Menpar Akui Kriya Daur Ulang Sulit Dipasarkan

id Menpar Akui Kriya Daur Ulang Sulit Dipasarkan

Jakarta, (Antara) - Menteri Pariwisata Arief Yahya mengakui produk kriya daur ulang masih mengalami kendala di bidang pemasaran, padahal potensinya begitu besar karena bisa memanfaatkan limbah yang ada. "Kreatifitas sudah sangat oke, komunitas (kriya daur ulang) sudah banyak, bahan baku sampah kita juga cukup. Tapi tantangannya adalah di demand," kata Arief seusai penganugerahan karya kriya kreatif di Kementerian Pariwisata Jakarta, Selasa. Menurut mantan Dirut PT Telekomunikasi Indonesia itu, rata-rata limbah yang diciptakan penduduk tanah air adalah 0,5 kilogram per orang. Dengan total penduduk Indonesia sebanyak 240 juta jiwa, maka akan ada pasokan limbah hingga 120 juta ton. "Makanya untung kalau ada seniman-seniman seperti ini yang mendaur ulang sampah kita," katanya. Sayangnya, tingginya jumlah limbah yang dihasilkan penduduk juga bermakna bahwa masyarakat Indonesia masih rendah kesadaran lingkungannya. Menurut dia, masyarakat Indonesia masih terpaku pada harga ketimbang aspek lingkungan dalam memilih barang. Oleh karena itu, Arief mengusulkan agar para seniman kriya bisa menerapkan harga yang lebih murah, khususnya untuk pasar lokal. "Atau kalau mau jual dengan harga yang lebih mahal, maka jual ke negara atau kota yang orang-orangnya punya tingkat kesadaran lingkungan tinggi, seperti Singapura dan Jepang," katanya. Usulan lainnya, lanjut Arief, adalah dengan menggandeng merk besar dengan bantuan fasilitasi dari pemerintah. "Sebut saja merk Hello Kitty yang punya toko di seluruh dunia dan telah menjual lebih dari 15.000 barang-barang seperti aksesoris. Di setiap kota, idenya adalah dengan membuat tenun Hello Kitty atau aksesoris teman-teman karakter Hello Kitty dengan bahan daur ulang kita. Kalau sudah diterima pasar, kita bisa gunakan channel dia untuk pemasaran," katanya. Kriya daur ulang merupakan bagian dari seni kriya, yang menyumbang 15 persen atau sekitar Rp100 triliun dalam sektor ekonomi kreatif. Bidang kuliner menempati posisi tertinggi dengan kontribusi 32 persen atau lebih dari Rp200 triliun, disusul fesyen sebesar 28 persen dengan total nilai sekitar Rp200 triliun. Ada pun bidang lain seperti percetakan, desain dan arsitektur memegang 25 persen. (*/jno)