Naypyitaw, Ibukota Myanmar yang Sunyi Senyap

id Naypyitaw, Ibukota Myanmar yang Sunyi Senyap

Setelah menempuh perjalanan darat selama enam jam ke arah utara dari Yangon, secara perlahan mulai terlihat adanya tanda-tanda akan memasuki kota Naypyitaw, ibu kota negara yang baru dibangun.

Di kiri dan kanan jalan raya yang lebar dan mulus, mulai banyak ditemui spanduk-spanduk mengenai SEA Games ke-27 Myanmar, mulai dari yang berisi ucapan selamat datang kepada para peserta maupun iklan sponsor.

Sebelumnya, sepanjang perjalanan sejauh 400km menyusuri jalan raya dengan dua lajur, hampir tidak terlihat perumahan penduduk. Hanya beberapa petani yang sedang membersihkan bekas-bekas panen padi.

Jalan yang lebar dan tidak berlubang sedikit pun itu membuat perjalanan dengan bus umum terasa nyaman, meski harus menghabiskan waktu sekitar enam jam, termasuk waktu istirahat untuk makan siang di sebuah arena peristirahatan (rest area).

Myanmar memang salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia dan itu bisa dibuktikan dengan hamparan sawah membentang luas di sepanjang jalan raya antara Yangon dan Naypyidaw.

"Ya, kita sedang memasuki kota Nayptyitaw," kata sopir bus ketika ditanya apakah bus sudah memasuki ibukota negara Myanmar itu.

Kesan pertama yang muncul saat pertama kali memasuki kota yang resmi menjadi ibukota Myanmar pada 2006 itu adalah kota yang sunyi senyap karena sangat jarang kendaraan yang lalu lalang.

Kondisi jalan di Naypyitaw mengingatkan kepada jalan-jalan utama di Beijing, ibukota China, yaitu lurus, lebar dan dengan trotoar yang tertata rapi, sehingga membuat nyaman pejalan kaki, meski pada kenyataannya hampir tidak terlihat warga yang lalu lalang berjalan kaki.

Karena kota tersebut dibangun di hamparan tanah yang sebelumnya kosong, jelas bukan hal sulit bagi pemerintah Myanmar untuk membuat bangunan yang luas dengan jarak rata-rata 100 meter lebih dari jalan raya.

Pada malam hari, hampir tidak ada kehidupan meski jam masih menunjukkan pukul 20.00 waktu setempat, hanya terlihat beberapa kendaraan yang lalu lalang atau beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga di pos disetiap sudut jalan.

Ketika pemerintahan militer Myanmar mulai berbenah-benah untuk memindahkan pusat kekuasaan ke daerah pedalaman di sebuah kota di Distrik Mandalay, sekitar 2005, ketika itu banyak masyarakat yang bingung.

"Saya tidak mengerti mengapa mereka memutuskan untuk meninggalkan Yangon. Saya tidak tahu mengapa mereka ingin datang kesini," kata seorang warga Naypyidaw seperti yang dikutip BBC News.

Sebagian masyarakat ketika itu berharap agar rencana kepindahan ibukota tersebut tidak benar-benar terjadi dengan alasan yang sudah jelas, yaitu implikasi ongkos yang harus ditanggung.

Ketika kota tersebut baru dibuka secara resmi pada 2006, tidak gampang bagi orang asing untuk memasuki kota yang diberi nama Naypyitaw, yang berarti Istana Raja. Hampir semua orang asing, terutama wartawan, dilarang keras berkeliaran di kota itu.

Bahkan dua orang wartawan Myanmar sendiri yang berkantor pusat di Yangon, dipenjara selama tiga tahun karena mencoba untuk merekam arena sekitar kota.

"Saya melihat bangunan baru yang terus dibangun, tapi saya tidak tahu untuk apa bangunan itu," kata seorang wanita yang tinggal di pinggir kota Naypyidaw.

