Apegti Sinyalir Masih Banyak Gula Rafinasi Beredar

id Gula Rafinasi

Apegti Sinyalir Masih Banyak Gula Rafinasi Beredar

Ilustrasi gula putih. (Antara)

Padang, (Antara Sumbar) - Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) mensinyalir masih banyak gula rafinasi beredar di pasaran yang jika dikonsumsi masyarakat dalam jangka panjang akan merugikan kesehatan.

"Gula rafinasi itu sebenarnya untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, karena harganya murah ada pedagang nakal yang sengaja mencampur dengan gula murni," kata Ketua Dewan Pengurus Provinsi Apegti Sumatera Barat (Sumbar), Deni Mahesa di Padang, Jumat.

Ia menyampaikan hal itu pada rapat koordinasi Dewan Pengurus Nasional dengan DPP provinsi dan Dewan pengurus daerah kabupaten dan kota di Sumbar.

Menurut dia berdasarkan temuan pengurus Apegti di Indonesia gula rafinasi tersebut banyak dijumpai di Pulau Jawa seperti Jawa Timur dan Banten.

"Gula rafinasi amat sulit dibedakan dengan gula murni, banyak yang tidak bisa membedakan," katanya.

Ia mengatakan maraknya peredaran gula rafinasi disebabkan ulah pedagang nakal yang ingin meraup untung dengan cara mencampur gula murni dengan gula industri.

Apalagi gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, dalam sebulan rata-rata konsumsi gula setiap individu di Indonesia mencapai 1,8 kilogram, katanya.

Selain itu ia melihat saat ini kebutuhan gula di Tanah Air belum bisa dipenuhi dari dalam negeri sehingga harus diimpor.

Persoalannya adalah dalam distribusinya selama ini dimonopoli oleh sekelompok orang dan Apegti ikut andil melakukan pengawasan agar tidak ada lagi penguasaan jalur distribusi, katanya.

Ia mengatakan ke depan Apegti akan menggandeng dan membesarkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah yang ada di seluruh propinsi sebagai mitra strategis untuk membantu pemerintah menstabilkan harga sembako.

Sebelumya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mendorong dilakukannya perubahan struktur pasar karena pada perdagangan komoditas strategis selama ini hanya dikuasai oleh beberapa pelaku usaha dengan skala besar.

"Saat ini untuk 11 komoditas pangan strategis di Indonesia hanya dikuasai oleh dua sampai tiga pemain besar saja yang mendistribusikan barang-barang tersebut," kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf.

Menurut dia fenomena ini jelas buruk bagi ekonomi Indonesia dan tidak menghadirkan persaingan yang sehat dalam dunia usaha.

Kalau pemainnya tidak banyak, hanya satu dua orang saja maka potensi terjadinya persekongkolan menjadi besar dan kartel mudah terbentuk, katanya.

Ia menilai persekongkolan akan sulit terjadi jika dalam suatu pasar jumlah pelaku usaha lebih banyak.

"Kami terus mendorong pelaku usaha baru untuk masuk pada komoditas pangan strategis sehingga meminimalkan potensi kecurangan dan melahirkan wirausaha baru yang jumlahnya saat ini masih sedikit," lanjut dia. (*)