DPR: UU Pemilu Tak Halangi Keterwakilan Perempuan

id DPR: UU Pemilu Tak Halangi Keterwakilan Perempuan

Jakarta, (Antara) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan Pasal 56 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD (Pemilu Legislatif) tidak menghalangi keterwakilan perempuan dalam penentuan calon terpilih. "Pasal 215 huruf b UU Pemilu Legislatif juga telah memberi ruang untuk dipertimbangkannya keterwakilan perempuan dalam penentuan calon terpilih, jika terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan suara terbanyak dengan perolehan suara yang sama," kata Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat, dalam sidang pengujian UU Legislatif di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa. Dia mengatakan ketentuan itu sama sekali tidak menghalang-halangi bakal calon perempuan untuk ditempatkan pada nomor urut 1 atau 2, dan seterusnya. "Ketentuan itu juga tidak membatasi atau tidak melarang menempatkan bakal calon perempuan secara berurutan yang diisi dua perempuan atau lebih," katanya. Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon. Martin mengatakan bahwa frasa "sekurang-kurangnya" bermakna bakal calon perempuan dapat lebih dari 1 orang dalam setiap 3 bakal calon. Terlebih, lanjutnya, penjelasan pasal itu telah memberi penguatan kesempatan bagi kaum perempuan terkait pengaturan "affirmative action" mengenai ketentuan kuota 30 persen bakal calon perempuan. "Pendapat pemohon tak cukup beralasan dan sedikitpun tidak menghalang-halangi hak konstitusional para pemohon untuk menjadi bakal calon anggota legislatif," tegasnya. Sementara mewakili pemerintah, Staf Ahli Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengatakan sebetulnya kebijakan politik dalam UU Pemilu Legislatif ini sudah berpihak pada pemberdayaan dan penguatan peran perempuan dalam sistem pemilu. Donny mengatakan bahwa UU Pemilu Legislatif itu juga tidak mempersoalkan masalah gender, apakah dia perempuan atau laki-laki. "Porsi itu sudah diberikan 30 persen dengan sistem keterwakilan perempuan. Intinya, syarat 30 persen itu sudah menjadi keputusan politik dan harus didukung," kata Donny. Staf Ahli Mendagri ini menegaskan persoalan ini hanya masalah pemahaman saja dan sama sekali tidak ada persoalan diskriminasi dalam UU Pemilu Legislatif itu. "Sebetulnya kita lebih pada kata 'mempertimbangkan' keterwakilan perempuan, mengingat sistem pemilihan kita mengutamakan persebaran. Jadi, 30 persen secara kuota keterwakilan perempuan sudah terpenuhi," tegas Donny. Pengujian UU Pemilu Legislatif ini diajukan oleh sejumlah LSM dan aktivis perempuan, yakni Pusat Pemberdayaan Perempuan dalam Politik, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, Lembaga Partisipasi Perempuan, Perhimpuan Peningkatan Keberdayaan Perempuan, Wanita Katolik Republik Indonesia, Yayasan Institute Pengkajian Kebijakan dan Pengembangan Masyarakat, Women Research Institute, Yayasan Melati 83. Mereka menguji Pasal 8 ayat (2) huruf e, Pasal 55, Penjelasan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 215 huruf b UU Pemilu Legislatif terkait keterwakilan perempuan dalam Pemilu Legislatif. Para pemohon menilai Penjelasan Pasal 56 ayat (2) sepanjang kata "atau" dan Pasal 215 huruf b sepanjang kata "mempertimbangkan" tidak jelas dan multitafsir. Pemohon menilai pasal ini akan mengabaikan hak-hak konstitusional perempuan untuk lebih berpartisipasi menentukan kebijakan publik melalui perannya sebagai anggota legislatif. Selain itu, adanya kata "atau" itu telah menimbulkan diskriminasi pada perempuan karena tidak membuka peluang perempuan menempati urutan 1, 2, dan atau 3 serta menutup kesempatan wanita menempatkan 2 wanita sekaligus dalam nomor urut 1, 2, dan atau 3. (*/jno)