Pada masa pembangunan, mereka yang tinggal di sepanjang jalan utama ke Naypyitaw sudah terbiasa melihat truk-truk lalu lalang mengangkut bangunan, termasuk saat mengangkut para pimpinan militer.

"Jika Anda berkendara di jalanan saat mereka lewat, Anda harus berhenti untuk memberikan jalan kepada mereka," kata seorang warga.

Di Yangon, terdapat sedikit pertanda bahwa kota tersebut sudah tidak lagi menjadi ibukota Myanmar. Salah satu dampak langsungnya adalah berkurangnya suplai listrik.

"Mereka mengeluarkan jutaan dolar untuk membangun ibukota baru, akibatnya layanan di Yangon, seperti pasokan listrik menjadi semakin buruk, tapi Naypyitaw terang benderang. Sekarang ada lelucon diantara masyarakat lokal bahwa yang yang terjadi sekarang adalah "transfer tenaga listrik", komentar beberapa diplomat asing.

<b>Berbagai Spekulasi</b>

Terdapat banyak spekulasi mengenai keputusan pemerintah militer Myanmar untuk memindahkan ibukota Ke Myanmar yang terletak di tengah-tengah negari itu dengan jarak sekitar 400km di utara Yangon.

Sebagian yakin bahwa militer ingin memindahkan ibukota ke pedalaman karena takut akan serangan asing, terutama serangan dari AS. Sebagian lagi mengatakan karena orang Myanmar masih percaya dengan takhyul bahwa kepindahan tersebut bisa membawa keberuntungan.

Percaya kepada tukang ramal adalah hal yang lumrah di Myanmar dan bahkan Jendral Ne Win yang mulai berkuasa pada 1962, diberitakan sangat tergantung dari nasehat tukang ramal atau ahli nujum.

"Ia pernah diberitakan memutuskan untuk mengubah arah penerbangan pada malam hari (karena nasehat tukang ramal). Akibatnya, terjadi kecelakaan yang menimbulkan banyak korban jiwa," kata Joseph Silverstein, pengamat Myanmar asal Univesitas Rutgers, Inggris.

Menurut pejabat militer Myanmar, pemindahan ibukota dilakukan karena Naypytaw terletak ditengah-tengah dan mempunyai akses lebih cepat ke seluruh penjuru negara.

Aung Kin, seorang ahli sejarah asal Myanmar yang tinggal di London mengatakan, ketakutan tersebut bisa jadi karena alasan kekuatan angkatan darat Myanmar jauh lebih tangguh dibanding angkatan laut.

"Jadi lebih mudah untuk mempertahankan garis pertahanan darat seperti Naypyitaw dibanding daerah pantai di kota Yangon," kata Aung Kin.

Para diplomat asing juga berpendapat bahwa alasan yang masuk akal adalah karena lokasi Naypytaw yang berada di tengah-tengah akan memudahkan pemerintah untuk memonitor daerah perbatasan di distrik yang dihuni etnik Shan, Chin dan Karen.

Apa pun alasan untuk memindahkan ibukota ke Naypyitaw yang sekarang menjadi tuan rumah SEA Games 2013, yang pasti para atlet, ofisial dan media menghadapi banyak kendala, terutama dalam masalah transportasi karena sulitnya kendaraan umum.

Shuttle bus yang disediakan panitia selama SEA Games yang akan berakhir pada Minggu (22/12), ternyata juga diperuntukkan bagi masyarakat umum sehingga sering penuh sesak karena penumpang berebut naik.

Dibalik segala kesulitan tersebut, ternyata masih ada hal positif yang bisa dipetik, seperti yang diakui oleh Rosman Razak, pelatih tim bulutangkis asal Malaysia.

"Para pemain menjadi lebih kompak dan terus bersama seperti lem karena tidak bisa kemana-mana akibat kesulitan alat transportasi. Kondisi akan menciptakan kekompakan diantara sesama pemain," kata Rosman seperti yang dikutip The Star online beberapa waktu lalu. (*)