Padang (ANTARA) - Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2019 dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan agenda pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih masa jabatan 2019-2024, menjadi deklarasi negara ihwal dimulainya periode pemerintahan baru sebagai kedaulatan de jure dan de facto. Penggalan kalimat pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo mendapat pelbagai respon dari seluruh anggota MPR, tamu undangan kenegaraan, dan masyarakat yang menyaksikan langsung dari siaran media. kutipan pidato Presiden Joko Widodo yang disampaikan, adalah:
“...Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar, yang pertama, undang-undang cipta lapangan kerja, dan kedua, undang-undang pemberdayaan UMKM. Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang bahkan puluhan undang-undang, puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja, langsung direvisi sekaligus, puluhan undang-undang yang menghambat UMKM juga akan langsung direvisi sekaligus.”
Memaknai pidato Presiden tersebut, maka terdapat design on constitution law of convention in Indonesia untuk mengubah undang-undang menggunakan model omnibus law. Penggunaan istilah omnibus law di Indonesia merupakan fenomena baru pasca reformasi yang telah menyepakati purifikasi (pemurnian) terhadap sistem pemerintahan presidensial. Maka dapat dipahami konvergensi pidato kenegaraan Presiden tersebut merupakan politik hukum yang berhubungan terhadap fungsi legislasi dalam konvensi ketatanegaraan di Indonesia, khususnya ihwal metode pembentukan peraturan perundang-undangan melalui omnibus law.
Tepat 1 (satu) tahun setelah pidato kenegaraan tersebut, tanggal 5 Oktober 2020 melalui rapat paripurna dengan agenda pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja, DPR bersama Pemerintah menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja. Sebagaimana yang telah diulas, RUU Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law seperti yang diminta Presiden kepada DPR dalam sidang paripurna. Kemudian, pertanyaan besar dari realita ketatanegaraan ini adalah apakah metode omnibus law terdapat dalam norma hukum di Indonesia saat ini?. Untuk menjawab pertanyaan ini tentu harus berdasarkan kepada hukum yang mengatur terkait pembentukan peraturan perundang-undang sebagai norma hukum positif.
Pasal 22A UUD 1945 menjadi legitimasi konsideran dari UU/12/2011 jo UU/15/2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia harus mengacu kepada undang-undang yang mengatur terkait pembentukan peraturan perundang-undangan. Membaca UU Cipta Kerja sama seperti membaca struktur undang-undang perubahan, namun materi perubahan dan struktur penulisannya tidak sesuai dengan metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU/12/2011 jo UU/15/2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan karena tidak ada norma hukum baru yang dicantumkan dalam UU tersebut untuk menggunakan metode omnibus law.
Muatan materi UU perubahan di Indonesia menggunakan metode single subject of matter atau satu subyek materi. Ilmu perundang-undangan yang menerapkan metode single subject of matter adalah perwujudan legislasi yang tergambar dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang mengadopsi Stufenbau De Recht Theory atau The Hierarch of law yang menegaskan “source of law is always it self law, a superior legal norm in relation to an inferior legal norm, or the method of creating an inferior norm determined by a superior norm and that means a specific content of law”. Sumber hukum selalu berasal dari hukum itu sendiri, norma hukum yang paling tinggi mempunyai relasi dengan norma hukum yang paling rendah, metode pembuatan norma hukum paling rendah ditentukan dari norma hukum paling tinggi. Dengan begitu, norma hukum yang lebih tinggi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah merujuk kepada Pasal 22A UUD 1945 yang diatribusikan kepada UU/12/2011 jo UU/15/2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Norma hukum positif tersebut menjadi dasar untuk tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini. Maka pertanyaan pertama telah terjawab bahwa metode omnibus law tidak terdapat dalam norma hukum di Indonesia saat ini.
Politik Hukum Metode Omnibus Law
Apakah gagasan omnibus law terkesan dipaksakan penerapannya meski belum ada norma hukum di Indonesia yang mengaturnya?. Pertanyaan ini selalu muncul apabila menelisik dari sudut pandang politik hukum penerapan omnibus law di Indonesia. Politik dan Hukum sulit dipisahkan khususnya ihwal pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Pengaruh hukum terhadap politik atau sebaliknya mengakibatkan sukar untuk memberikan determinasi antara hukum dengan politik.
Politik hukum metode omnibus law yang diterapkan di Indonesia sebagai legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya berupa, menggunakan metode pembuatan norma hukum yang sangat banyak dengan menghasilkan norma hukum baru yang menggantikan norma hukum lama hanya dengan 1 (satu) undang-undang. Omnibus law dalam UU Cipta Kerja mempunyai 15 BAB dengan 174 Pasal yang mengakibatkan diubahnya 1023 Pasal dari 79 Undang-Undang yang statusnya masih berlaku (existing). Dapat diperkirakan akan ada ratusan peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang akan menambah ruet harmonisasi regulasi terkait Cipta Kerja. Metode omnibus law diterapkan di Indonesia mempunyai relasi dengan politik hukum yang dicanangkan pasca pidato Presiden saat sidang paripurna MPR 2019, walaupun pilihan politik hukum tersebut menabrak norma hukum yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundangan-undangan di Indonesia.
