Badrodin: Kombes Viktor Penyidik Polri

id Badrodin: Kombes Viktor Penyidik Polri

Jakarta, (Antara) - Wakapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti mengatakan Kombes Viktor yang ikut dalam operasi penangkapan Wakil Ketua KPK non-aktif Bambang Widjojanto 23 Januari lalu adalah penyidik Polri. Hal ini diungkapkan wakapolri menjawab hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menyatakan ada pelanggaran peraturan perundang-undangan, pengabaian kewajiban hukum dan melampaui kewenangan oleh Kombes Pol Viktor Simanjuntak yang melakukan penangkapan terhadap BW tanpa dilengkapi dengan surat perintah penangkapan. "Kombes Viktor itu penyidik. Ada skep (surat keputusan) penyidiknya, saya yang tanda tangan," kata Badrodin. Menurut wakapolri dirinya sudah meminta divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk menyelidiki apakah betul ada penyimpangan dalam penangkapan BW seperti yang disebutkan oleh Ombudsman. Pada Selasa (24/2 ) lalu Lembaga negara pengawas pelayanan publik Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyatakan menemukan dua maladministrasi dalam proses penangkapan dan pemeriksaan wakil ketua non aktif KPK Bambang Widjojanto oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian RI. "Klasifikasi maladministrasi yang pertama adalah pelanggaran peraturan perundang-undangan, pengabaian kewajiban hukum, kelalaian dan penyimpangan prosedur," kata Komisioner Bidang Penyelesaian Laporan Pengaduan Ombudsman Budi Santoso di kantor ORI, Jakarta, Selasa. Budi mengatakan pelaku administrasi tersebut adalah atasan penyidik dan penyidik Bareskrim Polri yang menangani Laporan Polsi Nomor LP/67/I/2015/Bareskrim pada 19 Januari. Dari maladministrasi itu, ia memaparkan terdapat beberapa pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran itu adalah tidak melakukan pemanggilan terlebih dulu sebelum melakukan penangkapan terhadap pelapor sehingga melanggar Pasal 36 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. "Penangkapan merupakan upaya paksa dalam rangka proses penyidikan terhadap seorang tersangka sehingga penyidik sebelum menangkap harus mempertimbangkan pemanggilan dua kali berturut-turut," kata dia. Pelanggaran lain adalah terjadi kesalahan penulisan identitas pelapor di dalam surat penangkapan dan tidak diuraikan secara rinci ayat yang menunjukkan peran dan kualifikasi tersangka sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP). Pelanggaran selanjutnya, ujar dia, Bareskrim menerbitkan surat perintah penggeledahan rumah tanpa mengajukan izin terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat sehingga melanggar Pasal 33 ayat (1) KUHAP dan Pasal 57 ayat (1) Perkap No 14 Tahun 2012. Bareskrim juga melanggar Pasal 1 dan 2 angka 5 KUHAP serta Pasal 4 dan Pasal 15 Perkap No 14 Tahun 2012 dengan melakukan penyidikan tanpa penyelidikan. Penyidik Bareskrim, kata dia, juga tidak menunjukkan identitas sebagai anggota Polri pada saat menangkap dan tidak memberikan berita acara pemeriksaan saat pemeriksaan kedua pada 3 Februari 2015. Pelanggaran terakhir dalam malapraktik ini, Bareskrim terlambat menyampaikan SPDP dari penyidik kepada JPU dan melakukan perbedaan perlakuan atau diskriminasi kepada Bambang. Sementara maladministrasi kedua, kata dia, adalah pelanggaran peraturan perundang-undangan, pengabaian kewajiban hukum dan melampaui kewenangan oleh Kombes Pol Viktor simanjuntak yang melakukan penangkapan tanpa dilengkapi dengan surat perintah penangkapan. Hal itu, ujar dia, melanggar Pasal 17 ayat (1) Perkap No 8 Tahun 2009 dan Pasal 8 Perkap No 14 Tahun 2012. Terkait dua maladministrasi dan pelanggaran-pelanggaran itu, Ombudsman meminta Polri untuk memeriksa dan memberikan sanksi pada penyidik Bareskrim. "Kami minta Polri memeriksa dan memberikan sanksi pada Kombes Daniel Bolly Tifaona selaku Kasubdit VI Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus beserta penyidik yang menangani perkara dalam penangkapan dan pemeriksaan Bambang," tutur dia. Sebelumnya Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim, Jumat (23/1), dan ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan membuat saksi berkata palsu dalam kasus sengketa pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di Mahkamah Konstitusi pada 2010. (*/jno)