PHI Lanjutkan Sidang Gugatan Kampus STIA-LPPN

id Sidang Gugatan kampus STIA-LPPN

Padang, (AntaraSumbar) - Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat, lanjutkan sidang gugatan terhadap kampus Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Pembina Perguruan Nasional (STIA LPPN) daerah setempat, yang digugat mantan dosennya Deltri Apriyeni.

"Karena tidak pernah tercapai mufakat antara penggugat dan tergugat, maka sidang sengketa hubungan industrial itu terus dilanjutkan," kata Humas Pengadilan Padang Estiono, di Padang, Sabtu.

Proses persidangan, ujarnya sudah masuk ke agenda jawab-menjawab (Replik-Duplik) antara Deltri Apriyeni, dengan kuasa hukum kampus STIA LPPN sebagai tergugat, pada Kamis (14/4).

"Sidang terus dilanjutkan karena harus diputus dalam waktu 50 hari. Setelah jawab-menjawab, maka selanjutnya sidang masuk ke tahap pembuktian," tambahnya.

Meskipun demikian, ia menyebutkan bahwa setiap persidangan majelis hakim tetap mengupayakan mufakat di antara kedua belah pihak.

"Pencapaian mufakat tidak diagendakan khusus, namun selalu ditanya setiap sidang digelar. Sampai saat ini tidak ada mufakat yang tercapai," terangnya.

Gugatan terhadap STIA LPPN tersebut diajukan oleh Deltri Apriyeni, mantan dosen yang mengajar selama 15 tahun di kampus itu. Terhitung sejak 1 September 2000 hingga 3 September 2015.

Karena hak yang seharusnya diterima Deltri Apriyeni sebagai dosen tetap tidak diberikan oleh pihak kampus, salah satunya gaji pokok.

Dosen itu diupah berdasarkan jam mengajar sebesar Rp55.000 setiap masuk kelas. Dengan rincian selama satu bulan menerima gaji sebesar Rp200.000, karena memiliki 4 pertemuan.

"Sementara faktanya berdasarkan Surat Keterangan Penghasilan Nomor 219/E.14/STIA/2014 yang ditandatangani bendahara kampus pada 6 Oktober 2014, disebutkan bahwa gaji yang seharusnya saya per bulan adalah Rp6.050.000, dengan sejumlah rincian," kata Deltri Apriyeni.

Berdasarkan Surat Keterangan Penghasilan itu ia menghitung hak yang tidak diterimanya dalam satu bulan sebesar Rp5.850.000, karena faktanya ia hanya menerima Rp200.000.

"Kalau dikalkulasikan selama 15 tahun saya mengabdi di kampus itu, totalnya adalah Rp1.053.000.000," tambahnya.

Selain tidak mendapatkan gaji pokok, lanjutnya ia juga tidak pernah menerima tunjangan hari raya, tunjangan fungsional dosen, serta tidak mendapatkan jaminan kesehatan.

Hal tersebut dinilai, ia tidak sesuai dengan pasal 51 ayat (1), Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang berbunyi bahwa dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum, dan jaminan kesejahteraan sosial.

Selian itu, ia juga tidak pernah menerima tunjangan hari raya selama 15 tahun, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian perumahan, pengobatan dan perawatan sebagaimana diatur Undang-undang Tenaga Kerja, yang jika dikalkulasikan seluruhnya bertotal Rp1.242.667.500.

Dengan dasar tersebut, ia kemudian menggugat STIA LPPN untuk membayar uang kekurangan bayar gaji sebesar Rp.1.053.000.000 tersebut, serta uang kalkulasi hak dari Undang-undang Tenaga Kerja sebesar Rp1.242.667.500, kepada dirinya.

Kampus STIA LPPAN juga digugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp2.000.000, untuk setiap hari keterlambatan pelaksanaan putusan, serta melakukan sita jaminan terhadap harta benda tergugat baik yang bergerak ataupun tidak.

Sementara pihak STIA LPPN melalui kuasa hukumnya Amir, SH, dalam dupliknya menyebut pihak Deltri Apriyenti tidak dapat menerangkan jawaban secara jelas.

"Dalam replik penggugat menerangkan hal-hal yang tidak ada substansinya dengan perkara a quo, dan menerangkan persoalan yang terlalu mengambang. Selain itu juga tidak berbeda dengan materi gugatan yang dibacakan pada sidang perdana," sebutnya dalam duplik yang dibacakannya, Kamis (14/4). (*)