Wakil Bupati Pessel menangis membacakan pembelaan di Pengadilan Padang

id kasus perusakan hutan mangrove,wabup pessel,Rusma Yul Anwar

Wakil Bupati Pessel menangis membacakan pembelaan di Pengadilan Padang

Wakil Bupati Pesisir Selatan Rusma Yul Anwar saat membacakan pembelaan (pledoi) di Pengadilan Negeri Klas I A Padang, Rabu (12/2). (ANTARA/FathulAbdi)

Padang (ANTARA) - Wakil Bupati Pesisir Selatan (Pessel) Rusma Yul Anwar yang menjadi terdakwa kasus dugaan perusakan hutan lindung dan penimbunan hutan bakau (mangrove) menangis saat membacakan pembelaan (pledoi) pribadi di hadapan persidangan.

"Sejak awal hingga berjalannya kasus ini telah membuat saya, anak, isteri, serta seluruh keluarga seperti sedang menjalani hukuman, akibat beban mental yang harus diterima," kata Rusma Yul Anwar pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Klas I A Padang, Rabu.

Ia menceritakan kasus yang meyeret dirinya itu telah bergulir sekitar tiga tahun, dan selama itu juga ia menanggung beban yang menurutnya tidak benar dijatuhkan kepadanya.

Rusma Yul Anwar yang menghadiri sidang mengenakkan kemeja biru muda makin tak kuasa menahan kesedihan, ketika ia menceritakan dampak kasus terhadap anaknya yang berusia 15 tahun, serta keluarga terdekat.

Beberapa keluarga yang hadir juga tampak menangis ketika mendengarkan pembelaan yang dibacakan oleh terdakwa.

Dalam nota pembelaan 21 halaman itu terdakwa juga menjelaskan asal-usul lahan yang malah menyeretnya ke persidangan atas dugaan perusakan lingkungan.

Ia menceritakan sebidang tanah itu ia beli dari Apri pada akhir 2015 berupa ladang, dan dilunasi pada Februari 2016.

Awalnya tanah tersebut difungsikan terdakwa untuk menanam cengkih.

Terdakwa mengaku tidak tahu kalau lahan yang telah ia garap landscape tanah, bukit, dan pendirian beberapa bangunan itu ternyata masuk kawasan hutan lindung.

"Saya tentu saja membantah karena tanah dibeli berupa ladang, dan akta jual belinya ditanda tangani oleh ninik mamak dan wali nagari selaku pemerintahan terendah," katanya.

Selain itu terdakwa juga tidak pernah melihat pemberitahuan atau plang di sekitar lokasi mengenai status hutan lindung.

"Saya lalu bertanya pada staf dinas kehutanan yang turun ke lokasi untuk mencari solusi, karena tanah sudah terlanjut diolah," katanya.

Terdakwa kemudian mendatangi dinas kehutan provinsi untuk berkonsultasi serta kordinasi terhadap permasalahan itu.

Solusi yang didapat saat itu adalah program kemitraan atau kerja sama bagi masyarakat yang sudah terlanjur masuk kawasan hutan lindung milik Kementerian Lingkungan Hidup.

Terdakwa juga disarankan menghentikan kegiatan di lahan, dan menyelesaikan dengan Skema Perhutanan Sosial (sesuai Permen LHK No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016) atau mengajukan Proposal Kemitraan (sesuai PermenhutNo. P47/Menhut-II/ 2013).

Pihaknya kemudian membuat badan usaha bernama CV Semesta Mandeh, dan pada Agustus 2016 memasukkan surat permohonan dan proposal kemitraan dilengkapi SIUP, SITU dan TDP.

"Namun anehnya dalam proses penyelidikan dan penyidikan, dua produk hukum yang notabene berasal dari Kementerian itu diabaikan," katanya.

Dua peraturan inilah, lanujutnya yang menjadi dasar terdakwa untuk mendapatkan legalitas atas kegiatan yang dilakukan di lahan.

Sementara untuk mangrove yang terlanjur rusak terdakwa mengklaim akan direhabilitasi, termasuk mangrove yang tertimbun seluas 700 meter per segi dengan cara mencari lahan baru seluas dua hektar, sekaligus menyiapkan bibit.

Namun dalam masa menunggu program kemitraan atau kerja sama disetujui, serta menunggu bibit mangrove, persoalan muncul.

Pada April 2017 Bupati, Sekda, kepala Dinas Lingkungan Hidup, serta beberapa kepala dinas datang ke lahan terdakwa serta lahan Nasrul Abit dengan membawa wartawan untuk mengekspos kerusakan mangrove.

Lalu Kepala Dinas Lingkungan Hidup melaporkan terdakwa ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta.

Dalam sidang tersebut penasihat hukum terdakwa yaitu Vino Oktavia Cs, juga membacakan pembelaan tersendiri.

Sidang yang dipimpin majelis hakim dengan ketua Gutiarso akan dilanjutkan dengan agenda berikutnya mendengarkan replik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).