi lain sepi akan aktifitas umat yang seharusnya memanfaatkan kemegahan tersebut dalam rangka memuja dan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Pencipta Alam Semesta. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan terjadinya hal ini, salah satu adalah faktor kesibukan (ini juga sebetulnya tidak bisa dijadikan alasan), dan lain sebagainya. Tetapi kemungkinan salah satu faktor utamanya adalah pendidikan agama bagi anak-anak usia sekolah saat ini yang sangat minim, sehingga anak-anak cenderung tidak punya modal ilmu agama yang cukup, yang dulu bagi anak-anak Sumatera Barat menjadi suatu hal yang mutlak dan diperolehnya di surau. Lebih menyedihkan lagi fenomena yang berkembang saat ini, anak-anak lebih memilih duduk terpaku di depan televisi dirumah menonton acara kesayangannya yang tidak lain tidak bukan didominasi oleh sinetron dengan cerita yang mengumbar kekerasan, gambaran kehidupan mewah penuh tipu muslihat, tingkah laku yang tidak sopan kepada orangtua, fenomena mistik, kehidupan selingkuh dan gosip kehidupan bebas tanpa batas para selebritis, berita-berita kriminal yang menjadi inspirasi/mendorong perbuatan jahat serta materi acara lainnya yang jauh dari nuansa keagamaan dan pendidikan yang baik bagi perkembangan jiwa anak. Tontonan seperti inilah yang mendominasi penglihatan mata, mengisi hati dan kejiwaan anak-anak kita saat ini, sekali lagi timbul pertanyaan apa jadinya moral dan kehidupan anak-anak kita bila dewasa kelak kalau diisi dengan fenomena lingkungan seperti demikian, mungkinkah mereka kelak akan jadi Buya Hamka muda, Muhammad Hatta muda, atau tokoh-tokoh sekaliber Sutan Syahrir. Kalau mereka jadi pemimpin akan dibawa kemana negara ini, wallahualam. Ironisnya lagi kebanyakan orang tua sekarang tidak banyak yang peduli dan sadar akan bencana degradasi moral yang melingkari lingkungannya, mereka terhipnotis dengan sajian-sajian yang menghibur tetapi meracuni jiwa dan moral generasi muda, kebanyakan orang tua saat ini sangat permisif dengan fenomena ini. Mungkinkah para anak-anak kita yang jauh dari kehidupan surau dan disuapi dengan tontonan yang tidak mendidik dapat mengisi, meramaikan dan memuliakan surau, mungkinkah mereka dapat mengembalikan citra ranah minang sebagai gudang para ulama, gudang para pemikir, gudang budayawan, gudang para pemimpin bangsa dimasa datang?. Perjalanan waktu dan peredaran zamanlah yang akan mejawab, paling tidak kita butuh waktu 15 atau 30 tahun kedepan baru dapat merasakan dampaknya. Memang, untuk kembali kepada situasi surau di zaman dulu rasanya juga kurang pas dihadapkan dengan kondisi sekarang. Orangtua mana saat ini yang merelakan anak remajanya tidur di surau (rasanya sulit dibayangkan). Tetapi paling tidak yang kita inginkan sekarang adalah bagaimana surau kembali dijadikan tempat belajar dan diskusi agama bagi para remaja/masyarakat Minangkabau umumnya serta setiap jadwal shalat surau ramai dengan jamaah. Disamping itu juga surau kembali dapat digunakan sebagai tempat pengembangan adat dan budaya minangkabau, sesuai dengan semboyan Urang Minang Adaik basandi sarak, sarak basandi Kitabullah. Mudah-mudahan. (***)