Merawat Jam Gadang Kebanggaan Bukittinggi

id jam gadang

Merawat Jam Gadang Kebanggaan Bukittinggi

Pengunjung berjalan di sekitar Jam Gadang Bukittinggi. (Foto Ismar P/Antara)

Siapa pun yang berwisata ke Sumatera Barat belum lengkap jika tidak berkunjung ke Jam Gadang yang berlokasi di Kota Bukittinggi, sekitar 100 kilometer ke utara dari Kota Padang.

Bagi warga Bukittinggi, menara dengan jam berukuran besar di puncaknya itu adalah kebanggaan. Berlokasi di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Benteng Pasar Atas, Kecamatan Guguk Panjang, Jam Gadang merupakan benda cagar budaya penting yang dijaga dengan baik.

Mesin Jam Gadang merupakan salah satu komponen yang paling mendapat perhatian agar terus membuat jam berdetak. Bila mati sebentar saja, akan banyak laporan atau keluhan yang datang.

"Keberadaan Jam Gadang ini berpengaruh besar. Sebagai pengawas, kami senantiasa berjaga untuk memastikan mesin jam bekerja dengan baik, tidak terlalu lambat atau terlalu cepat," kata koordinator pengawas Jam Gadang, Fauzi Azim.

Baginya, perawatan mesin jam tersebut membutuhkan kehati-hatian mengingat usia mesin yang sudah cukup tua dan sensitif.

"Perawatan mesin jam dilakukan satu kali dalam empat bulan dengan anggaran Rp1,5 juta untuk setiap kali perawatan. Selain itu setiap hari juga dilakukan pengecekan," lanjutnya.

Mesin Jam Gadang terdiri atas roda bergerigi yang saling terhubung, disangga oleh plat besi dan bekerja secara manual serta terlindung di dalam lemari kaca. Mesin jam itu juga terhubung dengan lonceng besar menggunakan kawat baja.

"Semua bagian mesin dibersihkan dengan hati-hati. Ada kalanya kayu pendayung jarum detik terkena tetesan oli yang digunakan. Hal itu juga dapat mempengaruhi cepat atau lambatnya jam sehingga kayu itu harus dilap sampai kering," katanya.

Ia menyebutkan, petugas di Jam Gadang berjumlah tiga orang. Satu orang bertugas pagi hari dan dua orang di sore hari karena cenderung lebih ramai. Untuk jam kerja mulai pukul 07.00 sampai 15.00 WIB dan 15.00 sampai 21.00 WIB. Bila sedang ada kegiatan di pelataran Jam Gadang atau saat musim liburan dan hari besar, para petugas bisa berjaga sepanjang malam.

"Tidak ada kendala dalam menjaga objek wisata ini, hanya dituntut kehati-hatian. Bahkan bertugas di sini adalah sebuah kebanggaan karena Jam Gadang adalah benda cagar budaya dan favorit wisatawan," katanya.

Selain mesin jam, juga ada sirine yang dirawat sama hati-hatinya karena, menurutnya, tidak ada montir di kota itu yang bisa memperbaiki, sehingga biaya perbaikan juga tidak sedikit.

"Sirine itu gunanya sebagai penanda waktu untuk shalat Jumat. Suara sirine juga menjadi suara yang paling ditunggu warga saat bulan puasa karena menunjukkan masuknya waktu berbuka," ujarnya.

Satu kali dalam seminggu, para petugas juga bergotong royong membersihkan Jam Gadang seperti mengelap kaca, menyapu bagian dalam ruang monumen dan halaman.

Baginya, hal yang sering membuat khawatir adalah perayaan tertentu seperti tahun baru yang dilakukan masyarakat di sekitar Jam Gadang tersebut.

"Bila sudah ada petasan, kembang api atau sejenisnya, kami selalu khawatir jika saja mengenai atap monumen lalu akibat terburuknya terjadi kebakaran, seharusnya masyarakat atau pihak keamanan juga memperhitungkan kemungkinan itu," katanya.

Wisata Bersejarah

Monumen Jam Gadang yang memiliki tinggi 26 meter dibangun pada 1926 oleh arsitek berdarah Minang bernama Jazid Sutan Maruhun bersama Rasid Sutan Gigi Ameh.

Pada saat itu, Sekretaris Kota, Rook Maker mendapat hadiah berupa jam berukuran besar dari Ratu Belanda sehingga dibuat bangunan sebagai penopang jam tersebut.

"Sebenarnya ukuran jam tersebut tidaklah terlalu besar, hanya berdiameter 80 centimeter. Yang besar adalah bangunan penopangnya terbuat dari beton," kata Kepala Bidang Museum dan Peninggalan Sejarah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bukittinggi, Ridwan.

Jam tersebut didatangkan dari Belanda, namun jam itu merupakan buatan Jerman yang ditandai dengan tulisan 'Recklinghausen-1926' tertulis pada baja penopang mesinnya.

"Sejak pertama berdiri hingga sekarang, bagian atap monumen itu sudah mengalami tiga kali perubahan yaitu di zaman Belanda, Jepang dan Indonesia merdeka," lanjut Ridwan.

Pada zaman Belanda, bagian atapnya berbentuk kubah, lalu di zaman pemerintahan Jepang pada 1942, atap tersebut dirombak menyerupai bentuk atap klenteng.

Setelah Indonesia merdeka, atapnya dibangun dengan bentuk gonjong sesuai ciri khas rumah adat Minangkabau.

Sebagai ikon wisata dan bangunan bersejarah, perawatan terhadap monumen itu juga dilakukan pada tampilan luarnya agar tetap memberikan kenyamanan dan kepuasan bagi wisatawan yang datang berkunjung.

Kepala Disbudpar Bukittinggi Melfi Abra mengatakan perawatan terhadap bangunan itu dilakukan secara rutin setiap tahun untuk perawatan kecil dan setiap satu kali lima tahun untuk perawatan secara besar.

"Perawatan kecil berupa pembersihan atau perbaikan pada kaca jendela, sementara perawatan besar dilakukan secara menyeluruh," lanjutnya.

Tahun 2016 ini merupakan jadwal pelaksanaan perawatan besar. Ditargetkan pengerjaannya selesai pada April dengan dana Rp180 juta.

Ia menjelaskan pemeliharaan secara besar tersebut berupa pengecatan ulang, perawatan, perbaikan lampu-lampu yang ada di sekitar Jam Gadang dan pemeliharaan lainnya di dalam lingkar objek wisata itu.

"Dalam melakukan perawatan seperti pengecatan ulang itu, kami selalu berkonsultasi terlebih dahulu dengan Balai Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), artinya tidak boleh sembarang mengecat ulang, harus ada cat khusus dan tahan lama," katanya.

Salah seorang wisatawan asal Jawa Timur Fiqih Arfani mengatakan salah satu destinasi favoritnya saat berkunjung ke Sumbar adalah Jam Gadang.

"Jamnya artistik, unik dengan atap gonjong khas Minangkabau," ujarnya.

Ia berharap Jam Gadang terus dijaga karena merupakan salah satu ikon Sumbar yang dikenal masyarakat luas.

Bukittinggi dan Jam Gadang adalah dua magnet yang akan terus memanggil-manggil wisatawan untuk berkunjung serta sayang untuk dilewatkan jika berkunjung ke Ranah Minang.