Mantan Petinggi KPK dan Pakar Hukum bicara UU IKN di Bukittinggi

id berita bukittinggi,berita sumbar,ibukota

Mantan Petinggi KPK dan Pakar Hukum bicara UU IKN di Bukittinggi

Bambang Widjoyanto saat diwawancari wartawan di Bukittinggi. (Antarasumbar/Al Fatah)

Rancangannya terlihat terburu-buru,
Bukittinggi (ANTARA) - Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto dan Pakar Hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari mengeluarkan pendapat mereka masing-masing dengan pengesahan UU Ibu Kota Negara (IKN) di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Keduanya hadir di Kota Bukittinggi dalam satu agenda besar Musyawarah Nasional Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah bersama tokoh nasional lainnya seperti Ketua Ombudsman RI Muhammad Najih dan Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas di Bukittinggi, Kamis.

Feri Amsari yang juga menjadi Dosen hukum tata negara Universitas Andalas mengatakan adanya keterburu-buruan rancangan UU yang kini telah disahkan tersebut.

"Pertama, rancangannya terlihat terburu-buru dan tidak ada partisipasi publik di dalam pengambilan keputusan sejak masih berupa RUU hingga menjadi UU ini," kata Feri.

Ia menilai, naskah akademisi dan penilaiannya masih menjadi misteri dan seperti mengejar target dari basis pernyataan presiden semata.

"Proyek raksasa pemindahan Ibu Kota Negara bernilai Rp400 triliun ini menjadi lebih kesannya dipaksakan, mestinya adanya kajian mendalam dan diketahui publik untuk apa saja dana sebesar itu," kata dia.

Menurutnya pemindahan ibu kota negara merupakan hal yang biasa saja seperti yang telah dilakukan beberapa negara lain, namun masalah tata caranya yang harus dipertanyakan.

"Saya tidak masalah bentuknya otorita atau daerah khusus, namun apakah kajian telah dilakukan, apakah ada warga yang tinggal di sana sebelumnya atau tidak, jangan peraturan itu dibuat hanya untuk pemerintah saja," ujarnya.

Ia mengatakan, kewenangan badan otorita yang akan diatur melalui perpres itu seperti menyerahkan semuanya ke presiden semata.

"Seharusnya dijelaskan dalam naskah akademik dan dipertegas dengan UU tentang apa saja kewenangannya, jangan sampai ada pemikiran di masayarakat bahwa jangan-jangan presiden ingin jadi kepala ibu kota negara baru," kata dia.

Feri juga mengatakan adanya nuansa sentralistik yang kuat agar proyek ini dikendalikan oleh pusat dan tanpa transparansi.

"Jika disesuaikan dengan keputusan MK nomor 91 PUU XVIII 2020 tentang Cipta Kerja, maka UU IKN ini bisa saja dibekukan karena terjadi tidak adanya keterbukaan pembahasan, tidak adanya partisipasi publik di lima tahapan, kalau ini diuji publik saya yakin ini menjadi masalah," jelasnya.

Sementara Bambang Wijoyanto lebih menilai ketidaksetujuannya dengan adanya pemindahan ibu kota baru di saat masalah negara yang banyak belum terselesaikan.

"Kita bicara isu kewarasan saja, negara ini dalam situasi berbagai problem mulai dari COVID-19 yang tak jelas akhirnya, defisit APBN masih berlangsung, hutang membengkak dan lainnya, di situasi itu kita membuat proyek besar, apakah ini patut," ujarnya.

Ia mengatakan tidak adanya kejelasan alasan utama perpindahan ibu kota negara dan bahkan ada upaya mempercepatnya.

"Masuk akal gak sih proyek ini dilakukan sekarang, keadilan kesejahteraan kita masih jauh tapi malah pindah rumah dengan harga besar, republik ini dibentuk untuk mewujudkan keadilan kesejahteraan, pertanyaan filosofinya adalah jika tidak masuk akal bisa saja disebut inkonstitusional," jelasnya.

Ia khawatir, program ini program elit dan bukan untuk rakyat yang artinya bertentangan dengan kedaulatan dan kepentingan rakyat.

"Coba saja dibuat kuisioner antara pilihan memilih kesejahteraan atau pemindahan Ibu Kota baru, saya yakin jawabannya akan sama, tindakan koruptif bisa disebut adalah membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan kemashlahatan rakyat," kata Bambang menutupi.