Seyogyanya metode omnibus law juga sangat berhubungan dengan sistem hukum yang dianut oleh sebuah negara. Omnibus law belum begitu familiar bagi negara yang menganut civil law system seperti Indonesia. Meskipun begitu, negara Belanda dengan civil law system juga sudah mulai menerapkan metode omnibus law pada 2016, namun model penerapannya dan masa berlakunya UU metode omnibus law di Belanda tidak sama dengan UU Cipta Kerja yang dibuat di Indonesia saat ini. Di Belanda ada undang-undang yang mengatur tentang air, tanah, dan udara dengan metode omnibus law, tetapi mulai berlakunya undang-undang tersebut 5 (lima) tahun setelah disahkan pada 2016. Sebaliknya, metode pembentukan undang-undang menggunakan omnibus law sangat familiar bagi negara dengan common law system, seperti: Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada. Namun sekali lagi penerapan omnibus law disalah satu negara common law system juga berbeda dengan UU Cipta Kerja dengan mengubah 79 UU yang masih berlaku (existing). Di Kanada pernah mengubah UU Perkapalan dengan metode omnibus law yang mengakibatkan 3 (tiga) undang-undang, yaitu: UU Perkawinan, UU Keluarga, dan UU Warisan di Kanada yang berhubungan dengan UU Perkapalan juga ikut diubah dan dijadikan 1 (satu) Undang-Undang tentang Perkapalan.
Lebih lanjut, memahami UU Cipta Kerja harus berpedoman kepada syarat formil yang harus terpenuhi melalui penerapan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU/12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang. UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil khususnya asas keterbukaan yang mestinya memberikan akses maksimal bagi partisipasi publik pada setiap tahapan (perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan). Seharusnya asas keterbukaan publik yang berarti transparansi bagi masyarakat untuk terlibat memberikan aspirasi dalam tahapan legislasi tetap dijamin, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi karena Indonesia sedang mengalami pandemi global Covid-19. Masyarakat diminta untuk di rumah, mematuhi peraturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), masyarakat mengalami kesulitan ekonomi, fokus masyarakat sedang berjuang untuk bertahan hidup, dan melindungi diri mereka dari penularan Covid-19. Sehingga partisipasi publik tidak akan optimal diserap legislatif untuk dituangkan dalam UU Cipta Kerja. Ihwal asas keterbukaan inilah yang menjadi dasar untuk menyatakan UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil yakni asas keterbukaan.
Langkah Konstitusional terhadap UU Cipta Kerja
Pasca disetujuinya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, masih terbuka kesempatan bagi para pihak melakukan upaya konstitusional sebagai warga negara yang merasa dirugikan dengan keberadaan UU Cipta Kerja. adapun langkah konstitusional yang dapat dilakukan dengan pertimbangan politik hukum saat ini, yaitu:
1. Meminta DPR bersama Presiden melakukan Legislative Review terhadap UU Cipta Kerja. Namun, upaya ini membutuhkan waktu panjang (sama seperti proses legislasi baru) bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi politic interest jilid II yang dapat memberikan kesempatan kepada pihak-pihak lain yang ingin mengambil keuntungan politik dari proses ini;
2. Meminta Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menyikapi keadaan negara yang genting akibat terjadi penolakan masyarakat yang masif melalui aksi demonstrasi ditengah pandemi global Covid-19 yang mengakibatkan bertambahnya peluang klaster baru kasus terinfeksi virus corona karena kerumunan demonstran tidak menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Namun, pernyataan Presiden pada 9 Oktober 2020 telah memberikan sinyal redup bagi rakyat untuk mengharapkan Presiden menerbitkan Perppu;
3. Mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji formil dan materil UU Cipta Kerja yang akan diundangkan dan dimasukan dalam lembaran negara. Ini peluang yang dirasa masih memberikan titik terang untuk mengawal sistem demokrasi di Indonesia.
Sebagai penutup, jika dirasa metode omnibus law akan diterapkan menjadi salah satu metode pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk modifikasi hukum, tentu DPR bersama Presiden harus melakukan perubahan terhadap UU/12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ihwal metode omnibus law, sebab harus ada kepastian hukum bagi lembaga legislatif untuk menerapkan fungsi legislasi menggunakan metode omnibus law. Mengingat masih ada 3 (tiga) RUU yang akan menggunakan metode omnibus law dan sudah masuk dalam program legislasi nasional di Badan Legislasi DPR untuk tahun 2020, yakni: RUU Perpajakan, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara.
Penulis merupakan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas